Elbara : Melts The Coldest Heart

Bagaimana Sebaiknya?



Bagaimana Sebaiknya?

0Keesokan paginya …     
0

"Gimana nge-date kemarin? Kakak mau tanya tadi malem eh malah ketiduran, kan belum sempet liat adik kesayangan Kakak yang blushing."     

Baru saja menuruni tangga dengan pijakan kaki yang sudah menyelesaikan anak tangga dan dirinya sudah berjalan beberapa langkah menjauhi tangga, Nusa melihat Rehan yang memang jarak dapur tidak terlalu jauh dari pandangan mata.     

Lebih dulu menghampiri sosok kakak-nya, Nusa berjalan dengan kaki yang masih mengenakkan sandal bulu berbentuk kelinci.     

"Gak gimana-gimana, emangnya Kak Rehan ngarep apa dari aku sama Bara?" balasnya sambil mendaratkan bokong pada kursi makan, ia menaruh tas punggungnya pada kursi kosong disebelahnya itu.     

Rehan tengah melepaskan celemek yang berada di tubuhnya, setelah itu menggantungkan pada tempat seharusnya. "Halah gak mungkin, udah kebaca banget bahagianya sampai detik ini aja tuh keliatan." ucapnya dengan nada jahil sambil menaik turunkan kedua alis, menggoda sang adik yang memang masih sangat lugu itu.     

Sebelumnya, mengenai ucapan El tadi malam.. tentu saja berhasil membuat semburat merah jingga terlihat jelas di permukaan wajahnya, lebih tepatnya di kedua pipi. Ia menarik napas pada malam itu, secara perlahan-lahan. Entah apa yang terjadi, El seperti mengalami perubahan dan juga perbedaan yang cukup meningkat jika dibandingkan dengan awal pertemuan mereka.     

"Jangan mancing-mancing deh Kak, aku gak suka." ucap Nusa sambil mengambil juntaian rambutnya, untuk diletakkan ke belakanh telinga agar tidak menghalangi jalan pandangnya yang juga membuat risih saat makan.     

Nusa adalah tipe cewek yang kurang suka menguncir rambut. Kalau bukan karena perintah, aturan, bahkan kewajiban, ia tidak akan menguncir rambutnya karena akan menciptakan gelombang pada setiap helaian yang sebenarnya ini hanyalah ketakutannya saja.     

Memiliki rambut yang jatuh lurus bahkan sangat lembut? Tidak mungkin bergelombang seperti apa yang dimaksud oleh cewek tersebut.     

Rehan terkekeh kecil, lalu kedua tangannya saling membantu untuk melipat lengan kemeja sampai siku, tampilannya sangat cool. "Kakak cuma masak telur mata sapi sama goreng sosis, gak masalah kan? Kakak lupa masak nasi, tadi mau masak tapi males." ucapnya sambil berjalan ke arah Nusa dengan dua piring di tangannya yang berarti akan ada dua porsi makan untuk pagi ini, sesuai dengan jumlah orang yang sarapan.     

"Gak masalah, dong. Emangnya siapa yang menolak untuk makan masakan orang? Tinggal makan doang kan aku, jadi gak boleh ngeluh." balas Nusa sambil tersenyum, menampilkan sederet giginya yang putih bersih.     

Rehan ikut terkekeh, lalu mulai duduk di kursi makan —tepat di seberang Nusa agar kalau mereka mengobrol jadi lebih mudah—. "Nih buat lo, telur mata sapi-nya yang mateng." ucapnya sambil menyodorkan satu piring ke hadapan Nusa. "Yang satu lagi gue, telur yang setengah mateng." ucapnya sambil menaruh piring yang lain dihadapannya.     

Mereka berdoa terlebih dulu dalam hati sebelum menyantap sarapan yang memang simpel, namun sangat menggugah selera.     

"Selamat makan!" seru Nusa dengan riang, ia mulai mengambil garpu dan pisau sehingga masuk ke dalam masing-masing genggaman tangannya.     

Memang jika dibandingkan Nusa dengan Rehan, Nusa-lah yang lebih detail dan juga melakukan sesuatu dengan elegan.     

Rehan menganggukkan kepala dengan pelan. "Selamat makan juga…" balasnya dengan nada bicara yang tentu saja lembut.     

Mereka makan, saling diam kecuali alat makan seperti sendok, garpu, atau pisau yang berdentingan dengan piring.     

"Kak," panggil Nusa sambil mendongakkan kepala untuk manatap cowok di hadapannya.     

Tentu saja, merasa di panggil pun Rehan langsung menaikkan pandangan dan kedua bola matanya langsung bertabrakan dengan milik Nusa. "Apaan?" responnya sambil mengunyah sosis dengan perlahan karena dirinya berbicara.     

Menggelengkan kepala, Nusa merasa agak ragu ingin mengatakannya. "Janji ya jangan marah dulu?" tanyanya, yang membuat perjanjian di awal supaya lawan bicaranya menyetujui dan di saat akhir pun tidak bisa marah —kalau perkataannya berhasil mengundang amarah— karena tidak boleh mengingkari janjinya.     

Menganggukkan kepala saja tanpa berpikir atau menerka-nerka dengan perkiraan apa yang akan dikatakan oleh sang adik. "Iya janji, ya udah bilang nanti keburu Kakak telat ke tempat kerja." ucapnya yang mengingatkan Nusa.     

Sebagai seorang cowok, mungkin kunyahannya ini terbilang biasa saja. Namun menurut pandangan Nusa, Rehan terlihat seperti orang kelaparan yang bahkan baru di sediakan tadi makanannya sudah habis setengah bagian.     

"Gimana kalau Nusa lupain semua ini aja, ya?" tanyanya sambil berdehem kecil, tiba-tiba dinding tenggorokkannya terasa kering dan sedikit tercekat.     

Rehan menatap Nusa, seolah-olah mengatakan 'kamu serius?' dalam isyarat ekspresi wajah.     

Mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan-lahan. Kalau di ingat sih, ia menjadi takut jika ingin ke ruangan renang lagi. Takut yang timbul menyerupai trauma dalam tubuhnya saat ini. Ya dalam artian sih memang tidak mudah untuk di lupakan, tapi…     

"Serius, mungkin emang satu-satunya jalan keluar dari inti masalah selama ini sih."     

"Sok tau, memangnya inti masalahnya itu apa?"     

"Ya diri Nusa sendiri lah."     

Tentu, Nusa hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mungkin menyalahkan orang lain yang akan jatuhnya seperti tuduhan tanpa bukti, iya kan? Itu adalah tindakan yang tercela, dan dirinya adalah orang yang enggan dan berusaha untuk menghindari perbuatan tercela tersebut.     

Rehan menatap ke arah Nusa, ia sangat tau kalau Nusa menjadi parnoan. Tidak ingin pintu kamarnya di kunci, kalau berada di ruangan yang sekiranya tidak terlalu luas pasti langsung minta untuk ditemani, pokoknya apa yang terjadi kemarin-marin seperti menghantui dia.     

"Jangan nyalahin diri sendiri, toh kan jelas-jelas kamu korban. Gak pernah ada korban kalau gak ada pelaku, dan yang harusnya di salahin itu si pelaku ini, bukan kamu."     

"Iya juga sih.. tapi kan kalau pelakunya aja gesit, kita juga gak punya peluang."     

"Terus artinya adik kakak yang kuat ini nyerah, atau bagaimana?"     

Nusa menatap Rehan dengan sorot mata yang lesu, bahkan kedua alisnya pun menurun. "Gak tau, habisnya bingung. Bara bilang, ia kehilangan bukti CCTV." ucapnya.     

Pasti banyak yang bertanya-tanya mengapa Nusa berpura-pura tidak mengetahui semua ini? Bahkan tak ingin jujur langsung kepada orang-orang dan mengatakan siapa pelakunya? Kenapa juga dirinya ini malah mengikuti jejak pemikiran banyak orang yang bersusah payah mencari kebenaran dan menjaga ingatannya agar tidak terlalu memaksakan bercerita? Jawabannya masih sama, ia belum kuat bercerita yang kemungkinan menjadikan dirinya kembali ingat dengan kejadian yang sangat menyeramkan daripada film horror bagi Nusa.     

"Gak nyerah sih, lagipula kok aku malah jadi orang yang seoalah-olah ikutan nyari, ya?"     

"Iya, Sa. Kenapa gak langsung buka suara, kan Kakak dan El yang lainnya juga gak akan terlalu memaksakan diri sampai akar-akarnya CCTV ingin di lihat demi kamu loh."     

Kalau boleh jujur, Nusa juga ingin mengatakannya namun belum bisa. "Kalau sudah siap, pasti Nusa bakalan cerita kok."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.