Elbara : Melts The Coldest Heart

Perjuangan yang Utama



Perjuangan yang Utama

0Penasaran dengan Reza dan juga Alvira?     
0

Mereka adalah kedua insan yang dimana tengah mendekatkan diri, namun satu dari mereka juga ada yang sedang memulihkan diri dari rasa sakit yang pernah di derita.     

"Gimana? Enak gak rasanya?"     

Reza menatap kedua manik mata Alvira dengan dalam, lalu mengulas senyuman dikala menangkap basah kalau cewek satu itu tengah mengunyah nasi goreng dengan sangat nikmat.     

Menganggukkan kepala, setelah itu Alvira terlihat mengulas senyuman manis. "Enak banget." balasnya, lalu menelan kunyahannya. "Percaya gak sih Kak? Vira tuh gak pernah makan di pinggir jalan, sumpah. Ternyata seenak ini ya, belum lagi hembusan angin malamnya, grrrr dingin." sambungnya sambil menaruh sendok ke piring, lalu mengusap lengannya saat dengan bertepatan memang angin berhembus lumayan kencang.     

Sebagai layaknya seorang cowok, kepekaan memang sebuah tabiat yang harus dilestarikan dan harus ada sejak mengenalnya masa percintaan. Jadi, cowok tanpa rasa tingkatan kepekaan itu akan menjadikan seorang cewek badmood yang bisa jadi berkepanjangan, iya kan?     

Meninggalkan sepiring nasi goreng, Reza beranjak dari duduknya setelah itu menghampiri Alvira. "Lo kalau kedinginan, ya bilang. Gak usah pakai kode-kodean segala. Untung gue bukan El, yang ngerti dan peka sama kode lo, coba aja tuh cowok pasti diem doang sambil lanjut makan." ucapnya sambil melepaskan jaket kulit yang melekat di tubuhnya. Cukup familiar dengan jaket kebanggaan ini karena hanya dimiliki oleh dirinya, El, dan juga Mario.     

Alvira cemberut, lalu sedetik kemudian terkekeh. Ia menjadi teringat Bian, namun dirinya tau kalau sosok cowok yang tengah menyampirkan jaket di pundaknya ini bukanlah masa lalu yang di maksud. "Vira sengaja kok nge-tes gimana perlakuan cowok yang mau serius sama Vira, jadinya mungkin ini baru ujian dasar, terimakasih ya Kak buat jaketnya." balasnya sambil tersenyum manis.     

Jangankan senyuman, tau Vira menatapnya saja membuat jantung Reza berpacu 2x lebih cepat jika dibandingkan dengan sebelumnya. Sambil berjalan kembali ke tempat duduk, dan akhirnya mendaratkan bokongnya di atas kursi, ia menatap Alvira dengan penuh perhatian yang dalam. "Gimana gue? Lolos tes pertama kan? Jangankan tes ya Vira, nih lo suruh challange seberapa gue serius sama lo aja ya gue sanggup." ucapnya sambil menaim turunkan kedua alisnya.     

Padahal kalau tidak mengobrol, tau sendiri kan bagaimana malunya Reza? Resahnya cowok ini seperti baru pertama kali jatuh cinta, pernah membayangkannya, bukan? Namun saat sudah mengobrol dengan sosok yang disukainya ini, malah menjadikan dirinya terasa biasa saja daripada sebelumnya.     

Akhirnya, mereka melupakan sepiring nasi goreng yang berada di hadapan mereka. Mulai mengunci tatapan satu sama lain, belum ada yang berkeinginan untuk membuka percakapan.     

"Kak." panggil Alvira yang lebih dulu memutuskan untuk memanggil sosok cowok yang berada di hadapannya.     

Menurut Alvira, Reza memang sosok yang baik. Bahkan kalau boleh di bandingkan, cowok tersebut jelas lebih baik daripada Bian. Mungkin Bian memang PERNAH baik terhadapnya, yang mungkin bahkan perlakuannya berbeda dengan Reza. Namun semua itu tidak menjadikan dirinya sebagai pacuan untuk mendapatkan pasangan yang sama seperti sebelumnya, seperti orang yang sudah menyakitinya sampai detik ini masih berasa bagaimana rasa luka yang sesungguhnya.     

"Apa?" balas Reza sambil menaikkan sebelah alisnya. Bukan menaikkan sebelah alis yang terlihat kejam, melainkan tatapn lembut itu semakin mendominan permukaan wajahnya.     

"Kak Reza serius suka sama Vira? Ya kan maksud Vira, tau sendiri kalau aku tuh masih suka kebayang-bayang Bian. Takutnya Kak Reza kenapa-napa, kasihan hatinya."     

"Ya kan itu urusan gue dalam mencintai lo, Ra. Buat lo yang masih kebayang-bayang Bian ya itu adalah sebuah kewajaran, gue yang akan buat lo lupain dia, bagaimana pun caranya."     

"Ya aku sangat berharap sih kalau Kakak bisa melupakan Bian dari pikiran aku, kalau hilang, itu sangat membantu. Aku pusing banget sama dia, seakan-akan gak mau lepas dari pikiran aku."     

Oke, di sini adalah saatnya untuk Reza berpikir dewasa dan menarik dirinya ke arah yang lebih serius daripada sebelumnya.     

Menghembuskan napas dengan perlahan, setelah itu menampilkan senyuman manis yang sekiranya sangat membuat seseorang yang menatapnya bisa merasakan kehangatan yang sesungguhnya.     

"Lo masih sayang sama Bian?" Ya sepertinya bertanya to the point adalah hal yang paling bagus, karena tidak akan membuat bayang-bayang megatif tersendiri karena kepikiran di otak.     

Alvira jelas menggelengkan kepala, untuk apa masih menyayangi sosok seperti Bian? Tidak ada cewek bodoh di dunia ini yang masih bisa mempertahankan perasaan jika di rasa jati sudah merasakan ujung sakit yang sesungguhnya.     

"Alvira udah gak sayang lagi sama dia, amit-amit alias najis."     

"Kalau begitu, apa yang ditakutkan sama kamu kalau rasa sayang aja udah ngaku gak ada?"     

"Ya gimana, namanya orang yang pernah lama berlabuh. Apalagi nebar banyak kenangan yang manis, tapi kalau diinget malah menjadi kenangan yang paling nyakitin."     

Reza menganggukkan kepala. Ia cukup paham dengan apa yang dirasakan oleh Alvira, karena memang benar semua kenangan tidak akan pernah bisa di lupakan dengan mudah, benar kan? Harus membutuhkan effort dan berkali-kali jatuh, lalu setelah itu pasti ada keinginan untuk bangkit yang semakin lama akan mengubur kenangan tersebut semakin dalam lagi.     

"Oke, gue mah gak ribet dan maklumi juga. Tapi gue harap ya lo tau, dimana hidup lo udah ada gue, disana juga lo harus mikir kalau Bian bukan lagi orang yang pantes jadi tumpuan bagi lo."     

Reza memang dewasa, tak sedikit cewek yang mengantri jadi pacarnya karena ia memiliki sifat yang sangat pengertian. Namun jangan salah, di saat pengertiannya nanti di sia-siakan dan malah di sepelekan, ia akan pergi menjauh dengan rasa diam dan tanpa berpamitan sedikit pun.     

Alvira menatap Reza, lalu cemberut. "Kalau gak kuat sama Vira, Kak Reza bisa kok lambaikan tangan." balasnya.     

"Lambaikan tangan di kamera ya? Bilang aja kqlau nanti gak kuat sama lo, ya karena lo terlalu sempurna buat jadi milik gue." Reza terkekeh dengan ucapannya sendiri, namun kekehan tersebut hanya bertahan beberapa menit lamanya.     

Alvira ikut terkekeh. Jangan membuat perbandingan lagi dengan Bian yang sering kali bersikap serius tanpa ingin berguyon, Reza baginya sangat humoris dan membiarkan dirinya tidak kehilangan suasana.     

"Terimakasih ya, aku baru kali pertama lagi di perjuangin cowok kayak gini."     

"Maksudnya? Kan yang demen sama lo ngantri, Ra. Jadi, gak mungkin sebelumnya cuma gue doang."     

"Iya Kak, baru Kak Reza doang. Sejak kehilangan Bian di hidup Vira, ya aku gak pernah mau buka hati lagi. Jangankan pacaran lagi, PDKT-an aja males. Apalagi tau sendiri kan gimana Kak Bara? Banyak yang takut juga sama dia, ya berpengaruh gak jadi deketin aku."     

Mengambil napas sebentar, Alvira memberikan senyuman kepada Reza. "Kakak orang yang sekian, jelas. Tapi perjuangan Kakak itu yang utama,"     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.