Elbara : Melts The Coldest Heart

Feeling Seorang Reza



Feeling Seorang Reza

0"Dah lo masuk duluan, gue mau telfon El dulu nih di teras rumah lo. Kalau telfon di kamar El, tau sendiri ada Mario yang berisik banget."     
0

Reza mengatakan hal itu pada Alvira dengan nada bicara yang lembut, tidak lupa juga menjulurkan tangan untuk mengelus puncak kepala cewek tersebut dengan perlahan-lahan. Layaknya cowok yang memang tengah di mabuk asmara, ia memperlakukan Alvira dengan sangat teramat baik bahkan melebihi queen, padahal belum pacaran.     

Menganggukkan kepala dengan mengerti, setelah itu Alvira memberikan senyuman manis. "Oke Kak, aku masuk duluan ya." ucapnya, ia hendak melepaskan jaket milik Reza dari tubuh, lalu tangannya malah di tahan oleh cowok tersebut.     

"Ngapain di lepas? Lo pake aja sih, nanti balikin kalau udah di cuci terus kasih wangi parfum lo, gue suka." ucap Reza yang mengembalikan posisi tangan di masing-masing sisi tubuhnya.     

Alvira tersenyum, wajahnya terlihat malu dan memerah. "Oke, malam ini langsung aku cuci dan mudah-mudahan besok kering biar bisa langsung di kasih ke Kakak." ucapnya dengan lembut, nada pembawaan bicaranya itu adalah tipe cewek yang kalem dan bukannya yang bar-bar. Jadi, di mata cowok termasuk Reza, dirinya benar-benar menggemaskan.     

"Gak harus besok gak apa-apa, Ra. Takutnya lo kangen sama yang punya, terus kan ada jaket gue jadinya bisa deh lo peluk-peluk."     

"Bisa aja Kakak! Jurus gombalnya bisa-bisa ngelebihin Kak Mario nih, Vira harus waspada."     

Setelah itu, baik Alvira maupun Reza mereka berdua saling tertawa satu sama lain.     

"Dah sana ya masuk, dingin juga di sini. Kamu juga harus istirahat, kali aja ada PR buat besok yang belum kamu kerjain." ucap Reza yang memulai pembicaraan kembali setelah sama-sama melepaskan tawa.     

Alvira menganggukkan kepala, entah sudah yang ke berapa kali semenjak bersama dengan Reza dirinya melakukan gerakan satu ini. "Oke, hati-hati ya banyak nyamuk Kak. Nanti Kakak di gigitin, bentol-bentol."     

"Gak apa, berarti gue manis, bener gak?"     

"Iya bener, udah manis ganteng pula. Untung gak lewatin Kak Bara,"     

"Wah kalau saingannya El, kayaknya semua cowok harus sadar diri mundur deh."     

Reza tertawa, setelah itu meraih tangan Alvira.     

Cup     

Satu kecupan mendarat di punggung tangan Alvira dengan sangat manis memuja. "Selamat malam," gumamnya dengan nada rendang.     

Blush ..     

Jangan di sangkat kalau Alvira merasa biasa saja dengan segala perlakuan Reza malam ini. Tentu saja dirinya blushing dengan kedua pipi yang memerah, oh astaga!     

"I-iya, selamat malam juga Kak Reza." balas Alvira dengan gugup, setelah itu langsung kabur masuk ke rumah dengan gerakan yang sekilas. Biasalah, tindakam para cewek satu ini memang benar-benar sudah tertebak pasti kalau malu langsung kabur.     

Setelah melihat punggung Alvira yang sudah menghilang di balik pintu, Reza berjalan ke arah kursi yang memang tersedia di teras rumah ini, berbahan dasar kayu jati yang diukir dengan sempurna. Ia merogoh saku celana, dan mendapatkan ponselnya di sana.     

"Gue tau lo belok ke jalan lain,"     

Mendapatkan feeling kalau El yang tidak mungkin kini sudah sampai di rumah ini dan tiduran di atas kasur, itu sangat tidak mungkin. Karena apa? Karena motor kesayangan cowok tersebut saja sudah tidak ada, yang dalam artian sang pemilik pun belum sampai kembali ke rumah.     

"Nongkrong gak ngajak-ngajak, fix ada yang El lagi berusaha sembunyiin dari gue sama Mario."     

Sambil jemarinya bergerak di atas layar, pikirannya menerawang jauh, dan kini mulutnya juga ikut bergumam dan mengatakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.     

"Tapi apaan gila yang El lagi berusaha sembunyiin dari kita-kita? Kalau hal penting, mungkin hal yang sepele?"     

Masih ingat mengenai El yang awal-awal suka sekali datang telat ke sekolah dan tidak ada satupun orang yang tau kemana cowok itu pergi? Ya, Reza sangat takut kalau hal itu terjadi kembali.     

Melihat last seen El di aplikasi bertukar pesan, menunjukkan beberapa menit lalu cowok tersebut aktif —online—, menjadikan Reza langsung saja menekan tombol yang berupa gagang telepon.     

Dering ponsel pun berbunyi, pertanda memanggil seseorang di seberang sana. Dering pertama, dering kedua, dering ketiga, begitu seterusnya sampai dering terakhir berbunyi dan pada akhirnya panggilan tersebut menjadi panggilan tak terjawab.     

"Udah biasa banget deh kalau El sok sibuk, alias paling males jawab telpon kalau lagi di luar."     

Mencoba panggilan yang kedua kali, namun hasilnya masih sama seperti yang tadi.     

"Mejikuhibimissyou! Ih anjir bisa juga nih buat gombalan betina, pasti rame banget chatan gue abis buat status kayak gitu. Secara muka gue oke ngedukung banget, belum lagi caption kayak gitu yang pasti gemesin banget."     

Bukan, itu bukan Reza yang berbicara. Melainkan sosok lain yang saat ini ternyata sudah memakai sandal rumah berbulu yang sudah dapat diketahui kalau itu adalah milik Alvira. Muat? Tentu saja tidak, namun ia tidak berusaha untuk muat-muati yang nantinya malah jadi rusak.     

Reza menolehkan kepala ke sumber suara, lalu memutar kedua bola matanya kala mendengar ucapan narsis Mario untuk diri dia sendiri. "Najis gua si, ya ampun mimpi buruk apa ini punya temen kayak lo." ucapnya dengan nada bicara yang drama, namun jangan sangka kalau raut wajahnya serius dan kini sudah mengembalikan pandangan ke layar ponsel.     

| ruang pesan |     

Reza     

Dimana lo kampret?     

Reza     

Gue tau lo nongkrong, tapi dimana? Gak ada kabar gini, gak mungkin lo lama-lama di rumah Nusa.     

Reza     

Jangan sembunyiin apa-apa lagi dari gue sama Mario, sialan. Lo udah janji sama kita,     

| ruang pesan berakhir |     

Begitu lah kira-kira pesan yang diluncurkan dari Reza untuk El yang entah cowok itu berada di mana. Jangankan telepon, pesan saja yang simpel tidak akan di balas oleh cowok dingin itu.     

Mario menatap Reza dengan mendelik, lalu mengibaskan rambutnya yang memiliki rambut panjang haluan, kadang memang se-random ini. "Punya masalah lo? Ngapa si emangnya? Gak biasanya lo nyesel punya temen ganteng kayak gue? Mana mukanya kecut banget,"     

Memutuskan untuk duduk di kursi yang bersampingan dengan Reza —namun berjarak karena memiliki pembatas yang berupa meja kecil di antara mereka berdua—, Mario memusatkan perhatiannya penuh pada cowok tersebut.     

Reza menghembuskan napasnya, kali ini benar-benar menatap Mario dengan lekat. Seperti ingin menyampaikan hal yang serius karena itu benar adanya, ia ingin mengatakan hal ini pada sang sahabat.     

"Ini gak tau firasat gue atau gimana, tapi gue rasa kalau El boongin kita ladi deh, Rio."     

Mario menaikkan sebelah alisnya. "Sotoy, emang kemungkinannya apaan?" tanyanya.     

Reza mengusap permukaan wajahnya dengan perlahan, lalu mengangkat bahu. "Lo inget kan dulu El pagi-pagi sebelum ke sekolah suka banget misah dan ilang gak tau kemana? Dateng-dateng pasti mepet jam masuk sekolah, lo inget?"     

Mario menganggukkan kepala.     

"Gue takut, feeling gue kuat."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.