Elbara : Melts The Coldest Heart

Mengetahui Kabar El



Mengetahui Kabar El

0"Satu dua tiga empat lima enam, yang gak kepilih ya takdir."     
0

Mario mengambil random jajanan dengan hitungan jari, ia kini berada di dalam minimarket yang untungnya buka 24 jam. Berada tepat di depan rumah sakit, dan tentunya ternyata di sana juga menjual roti yang menurutnya cocok untuk dijadikan menu sarapan.     

Ia sudah beli roti dengan minum air mineral saja, karena kalau yang lain-lain nanti bisa dipesan di rumah sakit dan langsung di antarkan ke kamar inap yang di tempati.     

Kini, Mario sudah mendaratkan bokong di salah satu kursi. Di sana memang tersedia banyak sekali kursi dan meja dengan payung yang kalau matahari mulai menyapa, akan melindungi seseorang yang duduk tepat di bawahnya.     

Mario memiliki waktu yang cukup untuk menghirup udara segar karena dari malam terus-menerus menghirup udara AC, yang terlebih lagi sangat beraroma 'rumah sakit' paham kan?     

Menaruh kantung belanjaan di atas meja, setelah itu meraih ponsel yang terdapat di saku celana. Untung saja, ia kemarin malam sudah mandi di rumah El. Jadinya, tubuh masih segar walaupun belum tersentuh air pada pagi ini.     

Tangannya mulai bergerak untuk mengaktifkan data seluler yang memang selalu mati. Di sekolah ada wifi, di rumah ada wifi, di rumah El pun ada wifi, bahkan sampai di rumah sakit tadi pun ia menggunakkan wifi rumah sakit. Namun saat di minimarket, ia terlalu malas untuk meminta password.     

Ting     

Ting     

Ting     

50 panggilan tak terjawab dari Nusa     

Melihat notifikasi itu, membuat Mario membelalakkan kedua bola matanya. "Buseh, rame banget ini hp gue. Coba kali ya sekali-kali gue ilang dari sekolah, bakalan banyak banget nih yang kirim pesan ke gue." ucapnya sambil terkekeh kecil.     

Sebanyak-banyaknya kandang betina yang berada di ponsel —tepatnya di kontak telepon yang terhubung ke aplikasi bertukar pesan—, namun tak pernah ruang chat-nya sampai boom seperti ini.     

Satu orang pertama yang dirinya harus hubungi, yaitu Nusa. Namun saat dirinya melihat ke jam ponsel yang terdapat di ujung kanan layar ponselnya, ia menjadi ragu karena takut mengganggu cewek di seberang sana dalam pembelajarannya.     

"Tapi sih gue yakin banget, Nusa lebih ngamuk lagi sama gue yang telat ngasih kabar tentang El kalau dibandingin sama gue yang ganggu jam belajar dia, iya gak sih?"     

"Lima puluh misscall itu pasti gak main-main rasa khawatirnya gila, serius deh."     

"Telpon, gak, telpon, gak, telpon."     

Sambil menghitung dengan jari, dan ternyata berhenti tepat di 'telpon' yang mengharuskan dirinya berarti menghubungi Nusa.     

"Tau ah ini lagi pelajaran siapa, sorry ya Sa kalau nantinya lo di amuk sama guru. Mudah-mudahan Bu Munaroh yang lemah lembut bagaikan gulali,"     

Memang, walaupun sendirian juga banyak omong. Namanya juga Mario. Untungnya ganteng, jadi tertolong dimata orang-orang, ya paling hanya di anggap memiliki gangguan kejiwaan karna berbicara sendirian yang dalam artian berbicara dengan diri sendiri.     

Jemarinya yang tak pernah di genggam lama orang seseorang ini pun salah satunya mulai menekan gagang telepon yang berada di sudut atas ruang pesan dengan Nusa, setelah itu panggilan pun dalam status 'memanggil'. Kini, ia hanya tinggal nunggu jawaban orang di seberang.     

Sedangkan di sisi lain dengan waktu yang sama …     

Nusa tengah memperhatikan penjelasan guru PKN, kali ini gurunya cewek dan lebih aktif daripada guru bahasa Indonesia yang kemarin menghukumnya.     

"Jadi, ada yang ingin di tanyakan?" tanya guru tersebut, dan benar kata Mario kalau guru ini bernama Bu Munaroh.     

Nusa dan yang lainnya menggelengkan kepala. "Tidak, Bu." ucap mereka serempak.     

Bu Munaroh menganggukkan kepala. Tadi, posisinya ia tengah berdiri karena menjelaskan secara langsung di papan tulis mengenai sejarah negara. Dan kini, ia melangkahkan kaki dan mendaratkan bokong di kursi guru.     

"Oke kalau begitu, Ibu cuma minta kalian buat kesimpulan pembelajaran kita hari ini. Buat kesimpulan, sekaligus pendapat tentang apa yang Ibu jelaskan. Paling sedikit, satu lembar buku tulis dan kalau lebih pun ya lebih bagus. Kalian paham?"     

Tugas guru mana lagi yang paling sederhana selain Bu Munaroh? Mungkin kalau tugas di sekolah dikit, tapi kalau memberikan tugas rumah itu terkadang dominan banyak. Walaupun banyak, tugas rumah tersebut juga setimpal dengan apa yang di ajarkan oleh-nya saat ini di sekolah.     

"Paham, Bu." ucap mereka lagi dengan serempak.     

Kembali pada tugas masing-masing, Nusa bersiap menuliskan rangkaikan kata-kata di buku tulis khusus pelajaran ini.     

Tiba-tiba saja terdengar nada dering ponselnya yang begitu kencang, sehingga banyak teman-teman sekelasnya yang menolehkan kepala dengan tatapan penasaran ke arahnya, begitu juga Bu Munaroh yang langsung mengangkat kepala.     

"Ponsel siapa yang bunyi?" tanya Bu Munaroh. Nada bicaranya tidak marah kok, bahkan dominan terdengar sangat lembut.     

Nusa diam saja, seolah-olah tidak ingin menjawab karena sejujurnya tidak tau siapa yang meneleponnya saat ini. Ponselnya pun berada di laci meja, jadi sebenarnya bisa saja mengecek, namun sialnya ia lupa mengenakkan mode silent dan kini berakhir dengan dering ponselnya yang menggelegar.     

Mati, sudah tidak terdengar lagi.     

Namun beberapa detik kemudian …     

Kringg… kringg …     

Lagi, dering ponsel terdengar dan tentunya langsung membuat Nusa gelisah.     

"Baik, siapa si pemilik ponsel? Ibu gak akan marah kok, lagipula telpon masuk itu wajar. Apalagi Ibu denger sampai ada dering kedua, siapa tau penting?"     

Mendengar itu, Nusa menghembuskan napas. Walaupun tidak tenang, namun akhirnya ia mengudarakan tangannya. "Ponsel saya, Bu." jawabnya dengan pelan sambil menundukkan kepala, takut kena hukuman     

Bu Munaroh langsung menganggukkan kepala. "Oke kamu silahkan keluar dan menjawab panggilannya, kalau sudah selesai bisa kembali masuk ke dalam kelas." ucapnya dengan senyuman yang manis.     

Nusa menganggukkan kepala dengan cepat, lalu segera meraih ponsel di bawah laci meja dan saat mendapati sebuah nama di layar ponselnya …     

"ASTAGA, MARIO!" jeritnya dengan haru sambil menutup mulutnya karena tidak percaya.     

Tanpa mempedulikan tatapan penasaran dari teman sekelas termasuk Priska and the genk yang memantapkan penglihatan ke arahnya, Nusa segera melesat dan tak lupa permisi pada Bu Munaroh yang herbaik hati.     

Kini, dirinya menjauh dengan berlari ke arah toilet cewek karena tidak mungkin menelepon di depan kelas yang takutnya malah kena tegur guru lain yang kemungkinan lewat.     

Napasnya memburu, panggilan dari Mario seperti tiada akhir. Masuk ke ponselnya, tak di angkat dan mati, lalu masuk lagi, begitu seterusnya.     

Sesampainya di toilet cewek, Nusa segera masuk dan menghentikam langkahnya. Ia menatap cermin, mengatur napas terlebih dulu.     

Lalu, akhirnya ia mengangkat panggilan dari Mario dan menempeli ponsel di daun telinganya.     

"Halo Mario, akhirnya kamu nelpon aku juga." Cairan kristal menumpuk di kelopak matanya, ia khawatir setengah mati.     

Terdengar deheman dari seberang sana. "Nusa, El kecelakaan."     

Mendengar itu, keceriaan seorang Nusa seperti langsung hancur. Bahunya merosot, dan kini dirinya terduduk di lantai toilet yang tentu bersih mengingat ini adalah sekolah elite.     

"H-hah?" Lidahnya kelu.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.