Elbara : Melts The Coldest Heart

Perjanjian yang Di Langgar



Perjanjian yang Di Langgar

0Sekolah heboh mendengar kabar El yang kecelakaan, terlebih lagi kabarnya sih patah tulang di bagian tangan kiri. Dimana kalau keadaan patah tulang, pasti masa penyembuhannya itu bisa lama. Sekitar 6 bulan dan kalau parah bisa lebih daripada waktu tersebut.     
0

"Yakin gak sih El kecelakaan gara-gara kecelakaan biasa doang? Lo tau kan maksud gue, El kan pinter banget ngendarain motor kesayangannya."     

Priska yang menatap ke arah lapangan dengan cemas itu pun mendengar perkataan Disty, ia menolehkan kepala ke arah sahabatnya itu.     

Mereka kini berada di koridor yang berhadapan langsung dengan lapangan. Biasanya, ada tiga orang cowok yang bermain basket di sana. Bukan untuk menunjukkan dan menyombongkan diri betapa hebatnya mereka dalam permainan tersebut, namun hanya untuk bersenang-senang kala mengetahui ramainya kantin.     

Namun, Priska hanya bergeming dan tak mengatakan hal apapun sebagai tanggapan apa yang dikatakan oleh Disty barusan.     

Nika menganggukkan kepala. "Iya, pas gue liat dia tuh waktu itu aja ngebut kayak pembalap kelas dunia. Kayak gak mungkin banget gak sih kalau kecelakaan di jalanan biasa?" ucapnya yang menimpali perkataan Disty.     

Seperti biasa, Priska berada di tengah-tengah mereka dengan menyandarkan punggung di dinding. Sedangkan Disty dan Nika saling mencodongkan tubuh mereka, menatap satu sama lain dan mengobrolkan hal yang kelewat booming.     

Hei, ini bukan sekali dua kali El masuk ke rumah sakit. Namun ini adalah yang terparah, catat baik-baik 'yang terparah', kalau perlu tolong capslock dua kata itu kalau perlu beri bold.     

Disty menopang kepala dengan tangan yang ditumpukan pada pahanya, ia memutar otak. "Tapi mungkin gak sih kalau El itu sebenernya anak nakal? Oh ayolah gini maksud gue, gimana kalau di sekolah itu dia jaga reputasi dan kalau di luar sekolah itu jadi liar? Mungkin gak sih omongan gue?" ucapnya yang mengusulkan pendapat yang saat ini membingkai jelas di otaknya.     

Nika mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi ya apa bedanya kalau El nakal sama gak nakal? Gantengnya juga masih sama kok, kalau nakal berarti lebih hot kayak bad boy, errrrr."     

Melihat ekspresi Nika saat ini, apalagi mengetakan 'errrrr' seperti memikirkan bagaimana El kalau bad boy, membuat Disty memutar kedua bola matanya. "Gak jelas lo, gue lagi ngajak ngomong apaan eh malah di bales apaan." ucapnya dengan gaya bicara yang terdengar agak menggoda.     

Priska masih diam, ia tau mengapa El bisa sampai kecelakaan. Bahkan ia juga tau kalau El di luaran sana suka ikut balapan, ngumpul dengan anak motor sana sini, namun ia selama ini lebih memilih untuk bungkam.     

Di saat cewek mengatakan kalau dia suka dengan seseorang, maka di saat itu juga cewek itu akan mencari segala informasi cowok yang di sukainya bahkan sampai ke akar-akar.     

"Gue rasa kalian berdua harus pesenin gue makan deh, gue mau makan di sini." ucap Priska pada akhirnya mengeluarkan suara. Semenjak ia mengetahui keadaan El, semenjak itu juga dirinya menjadi terdiam diri.     

Nika menjentikkan jemarinya. "Keren lo, sekali ngomong langsung nyari pencerahan." ucapnya dengan semangat, lalu beranjak dari duduk sambil menepuk-nepuk rok bagian belakangnya. "Ayo kita beli makan dulu, Ty." sambungnya sambil berjalan ke arah Disty dan menarik tangan cewek tersebut untuk beranjak dari duduk sama seperti dirinya.     

Disty menganggukkan kepala, ternyata daritadi mereka tidak ada pencerahan sampai membahas hal ngaco, kuncinya ya karena parutnya belum terisi apapun. "Oke gue setuju sih," ucapnya sambil menganggukkan kepala. "Lo tunggu disini ya, Ka." sambungnya.     

Priska hanya berdehem kecil, setelah itu melihat punggung kedua sahabatnya yang mulai berjalan menjauh sampai terlihat mengecil, dan hilanh dari jangkauan matanya yang terbatas.     

Priska menghembuskan napas, lalu ia mengedarkan pandangan untuk mencari seseorang yang saat ini tengah menjadi jawaban di otaknya.     

"Good, dia ada di sana." ucapnya, lalu tetap diam di tempat saja sampai pada akhirnya sosok tersebut menyadari keberadaannya dan mulai menghampirinya.     

Priska menunggu, lalu orang yang di tunggu sudah mendaratkan bokong tepat di samping tubuhnya.     

"Lo bisa jelasin sama apa yang terjadi sama El? Gila, tulang patah itu bukan hal yang sepele loh. Kita udah buat kesepakatan, ya kalau mau balas dendam gak perlu sampai nyakitin El."     

Menatap sosok tersebut dengan kesal, menahan amarah agar tidak keluar karena hal ini bisa memancing orang-orang untuk mencari tau ada hubungan apa mereka berdua.     

Orang itu mendengus, lalu mengangkat bahunya dengan singkat. "Maksudnya, lo nuduh gue apa-apain dia, begitu?" tanyanya dengan raut wajah yang tak percaya.     

Priska menganggukkan kepala dengan yakin. "Of course, gue nuduh lo karena lo adalah orang yang paling pantes buat dapet tuduhan." ucapnya dengan mata yang memicing dengan tajam.     

Oke, katakan di satu sisi kalau Priska saat ini tengah ketakutan. Ia puas kalau orang itu memberikan kesan buruk lagi untuk Nusa, tapi tidak dengan El yang juga ikut terkena imbas.     

Sosok itu akhirnya memperlihatkan wajah penuh penyesalan. "Sumpah, gue bener-bener gak niat banget buat celakain dia. Awalnya gue mau buat kecelakaan ringan, kayak sebelumnya walaupun pas sebelum-sebelumnya itu bukan gue yang lakuin, tapi gue beneran gak tau bakalan separah itu." balasnya, akhirnya memilih untuk jujur.     

"Sialan." umpat Priska dengan pelan. Ia menarik napas, membuang dengan perlahan, menariknya lagi dan membuangnya kembali. Itu yang dirinya lakukan berulang sampai sekiranya merasa tenang, dan kini sudah merasa bisa mengendalikan kontrol atas emosinya.     

"Gue gak sengaja."     

"Apa kesengajaan lo bisa nyembuhin El-nya gue?"     

"Dia bukan El-nya lo, Priska. Dia punya Nusa, dan sekarang harusnya lo sadar."     

"Terus buat apa kita bikin perjanjian? Cuma buat bikin lo bebas ngelukain El? Kalau itu cara lo, gue berentiin aja perjanjian kita."     

Priska baru saja ingin beranjak dari duduk, namun pergelangannya di tahan oleh seseorang yang tadi duduk di sampingnya —menduduki tempat Disty—.     

"Apa lagi?" tanya Priska dengan malas. Kalau dirinya tak terikat janji dan sebelumnya dekat dengan sosok ini, ingin memukul pun rasanya boleh-boleh saja. Tapi ini kam kondisinya mereka ingin saling menguntungkan yang dimana tidak ada orang yang tau kecuali mereka berdua, jadi kalau dirinya memukul sosok tersebut ya namanya mengundang hoax baru lagi.     

Orang itu menggelengkan kepala, menuntun Priska kembali agar duduk di kursinya lagi. Sedangkan dirinya? Ia yang bergantian beranjak. "Ini tempat lo, dan gue tebak tadi dua antek lo nyari makanan di kantin. Jadi, gue yang dateng, dan biarin gue aja yang pergi."     

Setelah mengatakan itu, dia mulai meninggalkan Priska yang kedua tangannya sudah terkepal di samping tubuh.     

Kalau berteriak di area sekolah adalah sebuah kewajaran yang tidak di pandang aneh, pasti akan dia lakukan saat ini juga.     

"Cuma bikin perjanjian sama lo doang, tapi konsekuensinya malah nyakitin si pion terlarang."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.