Elbara : Melts The Coldest Heart

Nusa Keluar Rumah Sakit



Nusa Keluar Rumah Sakit

0"Aku gak suka sama Kak Nusa, boleh tolong Kak Bara suruh dia pulang? Biarin aku yang di sini, nemenin Kakak."     
0

"Vira gak mau kalau Kak Bara deket sama Kak Nusa, aku gak ikhlas karena ada orang yang bisa gantiin posisi aku dan itu terdengar sangat menyebalkan."     

"Aku mau Kak Bara cuma buat aku, dan begitu seterusnya."     

"Aku mau Kak Nusa gak ada di antara kita,"     

Dengar, Nusa mendengar semua percakapan antara Alvira dan juga El. Sejak merasakan El terbangun dari tidur karena mungkin merasa keram dengan tangan yang tengah di jadikan bantal olehnya, di saat yang bersamaan juga tidurnya terusik namun ia berpura-pura.     

Mendengar pujian El membuat kupu-kupu yang berada di rongga dada Nusa beterbangan, seperti terasa sesak. Baru saja ingin membuka kedua bola mata dengan pipi yang bersemu, dirinya juga mendengar suara pintu terbuka yang ternyata itu adalah sosok Alvira. Sampai sekarang, ia menyimak.     

Dan apa yang dirinya dapatkan? Sebuah rasa sakit yang benar-benar membuat dirinya merasakan sesak, sesak yang berbeda jika di bandingkan dengan saat mendengar pujian yang keluar dari dalam mulut El.     

Ruang udara di sekelilingnya terasa menipis, hatinya seperti terhimpit beton berat yang menjadikan dirinya kesulitan bernapas.     

Kedua pelupuk mata Nusa terasa panas, ia memutuskan untuk membuka kedua bola mata dan menegakkan tubuh dengan tiba-tiba membuat kedua orang yang tengah berdiskusi pun langsung saja menolehkan kepala ke arahnya.     

Terlebih lagi, rautw wajah El yang terlihat cemas.     

"Aku mau pulang." ucap Nusa sambil beranjak dari duduk, ia meraih sling bag yang berada di atas nakas beserta ponselnya.     

El ingin menahan Nusa, namun dirinya masih belum bisa bergerak banyak, yang pasti akan membuat tangannya terasa sakit. Sedangkan Alvira? Ia berdiam diri saja seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun yang memang sudah sangat jelas merugikan.     

"Nusa! Dengerin gue dulu," pinta El dengan nada bicara parau yang terdengar samar.     

Nusa tetap saja melangkahkan kaki, lalu tangannya meraih gagang pintu dan keluar dari ruangan.     

"Ra, tahan Nusa." ucap El yang menyuruh Alvira.     

Namun Alvira menggelengkan kepala dengan samar, lalu mengembangkan senyumannya. "Seperti apa yang aku mau, Vira dan Kak Bara." balasnya.     

Sedangkan kembali dengan keadaan Nusa, ia sudah menangis di sepanjang koridor dengan air mata yang mulai membanjiri kedua pipinya. Ia menjadi pusat perhatian bagi beberapa orang berlalu lalang karena sama sekali tidak menyembunyikan wajahnya menangis, lebih tepatnya sih tidak peduli di saat air matanya terlihat jelas di pandangan orang-orang.     

Ia menaiki lift, bersama dengan dua orang. Mereka adalah pasangan suami istri, tentu saja ia dapat menyimpulkan seperti itu karena mereka saling membicarakan tentang usia kandungan dengan di cewek yang mengelus-ngelus perut bahkan sampai membahas usia tua nantinya.     

Ah baiklah, seorang jomblo abadi seperti Nusa merasakan perasaan iri yang cukup kuat mengingat dirinya di tolak mentah-mentah alias tidak mendapatkan restu dari adik si cowok yang dirinya sukai.     

Ting     

Pintu lift terbuka, dan langsung menuju lantai dasar dimana koridor utama berada. Ia berjalan dengan cepat, supaya gak terlalu mencolok kalau dirinya tengah menangis. Jangan sampai orang-orang memiliki rasa iba dengannya.     

Sudah keluar dari pekarangan rumah sakit, dan kini Nusa berpijak di pinggir jalanan. Ia melirik ponsel yang berada di genggamannya, jam menunjukkan pukul sepuluh lewat yang artiannya sudah cukup malam untuk ukuran cewek yang jalan sendirian di jalan yang memang tidak cukup ramai.     

Ia memutuskan untuk menyebrang melalui zebra cross, dan memberikan aba-aba tangan bagi para pengendara yang masih berada cukup jauh darinya agar tidak terlalu mengebut.     

Setelah sampai di seberang jalan, ia mulai berjalan dengan tak tentu arah karena memang tidak mengenal kawasan satu ini.     

Udara malam, dingin, dan bodohnya ia lupa mengambil jaket milik El yang dirinya sampirkan di kepala sofa. Dan kini, berhubung ia memakai kaos lengan pendek, jadi udara dingin bisa menyapa permukaan kulit lengannya dengan bebas. Merinding.     

Ting     

Ting     

Ting     

Ponselnya berbunyi, membuat Nusa mengalihkan pandangan dan mengangkat tangan sebahu untuk melihat ke layar ponselnya. Mencaru tau kira-kira notifikasi dari siapa yang masuk ke benda pipih yang berada di genggamannya ini.     

Menghembuskan napas, ternyata itu dari El. Ya, cowok satu itu masih bisa bermain ponsel, ya… walaupun hanya menggunakkan satu tangan saja. Namun, El bisa mengoperasikan ponsel dengan cumup baik hanya dengan tangan kanannya saja.     

Nusa memutuskan untuk membuka ruang pesan sekali-kali melihat ke depan, yang kali saja ada orang berpas-pasan dengannya, takut menabrak satu sama lain.     

| ruang pesan |     

Bara     

P     

Bara     

Dimana     

Bara     

P kesini lagi lo!     

Membaca itu, Nusa hanya bisa menghembuskan napasnya saja.     

| ruang pesan berakhir |     

Tidak berniat untuk membalas, di read saja sudah terdengar lebih baik pertanda dirinya yang sudah mengetahui apa isi pesan itu.     

"Hanya menyuruh aku kembali tanpa meminta maaf?"     

Baiklah, mungkin disini yang salah adalah Alvira karena ia daritadi menyimak dan El pun tidak mengatakan berbagai hal yang mencela dirinya. Namun kenapa juga bukannya Alvira yang menghubungi dirinya? Huh.     

Siapa yang tidak sakit hati dengan perkataan Alvira yang seolah-olah sama sekali tidak menginginkan kehadirannya? Ayolah Nusa! Ia sendiri pun sebenarnya sebal dengan diri sendiri karena masih saja meneteskan air mata sampai membasahi kedua pipinya dengan sempurna.     

Ia memutuskan untuk kembali menurunkan tangannya, membiarkan ponsel masih berada di genggamannya, supaya bergegas jika ada seseorang yang menghubunginya.     

Namun saat ia mengalihkan pandangan ke jalan, kedua alisnya mengernyit dengan sempurna. "Eh, dimana aku?" tanyanya sedikit gugup.     

Saking fokus dengan ponsel sambil mendumal di dalam hati, kedua matanya tak fokus melihat jalanan sampai-sampai entah menginjakkan kaki dimana.     

Tempatnya sangat sepi, sungguh. Seperti tidak ada kehidupan di sini, dan ya… suara burung hantu serta jangkrik pun terdengar dengan cukup jelas seperti bersahutan mengisi kekosongan.     

Tidak, sebenarnya ada beberapa rumah yang berpenghuni. Namun sepertinya semua di daerah ini memiliki waktu malam, bahkan tidak ada lagi suara orang-orang mengobrol. Daerah biasa, terasa seperti komplek yang benar-benar terasa menyeramkan dengan seolah-olah banyak pasang mata yang mengintai saat di jam-jam seperti ini.     

Tin     

Tin     

Nusa terkejut. Bersamaan dengan kepalanya yang menoleh ke sumber suara …     

Wush!     

NGENGGGG!     

Ponselnya di rampas begitu saja dari tangan bersamaan dengan suara knalpot motor yang di gas sangat kencang supaya tidak bisa di kejar, namun sling bag-nya tetap berada menyilang di tubuhnya, mungkin tidak terlihat.     

Ia panik ketika melihat motor tersebut malah berhenti, dan seperti tengah ingin berbalik ke arahnya. Tanpa pikir panjang —tanpa berteriak 'maling, maling, seperti kebanyakan orang yang berada di posisinya—, Nusa ikutan berbalik badan dan berlari menjaub dari sana.     

Malam ini, El pasti akan merasa bersalah untuk yang kedua kalinya karena tidak berhasil menjaga seorang Nusa dengan baik.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.