Elbara : Melts The Coldest Heart

Sarapan dan Perbincangan



Sarapan dan Perbincangan

0"Ih ternyata kalau udah bangun cantik banget."     
0

Nusa melihat wanita yang berada di hadapannya, tersenyum lebar. Sudah duduk manis di meja makan bersama dengan dirinya, dan juga tentu Bian yang juga berada di sebelahnya. Bedanya, wanita yang tentu saja bernotabene sebagai bunda dari cowok di sampingnya ini sudah habis sarapannya.     

"Makasih, Tante." ucap Nusa, menganggukkan kepala dengan penuh kesopanan. Ia merasa malu saat di puji oleh wanita yang belum perkenalan dengannya, apa perlu?     

"Jangan panggil Tante, panggil aja Bunda. Nama Bunda itu Citra, jadi jangan panggil Tante lagi, oke?" ucap Citra yang meralat panggilan Nusa untuk dirinya. Ia kurang nyaman di panggil 'tante', ya karena panggilan 'bunda' saja sudah terdengar cukup -oh atau sangat?— akrab.     

Menganggukkan kepala, Nusa tersenyum dengan manis. "Oke Bunda, Nusa ngerti." balasnya dengan mada bicara yang termasuk ciri khas-nya.     

Citra beranjak dari duduk sambil membawa piring bersamanya, ia menatap ke arah putra kesayangan yang hanya satu-satunya. "Bunda ke dapur dulu naruh piring, habis itu mau ke halaman belakang untuk siram tanaman. Jagain Nusa, jangan di apa-apain." ucapnya, berpesan sambil terkekeh di akhir kalimatnya.     

Bian hanya mendengus, tentu saja Citra tau seburuk apa hubungannya Alvira. Bahkan sampai keluarga mereka bersaing di bidang bisnis, hanya karena masalah 'itu'. Yang dimana secara harfiah memang bukan dirinya yang melakukan pelecehan Alvira walaupun terjadi di rumahnya.     

"Iya, emangnya Bian mau ngapain?" balas Bian sambil meraih segelas air putih yang berada di atas meja makan, lalu di teguk dengan perlahan guna menghilangkan perasaan dahaga yang bersarang.     

Citra tertawa kecil, lalu sekali lagi berpamitan kepada Nusa dengan sangat ramah.     

"Tuh liat bunda gue, baik, kan?" tanya Bian sambil menolehkan kepala ke arah Nusa, ia selesai mengembalikan gelas berisikan minuman yang tadinya ia tengah minum.     

Nusa menganggukkan kepala, menyutujui apa yang ditanyakan oleh Bian. "Iya baik, sama kayak kamu." ucapnya yang memang sudah memandang Bian, ia memberikan senyuman termanis, sampai-sampai kedua matanya menyipit.     

Mendengar itu, Bian sempat mengurungkan niat untuk menyuapkan nasi dan lauk di sendok ke dalam mulutnya. Ia menatap Nusa yang sudah mulai melahan santapan sarapan buatan sang Bunda yang berada di depannya dengan cukup menikmati, memangnya siapa yang bisa menolak masakan bunda Bian?     

Agak terkejut dengan ucapan Nusa yang seolah-olah mendeskripsikan sifatnya yang 'baik'.     

"Lo mikir gue baik?" tanya Bian karena penasaran dengan ucapan Alvira, takutnya hanya omong kosong belaka untuk mendapatkan perhatiannya. Namun melihat mimik wajah Nusa yang terlihat polos dan lugu, menjadikan dirinya untuk menepis pemikiran tersebut.     

Mendengar itu, Nusa sambil mengunyah kembali menolehkan kepala ke arah Bianxm. Menganggukkan kepala yang terlihat sangat-lah menggemaskan. "Iya, lah. Kamu tuh baik dari awal kita ketemu, sampai sekarang aja kamu baik nolongin aku." balasnya begitu makanan yang di mulut sudah terkunyah dengan baik.     

Tidak, banyak sekali cewek yang memuji Bian ini itu bahkan dengan kalimat puitis sampai dramatis, tapi entahlah tidak ada yang terdengar seperti Nusa. Kata cewek itu, dirinya baik? Bahkan, ia sendiri pun tidak bisa mengetahui kebaikan apa yang berada di dalam dirinya.     

"Oh oke." Bian hanya bisa membalasnya dengan begini saja, cukup ringkas.     

Nusa sedikit menaikkan sebelah alisnya. "Emangnya kenapa? Gak pernah di bilang baik sama orang?" tanyanya dengan polos.     

Mendengus kecil, setelah itu Bian hanya terkekeh saja. Ia memandangi Nusa dari samping, cewek satu itu mungkin kelaparan sampai-sampai lebih memilih melahap makanannta terlebih dulu daripada mengobrol.     

"Lo mau di balikin kapan?" tanyanya, masih belum berminat untuk mengalihkan pandangan dari Nusa.     

Dari awal pertemuan mereka, ia sudah berpikir kalau Nusa bukanlah cewek yang pantas untuk di sakiti atau ditindas seperti apa yang dilakukan oleh Priska pada dia.     

Nusa tidak menolehkan kepala ke arah Bian. "Secepatnya, kalau bisa habis makan Nusa pulang." balasnya yang tentu saja memang ingin cepat-cepat pulang karena ingin mengabari semua orang. Bodohnya, ia tidak hapal nomor siapapun, jadi tak bisa berkabar. Ingin meminjam ponsel Bian untuk sekedar menghubungi El dan kawan-kawannya, ia ragu karena memang kabarnya tidak ada yang baik-baik aja hubungan Bian dengan mereka.     

"Habis makan, pulang." ledek Bian sambil terkekeh.     

"Eh? Gak gitu! Nusa bukannya cuma mau numpang makan doang, tapi kan aku belum kabarin siapapun kalau aku baik-baik aja. Mungkin Kak Rehan cemas, tau aku gak pulang-pulang."     

"Rehan siapa?"     

"Kakak aku."     

Nusa menatap piringnya. Satu piring nasi goreng dengan topping seafood yang memang selalu menggoda. Ia pikir, masakan Citra sangat enak. Bahkan, ia hampir lupa bagaimana rasanya masakan seorang Ibu karena dirinya sudah lama di tinggal dan hanya hidup bersama dengan Rehan yang super protektif terhadapnya.     

Mendengar itu, Bian hanya ber-oh-ria sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya ia enggan untuk menanyakan dengan apa yang terjadi semalam sampai-sampai Nusa sendirian. "Lo tadi malem ngapain sih jalan sendirian? Udah tau bahaya." ucapnya, semakin menatap Nusa dengan sorot kata yang lekat.     

Baru ingin menyendokkan lauk ke dalam mulut, Nusa yang mendengar pertanyaan itu barulah menolehkan kepala, menatap Bian. "Kamu juga ngapain kok bisa nolongin aku? Udah tau malem," balasnya yang malah balik melontarkan pertanyaan.     

"Lo mau gue ceritain semuanya apa gimana?" tanya Bian dengan nada bicara yang serius, namun raut wajahnya terlihat sangat santai.     

Menganggukkan kepala, bagaimana pun Nusa harus lebih tau dulu kenapa tiba-tiba bisa ada Bian. Telat menolong sedikit saja, pasti tangan-tangan kekar preman itu sudah menyentuh tubuhnya.     

"Gue tuh ke rumah sakit nganterim cem-ceman gue tuh ya ibaratnya crush lah, dia katanya malem-malem demam, ya gue anterin." ucap Bian yang memulai berbicara perawalan. "Terus gak lama, gue kan duduk di koridor sama dia buat istirahat dulu sebelum pulang, eh gue liat lo jalan cepet banget sambil nangis. Akhirnya gue inisiatif aja ikutin lo, tapi sempet beberapa kali kehilangan jejak lo." sambungnya.     

"Kalau kamu ikutin aku, kenapa gak manggil aja? Kan jadinya Nusa gak perlu ketemu sama preman." Nusa berkomentar, mengerucutkan bibirnya dengan sangat lucu.     

Bian menghembuskan napasnya. Ia juga malam tadi berpikiran seperti itu, dan merasa bersalah. "Oke gue minta maaf, gue kan posisinya ikutin lo jalan kaki juga. Balik dari sana gue gendong-gendong lo sampai jalan raya asal lo tau." ucapnya.     

Nusa membelalakkan kedua bola matanya. "Serius?!"     

"Ngapain boong? Untungnya lo sama sekali gak kerasa berat."     

"Makasi banyak ya, Bian. Gak lagi deh jalan malem-malem sendirian."     

"Iya sama-sama." Lalu Bian menaikkan kedua alisnya. "Terus kenapa lo keluar dari rumah sakit sambil nangis-nangis? Lo belum cerita,"     

Nusa mengangkat bahunya, lalu memutuskan untuk kembali menatap makanannya. "Rahasia."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.