Elbara : Melts The Coldest Heart

Muncul Ide Cemerlang



Muncul Ide Cemerlang

0Priska menatap Nusa dengan sebal, ia langsung saja beranjak dari duduknya dan keluar kelas dengan sebelumnya yang sudah mengatakan kepada Disty dan Nika untuk tidak mengikutinya.     
0

Rasa sedih dan kesal bercampur menjadi terasa seperti permen nano-nano, dadanya pun terasa sangat sesak mengingat apa yang dikatakan oleh El kepada Nusa, terlebih lagi di katakan di depan para murid.     

Rasa sedih menyelimuti relung hatinya, kakinya berhenti tepat di toilet dan ia sudah masuk kesana bertepatan dengan suara bel masuk.     

"Bodo amat, mendingan bolos daripada liat El sama Nusa berdua-duaan, panas!" serunya sambil menatap ke arah cermin panjang menyamping yang identik sekali di taruh besar-besar di kamar mandi karena para cewek lebih dominan mengaca dan memperhatikan penampilan.     

Toilet sepi, mungkin karena para murid juga tidak ingin mengambil resiko telat masuk ke kelas di jan pertama pelajaran, tapi baginya sih gak penting.     

"Gila, yang gue pikir dia itu penyemangat gue, malah jadi bumerang yang bikin hati gue sakit banget gila."     

"Gue udah nunggu posisi itu, tapi di rebut gitu aja sama Nusa, sakit banget."     

"Gak, gue emang gak bisa diem aja. Tapi kalau gue bertingkah, pasti nanti kebablasan. Gue juga gak mau di ancam masuk penjara,"     

Priska bergumam dengan pikiran di kepala yang berantakan. Bahunya merosot kala tubuhnya di sandarkan ke tembok.     

Air mata menitik dari kedua kelopak matanya, menjadikan napas Priska tercekat karena memikirkan nasibnya yang buruk.     

Mencintai, tapi tak di cintai balik bahkan di benci? Apa dunia sekejam itu pada orang-orang tak berdosa sepertinya?     

Hei, kalian pikir memangnya kenapa Priska suka sekali mem-bully orang? Ya jawabannya hanya ingin mendapatkan perhatian dari El, namun mungkin memang benat caranya saja yang salah. Ia bertingkah bukan seperti cewek yang menjadi kriteria El, ia malah sibuk menarik perhatian dan melupakan jati diri cinta yang sesungguhnya.     

"Miris, sakit banget hati gue sama kejadian tadi."     

Priska menangis. Untuk kesekian kalinya ia menangis hanya karena El. Biasanya, tangisannya ini tidak terlalu terasa menyakitkan walaupun perlakuan cowok tersebut terlihat kurang bersahabat dengannya.     

"Plis, gue mau dapet kebahagiaan gue.. Kenapa sih El gak pernah sadar kalau ada gue di hidupnya? Gue tuh kayak gaib banget di mata dia, astaga."     

Masih sama, Priska masih menempatkan kebahagiaannya di El. Masih menganggap kalau suatu saat nanti, cowok itu menjadi miliknya.     

Semakin mengingat segala perjuangan mati-matian yang sudah ia lakukan untuk El, semakin itu juga perasaan sesak hadir di rongga dada Priska. Seolah-olah menghimpit hatinya sampai merasakan perasaan sesak yang menyakitkan.     

Tangisannya memang tanpa suara, namun jika seseorang yang melihatnya pasti akan menyimpulkan kalau seorang Priska yang bertingkah selayaknya iblis ini tengah lengah dan menyedihkan. Tidak ada lagi tatapan tajam bagaikan iblis, semua itu seakan musnah berganti dengan tatapan penuh dengan kesenduan.     

Memeluk diri sendiri karena tidak memiliki seseorang yang bisa benar-benar memenangkan dirinya. Disty dan Nika itu sebelas dua belas dengan Reza dan Mario, bedanya kedua sahabatnya itu lebih parah. Jika keduanya sudah bertemu, pasti lupa dengan adanya Priska. Makanya tadi ia melarang untuk diekori supaya bisa menenangkan diri sendiri.     

Sangat butuh kehadiran seseorang. Padahal, banyak sekali cowok yang lebih dari El —namun tetap saja kalah dengan setiap sudut pandang, wajah, materi, dan lainnya— namun lebih dalam hal dapat mengerti dirinya. Namun mungkin Priska belum bisa membuka mata? Maka, hanya El saja yang menjadi pacuannya untuk melihat cinta.     

Sudah bertahun-tahun lamanya hanya berpacu pada satu orang, namun tidak membuahkan hasil. Dan tepat pada hari ini, adalah hari yang paling mengecewakan untuknya.     

"Permisi."     

Bukan, itu bukan suara Priska atau Disty dan juga Nika. Ia kenal suara itu, namun berusaha untuk tidak terlalu mencolok. Ya walaupun susah sih karena dirinya masih menangis dengan posisi yang mengenaskan di lantai.     

Tidak menjawab, Priska masih berada di posisinya, yaitu meringkuk di lantai. Ia tidak peduli jika ada orang yang melihat kondisinya seperti ini, ia benar-benar tidak peduli.     

Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Priska menundukkan kepala, menenggelamkan kepalanya ke lutut.     

"Kak Priska, bukan ya? Ini aku, Vira."     

Mendengar itu, menjadikan Priska kembali mengangkat wajahnya. Mata terlihat sembab dan memerah yang sewarna dengan hidungnya, belum lagi penampilannya yang menjadi acak-acakan, jangan di tanya seberapa menyakitkan menjadi dirinya saat ini.     

"Ngapa lo?" tanya Priska dengan sinis. Ia memang memiliki sifat yang seperti ini, yang terkadang di salah artikan oleh banyak orang.     

Alvira terlihat berjongkok di hadapan Priska, menatap cewek penguasa sekolah dengan perilaku bully yang terkenal dengan tatapan menurun. "Jangan nangis, nanti shopping sama aku yuk pulang sekolah." balasnya sambil tersenyum lebar, menjulurkan tangan untuk menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Priska.     

Menatap Alvira dengan aneh, juga memperluas pandangannya dari atas ke bawah, lalu Priska mengunci tatapan mereka. "Dalam rangka apa? Lo sebelumnya gak pernah deket-deket sama gue, katanya lo takut plus perintah El." ucapnya yang menaikkan sebelah alis.     

Alvira menghembuskan napas, lalu menggelengkan kepala dengan perlahan. "Ya emangnya gak boleh? Bukannya di dunia ini ya bebas-bebas aja ya berteman sama siapa pun itu?"     

"Ya iya sih, tapi lo aneh. Udah sana keluar, nanti gue kena lagi sama El gara-gara ketauan deket-deket sama lo." Priska ingat dengan jelas saat Alvira baru pertama kali masuk ke sekolah ini dan dirinya ingin mengajak gabung ke genk-nya yang memang ratu bully, saat itu El memaki dirinya di lapangan, ya di depan banyak murid.     

Alvira tersenyum simpul. "Gak akan, lagian juga Kak Bara udah sibuk sama Kak Nusa." ucapnya.     

Tunggu, dari nada bicara Alvira, Priska cukup sadar kalau sedang ada aduk cek-cok di antara adik Kakak tersebut yang hadir karena adanya orang ketiga di antara mereka.     

Dengan nada bicara yang serak karena habis menangis, Priska benar-benar memusatkan perhatian kepada Alvira. Lalu, muncul-lah ide brilliant di kepalanya. Ia menghapus lebih lagi air mata yang menetes di kelopak matanya, setelah itu menghembuskan napas berpura-pura tersakiti. "Udah denger kabarnya, kan? Gue sakit banget adal lo tau, Ra." ucapnya sambil menekuk senyuman.     

Alvira tampak menganggukkan kepala, menjulurkan tangan untuk menepuk-nepuk bahu Priska dengan penuh kelembutan. "Kakak yang sabar ya, nasib kita sama. Jadi, ayo kita nanti jalan-jalan, aku yang traktir." balasnya.     

Priska menganggukkan kepala. "Oke, pulang sekolah gue tunggu lo di parkiran."     

"Tapi tanpa Kak Disty sama Kak Nika, gak masalah kan, Kak?"     

"Aman, kita berdua aja."     

Alvira tersenyum senang, lalu membantu Priska berdiri. Dan kini mereka berdua sudah berjalan bersisian. Dengan Priska yang tak di sadari Alvira sudah menunjukkan senyuman miring.     

Ia mendapatkan kuncinya.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.