DUPLICATE.

NANGIS ITU PERLU!



NANGIS ITU PERLU!

0"Kakak kenapa?" Ucap Sheila yang melihat Alfa memiliki lebam di wajahnya. Wajahnya sangat lusuh, bibirnya terlihat sedikit sobek. Tapi, rasa sakit di badanya tidak Ia rasakan. Luka itu hanya membekas.     
0

Tetap saja walaupun Alfa tak merasakan rasa sakit di tubuhnya. Ia masih tetap memiliki rasa sakit dihatinya, Ia lesu. Belum lagi Ia terus kepijuran mengenai ucapan Tata yang membuatnya kebingungan. Akankah Ia menyerah untuk menyerahkan dirinya? Demi membebaskan Tata dan Dika dari jeratan perjanjian mereka yang bahkan tidak diketahui oleh Alfa.     

.     

.     

.     

"Emangnya gue sama Dika mau, huh? Memangnya gue sama Dika dengan suka rela ngehianatin lo? Memangnya gue sama Dika gak tertekan sama keadaan ini? HAH! GUE TAHU PERASAAN LO DAN GUE TAHU SUDUT PANDANG LO KE GUE SAMA DIKA! Tapi, apa! Lo gak tahu kenapa gue sama Dika tiba-tiba ngebela musuh lo? Apa lo tahu? HAH!" Ucapan Tata yang masih terbayang di pikiran Alfa.     

"Yaudah bawa gue!" Ucap Alfa tadi.     

"EMANGNYA GUE SANGGUP BAWA LO? MIKIR BEGO!" Umpatan Tatapun mampu membuat Alfa bimbang. Pada kejadian ini siapakah yang salah? Dirinya atau Tata dan Dika?     

.     

.     

.     

"ABANG!" Teriak Sheila di hadapan Abangnya yang sedang ngalamun. Dengan sangat memaksakan keadaan, Alfa tersenyum kepada sang Adik tercinta.     

"Iya?" Jawab Alfa kelagapan, untunya Ia dengan cepat mengingat apa yang diucapkan Sheila terakhir.     

"Gapapa, tadi dijalanan tiba-tiba ada yang mau jahatin Abang. Untung Abang kuat!" Ucap Alfa tersenyum renyah.     

Mendengar perkataan Alfa membuat Sheila menitihkan air mata.     

"Ih kok nangis!" Ucap Alfa yang melihat Sheila menangis di hadapanya.     

"Sheila gak mau kehilangan Abang! Sheila gak mau abang sampai kenapa-napa. Apalagi Sheila gak mau kalau Abang ninggalin Sheila tanpa alasan seperti kemarin. Sheila takut sendirian! Sheila gak mau pisah sama Abang!" Ucap Sheila dengan jujur. Semua kekhawatirannya Ia utarakan di hadapan Abangnya tercinta. Abang yang sangat Sheila sayang, dan bahkan seorang Abang yang sangat berpengaruh dalam hidup Sheila untuk menggantikan sesosok peran yang Ayah yang telah meninggalkanya.     

"Hush, kamu bicara apa? Mana mungkin Abang rela untuk ninggalin kamu? Abang sebisa mungkin akan selalu ada disisimu, Sheila." Ucap Alfa sembari memeluk Sheila dengan erat. Ia juga tak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Sheila juga ikutan membenci Alfa? Apakah Ia masih tetap mempertahankan kehidupanya? Atau justru menyerah dan memberikan segalanya.     

"Hiks hiks." Sheila masih saja memeluk erat tubuh Alfa dengan isak tangisnya yang masih menempel di dalam dirinya.     

"Udah, Sheil." Ucap Alfa dengan beberapa kali menciumi kepala Sheila. Alfa selalu saja melakukan ini ketika mendapati adiknya yang menangis di dalam dekapanya.     

Setelah beberapa menit kemudian, Sheila menghentikan tangisanya dan mengajak Alfa untuk masuk kedalam. Dengan segera Sheila mengambilkan kompres untuk mengobati luka Alfa yang hanya sebatas bekas.     

Alfa amat sangat bersyukur dengan memiliki seorang adik yang selalu ada ketika Alfa sakit.     

"Abang, bisa gak sih abang gak bikin Sheila khawatir!" Ucap Sheila denfan cemberut seraya mengobatai luka lebam Alfa.     

"Nggak bisa, Abang seneng lihat kamu nangis sama meluk Abang. Kek anak kecil." Ucap Alfa berusaha melupakan semua kejadian yang baru saja menimpanya.     

Plak!     

Sheila memukul bahu Alfa kemudian dengan segera memeluknya. Alfa bingung kenapa adeknya ini selalu saja berubah sikap dengan sangat cepat.     

"Ni kenapa si anak aneh bener, kadang marah-marah terus nangis sendiri, mukul-mukul kemudian langsung meluk, kalau ketawa juga kadang lebih banyak mukulnya. Heran gue!" Pikir Alfa.     

Alfa kini membalas pelukan Sheila. Ia bersama Sheila melanjutkan menonton TV setelah Sheila mengobati luka yang berbekas di bagian yang terlihat olehnya. Sesaat sedang asyiknya menonton TV, Alfa lagi-lagi teringat oleh kejadian yang dialaminya barusan.     

"Dahlah, males gue mikirin Tata sama Dika. Mending mikirin Si Sheila dulu. Jangan sampai dia juga ikutan benci ma gue." Batin Alfa membuatnya untuk merelaks-kan pikiranya.     

Disisi lain,     

Waktu menunjukan pukul 10 P.M. Tata dan Dika sedang berada di tepi jalanan yang sepi. Udara yang begitu bersahabat tidak dapat membuat hati mereka merasa tenang. Pasalnya dalam diri mereka tetap diselimuti rasa bersalah kepada Alfa.     

"Apakah yang gue omongin ke Alfa benar? AH BEGO! Kenapa gue ngomong jujur ke dia? Harusnya gak perlu!! Ya Tuhan, kalau begini gue mending dapet kekuatan kembali ke masa lalu! Dengan begini gue bisa lebih hati-hati dalam ucapan gue. Hiks, Tata bego!" Teriakn batin Tata membuatnya tak memiliki semangat lagi. Ia menenggelamkan kepalanya di jembatan besi setinggi dadanya.     

"Kenapa lu, Ta?" Tanya Dika yang melihat Tata bertingkah sedemikian rupa.     

Bukanya menjawab pertanyaan Dika, Tata justru menggelengkan kepalanya lemah.     

"Lu gak ada masalah sama Alfa saat lo pergi berduakan?" Tanya Dika.     

"BEGO! Kenapa lu tanya begitu? Ya jelas Alfa bakalan marah ke Tatalah. Secara Gue sama Tata udah terbongkar untuk dukung dan berada di pihak musuh Alfa." Batin Dika setelah melontarkan pertanyaannya kepada Tata.     

Lagi, lagi, dan lagi. Tata menjawab pertanyaan Dika dengan tetap menggelengkan kepala.     

Melihat respon tersebut akhirnya Dika mengajak Tata untuk pulang. Mungkin Tata ingin membiarkan dirinya untuk tenang dan tak ingin diganggu.     

"Yaudah yuk pulang. Gue harap lo bisa nenangin diri lo di rumah. Tapi, gue pesen sama lo untuk gak memaksakan diri. Gue takut kalau lo jatuh sakit nantinya. Gue yakin kok, Alfa bukan tipe yang selalu marah ke sahabatnya." Ucap Dika kepada Tata.     

Mendengar ucapan Dika membuat Tata berpikir, apakah ini Dika yang Ia kenal? Bukanya Dika yang Ia kenal adalah seorang yang berbicara dengan crplas-ceplos tanpa memikirkan hati lawan bicaranya? Tapi lihatlah, ucapan Dika yang baru saja keluar dari mulutnya dapat membuat hati Tata menjadi tenang. Setidaknya, masih ada seseorang yang mengkhawatirkan dirinya saat dia merasa lelah.     

Tata kemudian mengangkat kepalanya lemah kemudian memaksakan diri untuk tersenyum kearah Dika. Dika membalas senyuman yang dilontarkan Tata.     

"Gak usah dipaksa senyum-senyum kalau lagi ada masalah! Kalau mau nangis ya nangis aja! Gak semua masalah bisa di leburin pakai senyuman. Nangis itu juga perlu untuk mengobati rasa luka." Ucap Dika dengan bijak.     

Mendengar dan menatap Dika yang berbicara sedemikian rupa membuat senyuman tang ada di wajah Tata sedikit demi sedikit menghilang. Kini, air mata yang sedari tadi Ia tahan berhasil jatuh tanpa ada pengendalian. Alhasil, Tata menangis tepat dihadapan Dika.     

"Huaaaa, Gue capek, Dik! Gue capek." Ucap Tata kepada Dika dengan isak tangisnya.     

Melihat hal tersebut membuat Dika tersenyum. Dengan segera Ia melangkahkan kakinya untuk mendekati Tata dan memeluknya dengan erat.     

"Gak usah ditahan lagi! Nangislah semau dan sekeras apapun yang lo mau! Disini, gue ada untuk tetap dukung lo! Mau bagaimanapun juga lo gak sepenuhnya salah dalam masalah ini." Ucap Dika yang mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Tata. Sedangkan Tata tetap menangis mencurahkan segala keluh kesah dan rasa kesalnya hari ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.