1912-1932: I Love You, Maria Van Der Wijk

Rasa Sakit Hati Ibu



Rasa Sakit Hati Ibu

0Sejak memenuhi undangan ibu Hermand waktu itu, baik Arya maupun Maria teratur menjadi tamu di istana Residen. Nyonya Residen sangat menyukai keduanya dan sering mengundang mereka datang ke rumahnya untuk sekadar bercakap-cakap.     
0

Kadang ia akan membawa Maria menemaninya berbelanja pakaian gaun bagus-bagus. Hermand tentu saja senang melihat perkembangan ini. Pelan-pelan Maria pun terlihat mulai membuka diri kepada keluarganya.     

Melihat Maria disukai oleh istri residen, Ibu tak kuasa memperlakukannya dengan buruk. Ia tak berani menyinggung istri residen bila Maria mengadu kepadanya.     

"Arya... kamu jangan sering-sering membawa Maria ke Ciwidey atau membiarkan Maria berkunjung ke rumah residen terlalu sering," kata Ibu pada suatu hari. "Ibu mengerti kau ingin menjauhkan Maria dari Ibu karena kau takut Ibu akan memperlakukannya dengan buruk."     

Arya tertegun mendengar Ibu bicara tanpa tedeng aling-aling seperti itu. Ah, ibunya sangat mengenalnya.     

"Uhm... aku tahu Ibu masih berduka. Aku tak ingin membuat Ibu sedih kalau sering melihat Maria..." kata Arya pelan.     

Ibunya yang cantik dan pintar, seandainya bersekolah seperti orang barat tentu akan menjadi sangat mengagumkan. Dalam hati Arya mengecam sistem di sekitarnya yang berlaku tidak adil kepada perempuan dan memperlakukan mereka sebagai warga kelas dua.     

Ibu menatap Arya lama sekali, matanya menyimpan sejuta kesedihan, membuat Arya menjadi tersentuh dan tanpa sadar menghampiri ibunya yang sedang duduk di kursi dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. Raden Nyimas melengos dan memejamkan mata.     

"Maafkan Ibu, Arya... " Suaranya terdengar dipenuhi kepedihan. "Setiap kali Ibu melihat Maria, ibu akan teringat betapa Ayahmu tidak pernah mencintai Ibu. Ia lebih mencintai Maria anak angkatnya daripada kita karena ia rela mati untuknya..."     

"Ibu... jangan berkata begitu!" seru Arya dengan suara bergetar. "Ayah menyayangi kita..."     

Raden Nyimas menggeleng-geleng sambil menutupi wajahnya dengan sepasang tangannya. Suaranya terdengar sangat kecil di antara isak tangisnya.     

"Setelah Raden Kartono kembali ke Indonesia, Ayahmu sering menghabiskan waktu bersamanya karena ia merindukan kehidupannya di Belanda dulu. Ia selalu rindu Leiden, dan Ibu tahu ia sebenarnya tidak bahagia tinggal di Bandung. Baru dua tahun yang lalu Ibu mengerti sebabnya.     

Ternyata, dulu ayahmu mencintai seorang perempuan Belanda saat ia kuliah di sana dan mereka hidup bahagia bersama, bahkan punya seorang anak perempuan. Ia terpaksa pulang ke Bandung demi memenuhi permintaan terakhir ayahnya yang sedang sakit dan menikahi Ibu...."     

"Oh... Ibu, benarkah itu?" Arya tertegun mendengar kata-kata ibunya di antara isak tangisnya. "Kapan Ibu mengetahui hal ini?"     

"Ibu mendengar pembicaraan mereka suatu kali di teras, saat Raden Kartono pertama kali berkunjung ke rumah kita. Ayah menanyakan kabar perempuan itu dan anaknya..." Ibu sesenggukan dan hampir tak dapat melanjutkan bicaranya.     

"Ayahmu sangat terpukul saat mengetahui bahwa anaknya itu meninggal karena sakit. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa ada di sana untuknya... Ayahmu tak pernah pulih dari rasa bersalahnya. Rupanya dulu saat pertama kali melihat Maria dibuang di depan rumah kita, ia menganggap Maria sebagai pengganti anaknya...     

Ia pikir kalau ia merawat anak orang lain dengan baik, Tuhan akan merawat anaknya di Belanda sana... Tetapi saat ia mendengar kabar kematian anaknya itu dua tahun lalu... Panji merasa tambah bersalah.. Itulah sebabnya ia sudah tidak memikirkan kita. Ia bahkan rela mati demi Maria demi menebus rasa bersalahnya kepada anaknya itu..."     

Arya tak kuasa menahan air mata yang pelan-pelan menetesi pipinya. Sekarang ia mengerti mengapa ibunya sangat sakit hati.     

Selama dua tahun terakhir ini ibunya telah menahan diri dan puncaknya ketika Ayah memilih mengorbankan diri untuk menyelamatkan Maria, seorang anak orang asing, dengan meninggalkan istri dan anaknya sendiri...Ibu merasa sangat terpukul dan terluka.     

Di sisi lain, ia bisa mengerti situasi dan kesedihan ayahnya yang terpaksa harus meninggalkan perempuan yang ia cintai dan anak mereka, demi berbakti kepada orang tuanya...     

Ia sangat membenci tradisi kolot masyarakatnya yang masih melakukan perjodohan seperti itu... Sungguh, sudah ada begitu banyak hati tersakiti dan menderita hanya karena keegoisan orang tua.     

Tiba-tiba kepalanya terasa sakit karena memikirkan sebentar lagi Maria juga akan kembali dijodohkan. Dan kini setelah ia mengetahui alasan kebencian Ibu terhadap Maria, Arya menyadari Ibu tidak akan pernah ada di pihaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.