1912-1932: I Love You, Maria Van Der Wijk

Maria Menghilang



Maria Menghilang

0Arya dan Hermand kembali ke sekolah dan menelusuri jalan-jalan di sekitarnya sambil bertanya ke siapa pun yang mereka temui, apakah mereka melihat seorang gadis indo yang menangis keluar dari sekolah. Seorang tukang perkakas memberi petunjuk bahwa Maria mengayuh sepedanya keluar dari sekolah dan menuju ke arah timur.     
0

"Aku harus memberi tahu Ayah dulu," kata Arya kemudian. Hari sudah mulai gelap dan ia tahu bahwa tanpa bantuan polisi kemungkinan mereka tidak akan bisa menemukan Maria.     

"Apa Maria punya tempat kesukaan yang mungkin dia tuju?" tanya Hermand. "Aku bisa ke sana duluan."     

Arya menggeleng. Maria tidak pernah ke mana-mana sendirian. Hidupnya hanya di seputar rumah dan sekolah, dan kadang-kadang ia ikut Arya atau ayah ke pasar malam. Selain itu mereka datang ke acara resmi sekeluarga. Temannya juga tidak banyak.     

Arya memacu sepedanya ke Bragaweg* dan mencari Ayah. Hermand mengendarai sepedanya sambil berseru memanggil nama Maria. Hingga hari gelap ia tak menemukan jejak gadis itu.     

Ayah sudah tidak ada di kantor saat Arya tiba di sana. Ia pun segera menuju ke rumah dan menemukan orang tuanya sedang makan malam bersama. Mereka sangat terkejut dan segera menyudahi makan begitu mendengar keterangan dari Arya.     

"Tunggu di sini, Ayah akan ke kantor polisi." Ayah segera mengambil kunci mobil fordnya dan berangkat tergesa-gesa tanpa menunggu supir.     

"Ayah, aku mau ikut!" Arya buru-buru naik ke kursi penumpang dan dengan pandangan memelas memohon agar diperbolehkan ikut. Ayah seperti tidak melihatnya, pandangannya kalut saat ia memacu mobil ke kantor polisi.     

Setibanya di kantor polisi ia buru-buru bicara dengan Kapten Jannsen dan menunjukkan foto keluarga yang diambil saat ulang tahun kakek beberapa bulan lalu untuk memberi gambaran rupa Maria.     

Kapten Jannsen segera memerintahkan anak buahnya untuk berkeliling mencari informasi. Arya dan ayah duduk sebentar di kantor polisi untuk menenangkan diri, sebelum kemudian melanjutkan pergi mencari Maria.     

Mobil ayah berhenti di kantor jaksa.     

"Tadi siang Maria mampir ke kantor Ayah." kata Ayah tiba-tiba dengan suara lirih. Ia memijat keningnya seperti menahan sakit kepala yang amat berat. "Dia cuma duduk di sofa seperti biasa..."     

Ayah turun dari mobil dan masuk ke dalam kantornya pelan-pelan, seolah mengamati setiap jejak Maria yang mungkin tersisa, untuk mencari petunjuk keberadaan gadis itu. Arya terkesiap mendengar perkataan ayahnya. Ia tidak menduga Maria tadi siang ke sini.     

"Dia nggak bilang apa-apa?" tanya Arya cepat.     

Ayah menggeleng. Ia menangkupkan kepalanya di antara kedua tangannya dan tampak sangat kalut. Arya belum pernah melihat ayahnya sekuatir ini. Maria seorang anak perempuan, dan sangat cantik. Sungguh berbahaya baginya berada di luar sendirian seperti ini. Mereka tak bisa membayangkan bahaya apa saja yang mengancamnya.     

"Ayah, aku mau keluar mencari Maria." kata Arya kemudian. Ia akan menelusuri jejak Maria dari kantor ayah, dengan harapan ia bisa menemukan jejaknya. Ia berhenti di depan pintu dan merenung, ke arah mana kira-kira Maria akan melangkah. Saat pandangannya tertumbuk pada penjaga gedung, ia tergesa-gesa menanyakan apakah ia tadi siang melihat Maria keluar dari kantor ini.     

"Oh, nona Maria tadi menuju ke arah utara sambil menuntun sepedanya. Wajahnya sedih sekali. Bapak pikir dia dimarahi tuan jaksa." jawab lelaki separuh baya itu.     

"Ayah tidak pernah memarahi Maria," dengus Arya. Ia segera berjalan ke arah yang ditunjukkan penjaga kantor. Matanya sigap melihat ke segala arah. Jalanan ramai dengan kafe yang masih buka untuk orang-orang menikmati makan malam.     

Arya baru sadar bahwa ia belum makan apa-apa dari siang dan saat ini perutnya mulai sakit. Akhirnya ia masuk ke salah satu kafe dan memesan makanan cepat-cepat. Sambil menunggu pikirannya melayang-layang ke kejadian tadi siang saat ia melihat Maria berurai air mata di kelas. Ia sangat menyesal tadi ikut ke kantor kepala sekolah. Seharusnya ia sadar, bahwa dalam situasi seperti ini, Maria pasti mengalami shock.     

Orang biasa bila mengalami peristiwa seperti ini pasti akan terpukul, ia seharusnya tahu bahwa Maria akan jauh lebih hancur karena gadis itu sangat berbeda dari siapa pun yang pernah dikenalnya.     

Maria sangat jarang menangis. Emosinya tersimpan jauh di dalam kepalanya, tidak terungkap dengan bebas. Ia pelit dalam menyampaikan perasaannya, baik itu marah, atau sedih. Maria bahkan tidak suka bicara bila tidak perlu. Sehingga dapat dibayangkan betapa besar kesedihan yang ia alami hingga berderaian air mata seperti tadi siang.     

Arya ingat dulu Maria tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun selama bertahun-tahun sejak mereka menemukannya di dalam keranjang. Mereka sekeluarga mengira ia memang bisu dari lahir. Wajahnya yang cantik menggemaskan selalu tampak datar dan biasanya tanpa ekspresi. Hanya sesekali ia tersenyum bila Arya berhasil menggodanya.     

Ketika Arya masuk sekolah dan mulai belajar, barulah Maria menunjukkan minat pada sesuatu. Ia senang membolak-balik buku pelajaran Arya dan pada suatu hari suara kecilnya tiba-tiba terdengar, membuat Arya kaget.     

"Salah."     

Itu adalah kata pertama yang diucapkan Maria. Sore itu Arya sedang mengerjakan PR Matematikanya sambil berbaring telungkup di tempat tidur dan Maria duduk di sebelahnya melihat buku Arya dengan penuh perhatian. Suara kecil itu membuat Arya terkesiap. Ia menoleh kepada Maria dengan pandangan tidak percaya.     

"Eh?"     

"Jawabannya lima." Maria yang berusia lima tahun kembali buka suara dan menunjuk buku Matematika Arya.     

"Eh? Kau..? Kau bisa bicara???!!!" Arya menjerit seketika, "Ibuuuuuuuu...!!!! Ayaahhhh!!! Maria bisa bicaraaa!!!"     

Serentak kedua orangtuanya yang sedang menikmati teh sore menghambur ke kamar Arya. Arya berdiri dengan wajah pucat sambil menunjuk ke arah Maria yang memandangnya dengan tatapan heran.     

"Apa katamu?" tanya Ayah bingung. "Maria bisa bicara?"     

"Iyaaa.. tadi dia bicara dua kali. Katanya 'salah' dan 'jawabannya lima'" Arya menunjukkan buku Matematikanya kepada ayah. Ayah cepat memeriksa PR Arya dan memandang Maria, lalu kembali memandang buku, lalu Maria, lalu Arya.     

"Jawabanmu yang ini memang salah. Harusnya lima." kata Ayah keheranan. Ia lalu berlutut dan mendekap Maria. "Kamu benar, Nak. Jawaban Arya salah. Anak ayah pintar sekali."     

Maria mengangguk puas. Ia mengambil buku Arya lalu menunjuk soal demi soal yang sedang dikerjakan Arya.     

"Sepuluh. Tujuh belas. Empat. Dua belas."     

Ia menyebutkan jawaban untuk setiap soal yang ditunjuknya. Ayah kaget karena semua jawabannya benar.     

"Semuanya benar. Kamu pintar sekali. Kenapa Maria tidak pernah bicara selama ini?" tanya ayah sambil menatap Maria dengan pandangan heran. Maria hanya mengangkat bahu.     

"Buat apa? Selama ini semuanya baik-baik saja." Jawabannya mengagetkan semua orang. Ekspresi bocah itu adalah gabungan ekspresi bosan dan tidak sabar. Ayah, Ibu, dan Arya sangat senang mengetahui bahwa ternyata Maria sebenarnya bisa bicara, tetapi selama ini memilih diam. Ia sangat pelit dengan kata-katanya.     

Tahun demi tahun saat ia tumbuh, Maria mulai bercakap-cakap, tetapi tetap dalam kadar seperlunya. Bisa dibilang Aryalah yang paling sering mendengar suara Maria karena mereka selalu bersama dan Maria paling dekat dengannya. Hingga remaja, Maria masih pelit membagi emosinya.. Arya hampir tak pernah melihatnya menangis..     

Seharusnya ia tahu...     

Seharusnya ia tidak meninggalkan Maria di kelas...     

Perlahan air mata menetes turun ke pipi Arya yang merasa sangat putus asa. Makanan yang dipesannya tiba dan pelayan tampak memandangnya dengan aneh, tetapi ia tidak peduli. Arya makan secepatnya lalu meninggalkan uang pembayar makanan di meja dan keluar.     

"Arya!"     

Ia menoleh ke arah asal panggilan tersebut dan menemukan Hermand yang berlari mendekat. Ia ditemani dua orang pengawal.     

"Ada kabar?" tanya Hermand.     

"Kita sudah ke polisi, ayah ada di kantor dan aku memutuskan mencari sendiri. Kau sudah ke mana saja?"     

Hermand menyebutkan tempat-tempat yang sudah ditelusurinya bersama para pengawalnya dan ia masih tidak menemukan jejak Maria. Arya menjadi tambah putus asa. Kemana gerangan Maria?     

.     

.     

*Bragaweg = Jalan Braga     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.