The Lost Love

Kabur dari rumah



Kabur dari rumah

2"Om, bagaimana dengan Alona? Apakah dia masih tidak mau menemuiku?" Dewa beranjak berdiri begitu dia melihat ayah Alona kembali menghampirinya.      0

"Dia menolak untuk bertemu denganmu, dan kali ini Om juga akan menyetujuinya. Selama ini Om sangat memperhatikanmu, Dewa. Om sangat menyayangimu, bahkan om sudah menganggapmu seperti putra sendiri. Tapi kau..."     

"Om, tolong jangan katakan bahwa om akan menyetujui keputusan Alona mengakhiri hubungan kami."     

"Ini salah om, telah beraharap banyak padamu. Om sudah terlalu memberikan banyak kepercayaan, jadi... Cukup, biarkan Tuhan saja yang mengatur kalian jika memang kalian berjodoh nanti."     

"Om, kumohon... Jangan seperti ini, aku benar-benar mencintai Alona, Om. Sangat mencintainya," ucap Dewa dengan tatapan panik di raut wajahnya.     

"Pergilah, Om tidak ingin memperpanjang hal ini lagi. Cukup, Dewa."     

"Om, kumohon..."     

"PERGI!" hardik ayah Alona mengangkat satu tangannya menunjuk ke arah pintu, membuat Dewa sungguh terkejut bukan main.     

Dewa menarik napas dalam-dalam. "Baik, baik, Om. Om akan menyesali ini," sahut Dewa seraya kemudian beranjak pergi dengan langkah kesal menuju ke luar rumah Alona.     

Ayah Alona penuh dengan amarah yang memuncak, dia menaik turunkan napasnya seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa.     

"Bapak, ini tidak adil untuk kak Alona. Kenapa bapak harus mengurungnya, apa bapak tau kak Alona sedang sakit saat ini." Aleea keluar dari kamar Alona seraya kemudian menghampiri sang ayah dan mengomeli nya.     

"Aleea, sudah berapa kali bapak katakan padamu. Kau masih anak-anak, kau belum bisa berpikir dan mengerti orang dewasa."     

"Aleea sudah mengerti, Aleea sudah tau, Aleea sudah bisa berpikir dengan dewasa. Bapak selalu saja memaksa kak Aleea melakukan hal yang di sukai oleh bapak, tanpa memikirkan perasaan dan pengorbanan kak Alona selama ini."     

"Diam! Jangan banyak bicara lagi kau, masuk kamar!" hardik sang ayah membentak Aleea.     

Aleea mendecak sebal melangkah pergi dari hadapan sang ayah menuju kamarnya. Sementara Alona mulai cemas dan di rundung segala perasaan dilema yang membuatnya entah harus berbuat apa saat ini.     

Dia mencoba menelpon Kenzo, dia ingin mengatakan hal yang terjadi padanya saat ini. Akan tetapi, bagaimana dia harus menyampaikannya?     

Sore pun telah tiba, pulang dari tempatnya bekerja Kenzo segera menelpon Alona untuk menanyakan kabar lantaran Alona belum membalas pesan yang dia kirimkan sejak pagi tadi.     

"Ha-halo..." jawab Alona dengan ragu-ragu menerima panggilan telepon Kenzo.     

"Huh... Syukurlah, kau menjawab panggilan teleponku. Kupikir kau sedang mengalami hal buruk, karena kau tidak membalas pesanku sejak pagi tadi. Apa kau baik-baik saja?" Kenzo langsung saja mengomeli nya begitu mendengar suara Alona.     

"Aku... Hanya sedikit demam, aku hanya tidur saja sejak tadi." Alona menjawab sekenanya.     

"Apa? Demam? Bagaimana bisa? Aku sudah mengatakannya jangan mandi tengah malam, kau mulai bandel!"     

"Sayang... Aku hanya sedikit demam saja, tidak buruk. Aku hanya perlu tidur lebih banyak saja, dan... Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari ini."     

Kenzo terdiam sejenak, dia merasa Alona sedang berbohong. Namun, dia berusaha menahan diri untuk tidak mendesak Alona kali ini.     

"Hem, tak apa. Apakah kau ingin aku menjengukmu?"     

"Ken..." lirih Alona dengan manja.     

"Hahaha... Aaah, aku hanya sedih kau sakit begitu sementara aku tidak bisa menemanimu."     

"Kita masih bisa saling bertukar telepon bukan?"     

"Mana cukup, aku ingin merawat calon istriku ini."     

"Kenzo... Hentikan, jangan menggodaku lagi." Alona tampak tersipu malu namun air matanya mulai membumbung.     

"Alona... Apa kau yakin tidak sedang berbohong padaku?" tanya Kenzo kembali.     

Alona terdengar menarik napasnya sedalam mungkin, dia menahan dirinya untuk tidak menangis kembali dan terdengar oleh Kenzo.     

"Ken, apapun yang terjadi setelah ini, apapun yang akan aku lakukan nanti, kuharap kau akan tetap percaya padaku, kau akan tetap menerima apapun yang akan menjadi keputusanku."     

"Alona, apa kau akan melakukan hal yang buruk kali ini? Kumohon jangan konyol jika kau benar-benar mencintaiku."     

"Bukankah cinta butuh pengakuan dan bukti untuk mewujudkannya?"     

"Alona, apa yang kau katakan?" Kenzo kian panik.     

"Percayalah padaku kali ini, Ken..."     

"Jika kau melakukan hal yang konyol, aku akan membencimu, Alona."     

"Aku berjanji, tidak akan pernah melakukan hal itu padamu."     

"Kau yakin?"     

"Sangat yakin!" jawab Alona dengan tegas.     

Lantas panggilan pun berakhir, meski hati dan pikiran Kenzo saat ini di penuhi dengan kecemasan lantaran ucapan Alona yang mengkhawatirkan.     

Satu jam dua jam bahkan malam sudah datang. Kenzo menunggu dengan cemas, dia bahkan tak berani beranjak dari kamarnya. Beberapa kali dia mengutak atik ponselnya, untuk menunggu kabar dari Alona.     

Sementara itu, Alona mencoba keluar dari kamar tidurnya. Dia melihat sang ayah sedang duduk termenung di ruang tengah, tampak terlihat sangat frustasi dengan dalam pikirannya.     

"Bapak..." panggil Alona dengan lirih.     

Sang ayah menoleh dengan terkesiap ke arah Alona.     

Alona pun melangkah dengan pelan menghampiri sang ayah, lalu kemudian dia duduk bersimpuh di depan sang ayah, sementara sang ayah duduk di sofa.     

"Apa lagi yang akan kau katakan saat ini?"     

"Maafkan Alona, Bapak. Alona tidak pernah menjadi anak yang membanggakan bapak, Alona selalu mengecewakan bapak."     

"Apa kau baru menyadarinya? Selama ini bapak merawatmu dengan penuh kasih sayang, dengan penuh harapan besar. Bukankah permintaan bapak tidak berat? Lagipula ini juga demi kelangsungan kita sebagai makhluk yang percaya dengan adanya Tuhan?"     

Alona menundukkan kepalanya, dia mencoba tetap menenangkan dirinya dengan ucapan sang ayah yang masih saja begitu keras.     

"Pak, bolehkah Alona meminta satu hal ada bapak, satu permintaan Alona yang terakhir."     

Sang ayah menatap heran ke arah Alona, dia hanya diam sambil menunggu apa yang akan Alona sampaikan saat ini.     

"Restui hubungan Alona dengan Kenzo, Alona hanya mencintainya saja. Di luar keyakinan kita kepada Tuhan, di luar agama yang saat ini kita percayai, sungguh Alona hanya ingin bersama Kenzo. Tidak ada yang lain, Pak..."     

"Jadi, kau tetap memilih bersama laki-laki sialan itu? Apa kau sudah yakin kau akan hidup bahagia dengan cara meninggalkan Tuhanmu hanya demi cinta konyolmu?"     

"Pak, ini bukan cinta konyol. Alona benar-benar mencintai Kenzo, begitu pula dengan Kenzo. Dia sangat mencintai Alona, hanya dengan dia Alona merasa bahagia..."     

Sang ayah beranjak bangun dan berdiri di depan Alona, sedang Alona masih menundukkan kepalanya seraya meremas bagian kedua pahanya. Bahkan kini air mata mulai mengalir deras, dia tidak kuasa lagi menahan rasa sakit di hatinya.     

"Jika kau tetap memaksakan keinginanmu itu, kau bukan lagi anak bapak! Camkan itu, Alona!" tegas sang ayah lalu kemudian beranjak pergi dari hadapan Alona.     

Alona pun kembali menangis tersedu dengan segala kehancuran perasaannya yang tidak menentu. Rasa sakit, sakit yang begitu mendalam seakan perlahan menjalar di sekujur tubuhnya.     

Alona menangis tersedu-sedu di tempat setelah sang ayah masih tetap dengan pendiriannya. Dia semakin tidak mengerti, apa yang membuatnya begitu menentang hanya karena Kenzo berbeda keyakinan.     

Setelah sang ayah menutup rapat pintu kamarnya, Aleea keluar dari kamarnya dengan melangkah sedikit menjinjit di lantai. Dia menghampiri Alona yang menangis di ruang tengah seorang diri dengan bersimpuh di lantai.     

"Kak, apakah kakak masih bersikukuh akan terus diam begini?" tanya Aleea pada sang kakak.     

Alona menatap wajah Aleea dengan wajah berlinangan air mata. Dia melihat Aleea menatapnya dengan penuh iba, membuat Alona semakin terengah-engah dalam tangisannya.     

"Aleea... Berhenti menyuruh kakak dengan melakukan hal yang konyol seperti itu," ujar Alona dengan tangisan yang kian menjadi.     

Aleea terlihat tampak kesal, lantas dia menarik tangan Alona dan memaksanya untuk beranjak bangun dari posisi duduknya. Alona kebingungan, dia beranjak bangun dan mengikuti langkah Aleea yang menariknya menuju ke kamar.     

"Aleea..." hardik Alona pada sang adik.     

Aleea tak pedulikan sang kakak yang menghardiknya demikian, dia meraih tas rangsel lalu membuka lemari pakaian Alona serta mersih beberapa pakaian dan keperluan Alona lainnya.     

Melihat hal itu Alona semakin kebingungan, sehingga dia berusaha menghentikan sang adik yang mengemas beberapa pakaian dan keperluan lainnya.     

"Aleea, apa yang kau lakukan?" tanya Alona sambil berusaha menghentikan Aleea yang mengemas pakaian dan keperluan Alona lainnya.     

"Kak! Cukup! Jangan lagi seperti ini, percayalah... Seiring waktu berjalan bapak akan merestui hubungan kalian. Pulanglah ke rumah kak Kenzo," tandas Aleea.     

"Bukan seperti ini, Aleea. Bukan dengan cara seperti ini..." Alona menangis kian tersedu di depan sang adik.     

Aleea pun memeluk tubuh Alona, dia mendekap erat tubuh sang kakak dan perlahan Aleea juga menangis saat kedua matanya terpejam mencoba untuk menetralisir segala hati dan pikirannya saat ini.     

"Aleea, apa kau yakin ini akan berhasil?" lirih Alona dengan suaranya yang sengau.     

Segera Aleea melepaskan pelukannya dan menatap wajah Alona. "Percayalah pada Tuhan, Kak! Dialah maha segala kebaikan," ujar Aleea sambil menggenggam erat tangan sang kakak.     

"Tapi..."     

Aleea melepas genggaman tangannya dari tangan Alona, lantas meraih tas rangsel itu kembali. Kemudian menarik lengan sang kakak melangkah keluar dari kamar Alona.     

Alona tidak berani meronta kembali, dia tak ingin membuat ayahnya melihat apa yang dilakukan oleh Aleea untuknya. Dia tahu betapa Aleea benar-benar sangat peduli dan menyayanginya, dia tak ingin membuat apa yang Aleea lakukan sia-sia.     

Aleea lantas memberikan tas gandeng dan tas rangsel Alona setelah merek berhasil keluar dari rumah dan berdiri di halaman rumah.     

"Aleea..."     

"Semua akan baik-baik saja, Kak. Pergilah, temui kak Kenzo di rumahnya. Percayakan semua ini pada Aleea, jangan risau. Oke, kejarlah cinta kakak..." Aleea kembali meyakinkan sang kakak.     

Alona semakin sedih, namun dia juga terharu akan pengorbanan Aleea, sang adik. Meski ini akan berdampak buruk nantinya, tapi Aleea rela menerjang dan melakukannya.     

Alona beranjak pergi dengan mencoba menutup hatinya. Dia mencoba menjadi buta mata dan hati, dia melangkah cepat menuju sebuah halte bus dengan membawa tas rangsel dan tas gandengnya.     

Beberapa menit kemudian, sebuah bus datang. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, bus terakhir yang dia tumpangi kali ini akan mengantarnya sampai di dekat rumah Kenzo.     

Selama dalam perjalan, Alona menangis tertahan agar tidak terisak dan membuat perhatian orang hanya tertuju padanya. Dia bahkan sedikit berantakan, segala macam perasaan menjadi satu di dalam benaknya kali ini.     

Dengan sekuat tenaga dia menepis segala pikiran dan ketakutannya. Ya, sebelum dia melakukan hal konyol ini, dia sudah memikirkannya. Dia meyakini bahwa ini adalah satu-satunya pilihan yang harus dia pilih demi cintanya pada Kenzo.     

Padahal, dua minggu lagi dia harus segera pergi ke LN untuk kembali bekerja seperti biasanya. Namun, dia harus rela melepaskannya kali ini dan menetap di Indonesia dengan cintanya, Kenzo.     

Dia tidak perlu khawatir, dia telah memiliki sejumlah tabungan uang begitu banyak selama ini tanpa sepengetahuan sang ayah dan adiknya selama bertahun-tahun.     

Beberapa saat kemudian, tiba di sebuah sisi jalan dekat rumah Kenzo. Dia masih harus berjalan menuju rumah Kenzo dengan waktu lima menit perjalanan. Dia melangkah dengan cepat, sengaja dia lakukan meski tubuhnya begitu lemah.     

Begitu sampai di depan rumah Kenzo, secara kebetulan Kenzo tengah duduk melamun di teras seorang diri. Alona tersenyum dengan air mata yang kembali mengalir saat ini.     

"Ken..." panggil Alona sedikit lantang.     

Sontak saja Kenzo terkejut, dia melihat sosok Alona berdiri di depannya dalam jarak beberapa langkah saja. Kenzo beranjak berdiri sembari mengucek kedua matanya, dia masih berharap ini hanya khayalannya.     

Alona melangkah dengan berat mencoba menghampiri Kenzo lebih dulu, begitupun Kenzo menyadari Alona kini berjalan ke arahnya. Dia juga ikut melangkah menghampiri Alona, sehingga kini Alona telah berdiri di depannya.     

"Alona... Sayang, kau..." ucapan Kenzo terhenti saat Alona langsung saja memeluknya dengan menjatuhkan tas rangsel yang dibawanya sejak tadi.     

"Sayang, apa ini? Kau... Kenapa kau..." ucapan Kenzo kembali terhenti ketika dia merasa Alona tidak bersuara. Tubuhnya kian melemah dan pelukan kedua tangannya terjatuh dan pelukan Kenzo.     

"Alona, Sayang... Hei, kau baik-baik saja?" Kenzo mencoba meregangkan pelukan Alona, namun Alona memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.