The Lost Love

Mengertilah...



Mengertilah...

0"Bunda, bisakah tunggu sebentar?" tanya Maya menjawab pertanyaan sang ibu.     
0

"Tapi, Nak... Semua orang sudah menunggu. Mereka sudah mulai bosan," bantah sang ibu sambil menunjukkan pada Maya beberapa orang tampak memandangi wajah Maya dengan tatapan tidak mengenakkan.     

"Benar apa kata ibumu, May. Sebaiknya kau mulai saja peresmiannya, sebelum para tamu mulai bosan malah justru pergi dari sini nantinya." Ryo menyambungkan ucapan ibu Maya.     

"Yo..." lirih Maya.     

"Maya... Ayo, apa lagi yang kau tunggu? Bukankah suamimu tidak bisa hadir malam ini? Jangan lagi menunggunya, itu hanya akan membuat ayah sedih..." lanjut ayah Maya turut berbicara.     

Maya mendecak sebal. Dia terpaksa akan memulai peresmiannya, bukan suami yang dia tunggu sejak tadi. Melainkan hadirnya Kenzo, yang tidak berani dia ungkapkan pada yang lain.     

Maya menatap wajah Ryo sejenak, Ryo mengangguk pelan dengan wajah memelas memohon padanya agar Maya melakukan segera peresmian usaha barunya.     

Tanpa menunggu aba-aba lagi, dengan helaan napas panjang dan raut wajah kesal Maya segera memotong pita peresmian boutique pakaian yang sudah menjadi impiannya sejak dulu.     

Semua tamu undangan tampak bersorak ria, dan beberapa dari para tamu undangan yang remaja, yang sudah tidak sabar sejak tadi akan berbelanja dengan penawaran discount besar-besaran seketika melangkah masuk dan menyerbunya.     

"Sekali lagi, selamat, May!" ucap Kenzo dan beberapa dari teman-teman akrab Maya yang memberikan ucapan yang sama.     

Tidak ada raut wajah yang senang dan puas dari Maya. Ryo bisa memahami hal itu, namun apa daya? Ryo hanya bisa bergumam di dalam hatinya, berkeluh kesah di dalam hatinya.     

"Maya, ayah dan bunda sudah menuruti apa yang kau minta, Nak. Setelah ini, kau harus benar-benar menjalani dan mengelola boutique ini dengan baik dan benar. Kau harus berjanji pada ayah dan bunda untuk membuat boutique ini jadi maju ke depannya," ujar sang ayah pada Maya.     

"Hem, iya. Ayah, Bunda... Maya berjanji. Mohon dukungannya dan jangan pernah lelah menasehati serta mengingatkan Maya."     

"Itu sudah tentu, Nak. Sudah menjadi tugas kami sebagai orang tua," imbuh sang ibu.     

Ryo turut merasa tenang dan lega melihat Maya tersenyum kembali meski itu dengan terpaksa. Lantas diam-diam Ryo berpindah ke tempat dimana hanya ada dia seorang. Dia hendak melakukan panggilan telepon pada Kenzo.     

Kenzo yang tengah menemani semua yang begitu cemas menunggu kelahiran keponakan keduanya, terkejut di tengah pikirannya hanya fokus pada kelahiran Sinta karena ponselnya berdering.     

Dia berpikir dengan sedikit cemas, mungkinkah Maya yang menelponnya? Tanya nya di dalam hati.     

Maya pun meliriknya dengan tajam dari jarak yang tak jauh darinya. Dia pun menduga bahwa Maya lah yang menelponnya kali ini. Akan tetapi, Kenzo tampak menghela napas panjang setelah mengetahui telepon dari Ryo.     

"Halo, Yo..." jawab Kenzo dengan setengah berbisik.     

"Wah... Dari suaramu, sepertinya sedang terjadi sesuatu padamu." lagi dan lagi Ryo langsung saja mengerjainya.     

"Aku sedang di rumah sakit, somplak!" balas Kenzo dengan kesal lantaran Ryo menjadikan kondisi Kenzo saat ini sebagai bahan ledekannya.     

"Rumah sakit? A-ada apa?" tanya Ryo dengan panik.     

"Kak Sinta mau melahirkan anak keduanya," balas Kenzo masih dengan setengah berbisik membuat Alona semakin enggan memalingkan tatapan tajamnya.     

"Hah... Kupikir hal yang buruk terjadi, lalu bagaimana? Emh, apakah kau sedang berkumpul dengan keluargamu? Aku bisa menyusulmu kesana atau kau akan mendengar ceritaku dari telepon saja?"     

"Ada apa? Apakah..."     

"Yah, sedang buruk. Maya terlihat sangat marah dan kecewa kali ini, Ken."     

"Lalu?"     

"Lalu apaan? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang keberadaan suami Maya? Aku rasa mereka akan segera berpisah, Ken."     

"Hem..." balas Kenzo menanggapi. Karena hanya itu yang bisa dia lakukan karena tak ingin membuat Alona, sang istri kembali mencurigainya.     

"Wah, kacau. Kenapa kau hanya menanggapinya demikian? Apa kau tidak tau hal ini sangat buruk, ini konyol, Ken! Aku takut Maya memilih bercerai karena mengetahui perasaanmu yang dulu padanya."     

"Ya..."     

"Ken! Sialan, Lu!" balas Ryo kesal. Dia merasa Kenzo sengaja menanggapinta tanpa respect meski sesuatu akan terjadi pada Maya saat ini.     

Bip bip bip...     

Kenzo sengaja mematikan segera panggilan teleponnya dari Ryo. Lalu mengirim pesan padanya dengan kesal dia mengetik pesan untuk Ryo.     

"Aku pastikan setelah bertemu denganmu nanti, aku akan menghajarmu, Yo. Aku sedang bersama Alona saat ini, tatapannya sungguh terasa sudah membidikku dengan busur panah beracun. Aku akan segera melayang pergi jauh selamanya."     

Sontak saja Ryo terpingkal-pingkal menertawainya setelah membaca pesan dari Kenzo tersebut.     

"Ada apa? Kenapa kau tertawa sendiri tanpa sebab?" tanya Maya yang tiba-tiba saja muncul dari belakang Ryo dan mengejutkan Ryo hingga membuatnya sedikit melompat.     

"Sialan lu, May!" hardik Ryo spontan.     

Maya memelototinya. "Apa kau bilang? Kau mengumpat padaku barusan?" tandas Maya dengan lantang.     

"E-eeh... Tidak, May. Maafkan aku, maksudku... Aku sangat terkejut kau tiba-tiba saja muncul di belakangku, ada apa?"     

"Kau yang kenapa? Kenapa kau tertawa lepas seperti orang gila begitu, hah?"     

"Umh, itu... Seorang wanita melawak padaku," jawab Ryo sekenanya.     

Maya menatap tanpa kata memandang wajah sahabatnya itu, dan perlahan air mata Maya membumbung menatap Ryo.     

"May..." lirih Ryo melihat Maya demikian.     

Tanpa menunggu aba-aba dan perkataan lagi, Maya memeluk tubuh Ryo lantas menangis di dalam pelukan Ryo.     

"Aku benci, aku sangat ingin marah saat ini, Yo."     

Ryo tertegun sejenak, menahan napasnya, dan perlahan membalas pelukan Maya.     

"May, menangislah... Tak apa, aku di sini. Aku akan mendengarkan keluh kesahmu, jika kau mau marah... Marah saja, aku tak apa."     

Maya kian menangis mendengar ucapan Ryo yang demikian. Dia kian menangis tersedu, Ryo mengusap pelan rambut Maya yang terurai menutupi punggung belakangnya, untuk menenangkannya.     

Semantara di rumah sakit, Sinta melahirkan seorang bayi perempuan mungil yang cantik jelita yang dia namai Jelita sesuai parasnya. Ervan begitu bahagia hingga membuatnya menangis terharu.     

Hanya ada Ervan dan sang ibu yang menemui Sinta di dalam ruangan setelah dokter mengizinkannya di jenguk oleh keluarganya.     

Sedang Alona masih diam menunggu dengan setia bersama Kenzo dan sang nenek serta ayah sambung Kenzo. Setelah itu, melihat Alona dan Kenzo saling diam, sang nenek berinisiatif untuk membuat Kenzo dan Alona saling bicara.     

"Ken, belikan nenek minuman hangat, ajaklah Alona bersamamu."     

Kenzo terkesiap mendengar titah sang nenek setelah sejak tadi dia melamun memikirkan apa yang tadi Ryo ceritakan padanya.     

"Iya, Nek..." sahut Kenzo segera. Alona tampak lesu, dia berdiri dengan malas lantas beranjak pergi lebih dulu yang kemudian di susul oleh Kenzo.     

"Sayang..." panggil Kenzo dengan lirih lalu berjalan di sisi Alona.     

"Apakah Maya yang sejak tadi mengusik ponselmu?" tanya Alona tanpa berpikir dan menunda lagi apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.     

"Maya? Sayang, kenapa kau menuduhku lagi dengan hal konyol seperti itu?"     

"Karena dia datang ke rumah tadi, mengundang ibu untuk datang ke acara peresmian usaha barunya. Kau sudah pasti tau hal itu," jawab Alona sambil terus berjalan.     

Kenzo sedikit terkejut. Lalu berusaha menepisnya agar Kenzo tidak berpikir hal yang buruk padanya.     

"Aku tidak tau itu," sahut Kenzo dengan berpura-pura.     

Alona menghentikan langkah kakinya seketika dengan mendecakkan kedua kakinya sehingga membuat Kenzo terkesiap menghentikan langkahnya pula.     

"Kau sungguh tidak tau hal itu?" tanya Alona mempertegas ucapannya.     

"Hem, aku tidak tahu. Aku belum bertemu dengan Maya," balas Kenzo dengan tegas pula.     

Alona mengatupkan bibirnya, hanya helaan napas yang dia naik turunkan sambil menatap wajah Kenzo dengan tatapan lega.     

Hal itu membuat Kenzo segera memeluknya. "Sayang, apakah kau merasakan juga apa yang saat ini aku rasakan?" tanya Kenzo sambil memeluk Alona.     

"Apa?" tanya Alona penasaran. Dia benar-benar tidak bisa berpikir saat ini.     

"Aku sangat takut melihat kak Sinta akan melahirkan seorang anak tadi, meski ini yang kedua kalinya aku melihat nya akan melahirkan, tapi... Tetap saja aku takut."     

Alona tersenyum lembut. "Itulah perjuangan seorang wanita yang akan kau lihat dengan nyata saat tiba waktuku nanti," sahut Alona.     

Kenzo segera meregangkan pelukannya lalu menatap wajah Alona dengan lekat. "Kita akan segera punya anak yang banyak."     

Seketika Alona mendorong tubuhnya sedikit menjauh dan mendesis kesal. "Laki-laki maunya banyak, tapi tidak akan merasakan betapa susahnya mengurusi anak nantinya."     

"Pfffttt... Kita belum merasakan dan menjalaninya," balas Kenzo sambil berjalan lebih dulu.     

"Iiih... Tapi aku sudah merasakannya dalam merawat dan menjaga adikku sejak kecil," ujar Alona mendecak sebal.     

Kenzo tertawa cekikikan mengabaikan ucapan Alona yang kini menyusul langkahnya. Sampai di kantin, Kenzo membeli beberapa cup teh dan kopi serta beberapa makanan manis untuk menemani minuman itu.     

Sesaat setelah kembali dari kantin dan hendak menuju ke ruangan dimana Sinta di rawat saat ini. Ryo muncul dan tampak kebingungan mencari ruangan yang Kenzo kirimkan melalui pesan singkat tadi.     

"Woy, Ryo!" Kenzo memanggil dengan lantang. Membuat Alona menoleh Ryo lalu menoleh Kenzo kembali.     

Ryo sumringah begitu melihat Kenzo berjalan menghampirinya bersama Alona.     

"Hah, syukurlah aku bertemu kalian lebih dulu. Ups, hai Alona... Apa kabar?" sapa Ryo pada Alona.     

"Seperti yang kau lihat, Yo. Apa kabarmu juga? Apa kau baru saja mendatangi peresmian boutique Maya?" tanya Alona tiba-tiba menyerangnya.     

Tentu saja Kenzo mengerjapkan kedua matanya, dia terkejut lantaran Alona langsung saja bertanya pada intinya.     

"E-eeeh... Yah, begitulah." Ryo menjawab dengan ragu.     

Alona menyeringai kecil, lantas kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan Sinta. Kenzo memberikan sebuah isyarat yang hanya dia saja mengerti.     

Hingga sampai di depan ruangan Sinta. Sang ibu sedang menunggu di luar seorang diri, segera Alona menghampirinya.     

"Bu, ini. Minum teh dulu, atau ibu mau kopi? Ibu pasti sangat terkejut dan panik tadi," ujar Alona sambil memberikan satu cup teh pada Alona.     

"Terima kasih, Nak. Eh, Ryo..." sapa ibu Kenzo ketika melihat Ryo datang bersama Kenzo.     

"Tante, apa kabar?" tanya Ryo menyapa seraya menyalami tangan ibu Kenzo dengan santun.     

Alona hanya diam menatap Ryo yang demikian pada ibu mertuanya, sedang Kenzo tampak bangga pada sikap sahabatnya yang tidak pernah berubah sampai saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.