The Lost Love

Gairah suka cita



Gairah suka cita

0Sampai di rumah Kenzo, Alona turun dari atas motor dengan ragu-ragu. Langkahnya pun terasa berat saat mengikuti langkah Kenzo menuju ke dalam rumah.      1

Alona menghentikan langkah tepat di teras rumah Kenzo, sehingga Kenzo menoleh seketika.     

"Ada apa?" tanya Kenzo.     

"Aku..." Alona hendak bicara namun terhenti saat melihat sosok nenek Kenzo keluar menyambut Kenzo.     

"Ken, kau sud... Oh Tuhan..." sang nenek berseru kemudian setelah melihat Alona datang bersama Kenzo.     

"Nenek..." lirih Alona memanggil.     

Sang nenek melangkah cepat lantas seketika memeluk tubuh Alona dengan lembut. "Apa kabar, Nak? Sudah sekian lama nenek menunggumu datang kemari," sapa sang nenek pada Alona dengan lembut.     

Tanpa menjawab, Alona justru terisak tangis sambil memeluk tubuh nenek Kenzo. Sang nenek terkejut mendengar dan melihat Alona justru menangis setelah dia menyapanya.     

"Hei, kenapa menangis, Sayang? Ada apa?" tanya sang nenek dengan lembut sambil mengusap air mata Alona. Begitupun Kenzo yang tampak terkejut melihat Alona tiba-tiba saja menangis.     

"Alona, ada apa?" tanya Kenzo dengan panik.     

Alona tampak terengah-engah dengan isakan tangisnya. "Maafkan Alona, Nek. Alona sudah banyak berbuat kesalahan," jawabnya terbata-bata.     

"Sssttt... Sudah, sudah... Jangan menangis lagi, setiap hubungan percintaan akan selalu ada pasang surutnya. Jika itu terjadi pada kalian saat ini, nenek memahaminya. Itu sangat wajar, sudah... Jangan menangis lagi, ya! Sudah..." sang nenek kembali memeluk Alona dan mengusap-ngusap lembut punggungnya, dia mencoba untuk menenangkannya.     

Alona masih terisak sambil mengangguk akan ucapan sang nenek. Entah apa yang harus dia ucapkan lagi saat ini, hatinya pun bingung merasakan perasaan yang sulit dia ungkapkan.     

Ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, ada pula penyesalan dan kekhawatiran yang di dalam hatinya, saat dia kembali menginjakkan kakinya setelah bertahun-tahun lamanya.     

"Ayo, kita masuk. Duduk dulu, nenek mau buatkan minuman hangat." sang nenek mengajaknya melangkah masuk ke dalam ruangan.     

Alona mengangguk, dia tersenyum lembut menatap wajah sang nenek namun tatapannya masih begitu sendu. Kenzo mencoba mengusap kepala Alona dengan penuh perhatian.     

Kemudian Alona dan Kenzo duduk di sofa ruang tengah, Alona tampak masih gugup dan salah tingkah, terlebih dengan tatapan mata Kenzo yang terus memandangnya.     

Sesaat kemudian, Sinta keluar dengan perutnya yang sudah kian membuncit untuk kehamilan keduanya. Dia terkejut melihat Kenzo dan Alona duduk di sofa sementara dia baru saja hendak pergi ke arah dapur.     

"Ya Tuhan! Apakah aku sedang bermimpi?" seru Sinta sambil mengusap kedua matanya. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini.     

Kenzo hanya tersenyum dan tampak tersipu malu setelah kakak iparnya itu terus menatap wajah Kenzo penuh tanda tanya.     

Alona pun beranjak bangun dan menghampiri Sinta. "Kak Sinta, apa kabar?" sapa Alona sambil meraih tangan Sinta untuk menyalaminya.     

"Tuhanku, jadi... Aku tidak bermimpi?" Sinta masih tampak kebingungan.     

Alona mulai menatap wajah Sinta dengan berkaca-kaca. Sehingga kini Kenzo turut menghampirinya. "Kak, dia benar Alona." Kenzo menerangkan.     

Seketika Sinta meraih tangan Alona ke dalam genggamannya. "Alona, kakak senang kau kembali datang ke rumah. Setelah sekian lama..." ujar Sinta dengan begitu semangat menyambut Alona datang.     

"Kakak... Terima kasih, masih mau menerima Alona di rumah ini." Alona mengusap segera air mata uang baru saja menetes.     

"Hei, kenapa kau menangis, Cantik? Apa yang kau katakan itu? Tentu saja kami selalu menerimamu dengan senang hati di rumah ini."     

Alona menangguk dengan tarikan napas yang tampak begitu sesak.     

"Ken, apakah nenek sudah tau Alona datang? Dia pasti sangat seneng dengan kedatangannya."     

"Nenek lah orang pertama yang melihat Alona datang..." sang nenek berbicara dan muncul kembali seraya membawa dua cangkir teh hangat di nampan.     

Semua menoleh ke arah sang nenek lalu tersenyum dengan bangga, melihat sang nenek masih begitu peduli dan memperhatikan semuanya.     

"Alona, ayo duduk. Minum dulu mumpung hangat," ucap sang nenek kemudian.     

"Ah, iya. Santailah dulu, kakak akan ke dapur. Oke," ujar Sinta melanjutkan.     

Alona mengangguk dan di susul kemudian oleh Kenzo menuju sofa. Mereka mulai saling berbincang santai, sang nenek begitu ramah dan lembut mengajak Alona berbicara banyak hal dan bercerita kembali tentang Luar Negeri tempatnya bekerja selama bertahun-tahun.     

Kenzo hanya diam dan selalu tersenyum memperhatikan mereka asyik mengobrol berdua hingga beberapa menit sudah berlalu.     

Sang nenek mulai menyadari, keduanya diam-diam saling memperhatikan dan berpandangan di tengah obrolan Alona dan sang nenek.     

"Ehhem... Kalian ngobrol lah berdua, nenek tidak ingin menganggu waktu kalian." sang nenek mulai menggoda keduanya.     

"Akh, Nenek... Alona justru senang kita bisa saling berbincang lagi seperti ini, Nek." Alona membantah dengan wajah merona.     

"Hem... Kau senang, tapi tidak dengan cucu kesayangan nenek ini!" balas sang nenek sambil melirik ke arah Kenzo.     

"Apaan sih, Nenek..." kata Kenzo berusaha membantahnya.     

"Wah, sepertinya aku juga harus masuk kamar nih... Aku juga tidak ingin mengganggu mereka berdua, Nek." Sinta ikut bicara setelah keluar dari arah dapur dengan sepiring potongan buah-buahan di tangannya.     

"Kak Sinta, kita belum sempat mengobrol..." Alona hendak menahan Sinta agar menemaninya di rumah itu. Dia sungguh merasa masih sangat canggung.     

"Hem... No no no, tidak malam ini, Sayang. Kita bisa melanjutkannya lain kali, kakak yakin kau akan datang kembali ke rumah ini. Hihi..." Sinta kembali meledek Alona.     

"Wah... Aku berterima kasih pada nenek dan kakak iparku yang super pengertian," sahut Kenzo pada akhirnya mengiyakan godaan mereka.     

"Ih, dasar!" balas Sinta meliriknya tajam.     

Semua tampak tergelak tawa, lantas sang nenek dan Sinta pergi meninggalkan mereka berdua di ruang tengah. Alona masih canggung, dia mencoba menetralisir kecanggungannya itu dengan menyeruput kembali secangkir teh hangat di depannya.     

"Mmh... Ken, bolehkah aku... Bertanya lagi..." ujar Alona dengan terbata-bata melihat sekeliling ruangan.     

"Ibu dan suaminya sedang pergi ke luar kota, mereka jarang di rumah ini." Kenzo menjawab sekenanya seolah dia sudah mengerti apa yang akan Kenzo tanyakan.     

Alona menarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum lebar. Ada rasa tidak enak hati lantaran Kenzo sudah mengetahui apa yang akan dia tanyakan.     

Kemudian mereka kembali saling terdiam. Kenzo melirik ke arah jam dinding di ruangan itu, sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Kenzo merasa waktu semakin cepat berlalu, sedang dia masih ingin terus melihat Alona berwajah merona seperti itu.     

"Ehhem, kau... Kau mau ke kamarku?" tanya Kenzo dengan malu-malu sambil menunjuk ke arah pintu ruangan.     

Alona terkesiap dengan kedua mata melotot menatap wajah Kenzo. Setelah bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Kenzo, hingga hubungan mereka berakhir dan sampai akhirnya kembali dipertemukan, Alona belum pernah menginjakkan kakinya di kamar pribadi Kenzo.     

"Tapi..."     

Kenzo segera beranjak bangun dan menarik tangan Alona untuk di ajaknya masuk ke dalam kamar pribadi Kenzo.     

"Ken, nanti ada yang lihat. Aku tidak ingin..." ucapan Alona terhenti saat dia dan Kenzo sudah masuk ke dalam ruang kamar Kenzo.     

Alona melihat sekeliling kamar. "Ken, aku..."     

Lagi dan lagi, Alona tidak bisa melanjutkan bicaranya saat Kenzo seketika mengulum bibirnya. Mereka pun berciuman bibir dengan mesra dan lembut.     

Kedua tangan Kenzo mulai digerakkan mengusap lembut seluruh lengan Alona hingga mendarat kini di bagian dada Alona. Perlawanan bibir Alona dihentikan sejenak saat satu tangan Kenzo menyentuh bagian dadanya, sedang tangan yang lainnya memeluk pinggulnya.     

Alona meneruskan mengulum bibir Kenzo, menyesapnya hingga basah. Membuat Kenzo mulai berani meremas lembut bagian dada Alona. Dan semakin menarik pinggul Alona untuk menempel ke tubuhnya dengan dekat.     

Napas keduanya terengah-engah, mereka melepaskan ciuman sejenak. Alona memandang sendu wajah Kenzo, begitu dekat hingga desah napas Kenzo terasa menerpa wajahnya.     

"Alona, di kamar inilah aku selalu menghabiskan dan mengurung diri dengan rasa sakitku setelah hubungan kita berakhir. Andai, setiap benda yang ada di kamar ini mampu bicara, dia akan mengatakan semuanya dengan konyol." Kenzo berbicara dengan lirih.     

Alona menatap lekat kedua mata Kenzo, lalu mengusap bibir Kenzo yang basah. "Aku tau... Aku tau itu," sahut Alona setengah berbisik.     

Lantas Alona melepaskan dirinya dari dekapan Kenzo, dia ingin melihat semua isi kamar Kenzo, laki-laki yang selama ini selalu ada di dalam benaknya.     

Alona melihat setiap benda yang ada di kamar itu. Kini pandangan Alona tertuju pada satu benda di atas nakas dekat sisi ranjang Alona. Dia melihat sebuah foto yang di bingkai dengan indah. Meski foto itu sudah tampak lusuh, namun sebuah bingkai yang melingkarinya membuatnya jauh lebih indah di pandang.     

Alona melangkah maju untuk lebih dekat dan meraih foto itu. Dia mengingat dengan jelas bahwa foto itu dia berikan saat pertama kali mereka menjalani hubungan jarak jauh.     

Dia menyadari, mungkin hanya Kenzo seorang yang selalu setia dan memahami begitu dalam dirinya meski hubungan mereka berlangsung jarak jauh.     

Alona mengusap kaca yang membalut foto itu, lantaran air mata yang menetes membasahinya tepat di atas foto itu. Kenzo segera memeluk tubuh Alona dari belakang, dia bahkan mendekap dengan erat dan menempelkan kepalanya di bahu kiri Alona.     

"Berhentilah menangis, aku tidak suka itu. Bahkan sejak dulu aku tidak pernah menyukainya, kau tau itu. Atau kau mulai melupakannya?" ucapnya lirih di dekat telinga Alona.     

"Aku sungguh wanita bodoh!" ujar Alona.     

"Bukan kita yang mengatur bagaimana hati kita akan bergerak seperti keinginan kita. Tidak perlu ada yang di sesali, Alona. Kita bisa kembali bersama saat ini, bukankah ini adalah suatu takdir dan jalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya?"     

Alona berbalik badan seketika dan menatap wajah Kenzo, dia mendongakkan kepalanya untuk bisa menatap lekat wajah Kenzo.     

Cup!     

Alona mengecup singkat bibir Kenzo. Sehingga membuat Kenzo terkesiap mendapatkan kecupan singkat dari Alona di bibirnya.     

Kemudian Kenzo tersenyum, dia tak tanggung-tanggung kembali menyesap bibir Alona. Mereka kembali berciuman dengan intens dan sambil berjalan mundur, seolah Kenzo sengaja mendorong Alona hingga perlahan kini terjatuh di atas ranjang Kenzo.     

Alona terkejut, dia membelalakan kedua matanya. Dia menatap kedua mata Kenzo yang memandangnya penuh gairah saat ini.     

"Ken..."     

"Aku tidak akan melepaskanmu lagi, Alona..." bisik Kenzo seraya perlahan menyentuh bagian paha Alona hingga menjalar ke bagian dada Alona.     

Alona mendesis pelan dan memejamkan kedua matanya. Merasakan sensasi kelembutan dan rasa geli yang disertai dengan kenikmatan yang dilakukan oleh Kenzo saat ini.     

Kenzo mulai menelusuri leher jenjang Alona dengan lembut, mengecupnya dengan pelan hingga kembali menciumi bibir Alona dengan lembut.     

Kenzo meni***h tubuh Alona dan kedua tangannya mulai bermain di bagian dada Alona yang kini tampak semakin penuh. Alona semakin menggelinjang menahan desah pelan dari bibirnya.     

Tak tanggung-tanggung mereka mulai dikuasai oleh perasaan masing-masing. Disamping pikiran Alona yang sudah mulai pasrah dengan segala pikiran dan harapannya serta kekhawatirannya mengingat apa yang sang ayah pinta padanya tentang hubungannya dengan Dewa.     

"Alona... Aku..." Kenzo hendak bicara namun, dengan cepat Alona menempelkan jari telunjuknya di bibir Kenzo.     

"Bagaimana jika ada yang melihatku di kamarmu? Aku takut mereka berpikir buruk tentangku meski aku... Aku memang..."     

"Maukah kau melakukannya lagi denganku? Di kamar ini, ruangan yang selalu menjadi saksi bisu kegalauan dan kehancuranku. Agar aku bisa membuktikan pada mereka, bahwa cinta kita akan terus berlanjut sampai di titik akhir kebahagiaan."     

Alona menatap dalam-dalam wajah Kenzo yang mengatakan hal itu, begitu besar harapan yang Alona ucapkan di dalam hatinya saat ini. Dia berharap dan berdoa serta meminta pada Tuhan, apa yang Kenzo katakan agar di kabulkan di dunia nyata.     

Alona mengangguk, dan mereka memutuskan untuk benar-benar melakukannya di ruangan itu. Kamar pribadi Kenzo yang selalu menjadi saksi bisu selama bertahun-tahun akan perasaannya pada Alona selama ini.     

Kini mereka saling beradu dengan desah yang tertahan untuk saling memberikan kenikmatan dalam bercinta, meyakini sepenuh hati bahwa ini akan baru di mulai.     

Hubungan yang telah berlalu kembali bersemi. Alona dan Kenzo melakukannya dengan penuh gairah tanpa henti, cucuran keringat telah berbaur menjadi satu, detak jantung seakan saling berkejaran, dan suara desah tertahan yang sedang mereka berusaha kendalikan, membuat suasana semakin penuh gairah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.