The Lost Love

The Lost Love



The Lost Love

2Acara reuni selesai, semua tampak bahagia dan saling memberikan semangat serta berharap semua akan memiliki kehidupan yang baik ke depannya.      1

Beberapa kali Maya diam-diam memperhatikan Kenzo, dan beberapa kali pula Alona mengehuinya. Maya tetap dengan santai mengulas senyuman pada Alona, meski itu dengan terpaksa.     

Hingga kini acara itu terselesaikan dan kembali pulang ke kediaman masing-masing. Alona kembali bergandengan tangan dengan Kenzo, dan Maya serta sang suami juga Ryo memperhatikannya dari belakang.     

Tampak keduanya saling mengulas senyuman lembut, Kenzo menatap penuh arti menatap wajah Alona yang kini menatapnya pula.     

"Kami duluan ya!" pamit Kenzo berbalik badan sejenak menoleh ke arah Maya dan Ryo serta suami Maya.     

"Ehhem... Kalian benar-benar akan langsung pulang bukan?" goda suami Maya padanya.     

"Tsk, kau pikir aku sama sepertimu? Hihihi..." balas Kenzo menanggapi sambil melirik ke arah Maya dan Ryo. Namun, Kenzo segera menghentikan tawa kecilnya itu setelah melihat reaksi mereka tampak acuh dan menjadi pendiam.     

"Akh, sudahlah. Aku duluan ya!" pamit Kenzo kembali seraya melangkah lebih dulu sambil menggandeng tangan Alona.     

Sampai di halaman parkir lebih dulu, Alona menatap Kenzo dengan penuh tanda tanya.     

"Kita langsung pulang?" tanya Kenzo.     

"Emh... Terserah kau saja," jawab Alona sekenanya.     

Kenzo terdiam sejenak, sebetulnya dia masih ingin Alona bersamanya. Namun, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dia tidak ingin membuat Alona kembali ke rumah dengan terlambat.     

"Kita pulang saja, aku tidak ingin membuat ayahmu khawatir."     

Alona kembali hanya mengangguk saja. Lantas mereka melaju pergi setelah menaiki motor dan berlalu melewati Maya juga sang suami serta Ryo yang baru sampai di halaman parkir.     

Di tengan perjalanan, Alona mengeratkan pelukannya pada pinggang Kenzo. Membuat Kenzo sedikit terkejut mendapat perlakuan Alona yang secara mendadak itu.     

"Ken..." panggilnya dari arah samping. Tepat di sisi telinga Kenzo.     

"Hem? Ada apa?" jawab Kenzo seraya bertanya.     

"Aku merasa ada yang berubah dari sikap Maya tadi. Sepertinya itu setelah melihat kita di toilet," terang Alona mengeluarkan isi hatinya yang sejak tadi dia pendam.     

"Mmh... Ah, kurasa itu hanya pikiranmu saja. Apa kau berpikir dia marah karena melihat kita berciuman tadi? Hihihi... Ayolah, itu terdengar konyol." Kenzo membantahnya meski kenyataannya demikian.     

Alona terdiam seketika. Meski dia hendak mengeluarkan apa yang ada di dalam isi hatinya, dia tahu bahwa itu akan percuma jika Alona terus mendesak mengeluarkan pikirannya tentang Maya.     

"Sudahlah, jangan di pikirkan lagi!" pinta Kenzo setelah melirik wajah Alona melalui kaca spion dia tampak terdiam.     

"Hem... Iya," sahut Alona begitu saja.     

Kini laju motor Kenzo sudah sampai di sebuah halte bus tempat Alona biasa berhenti. Alona segera turun dari motor, dia menatap sejenak wajah Kenzo.     

"Kabari aku begitu kau sampai di rumah," ujar Kenzo mengingatkan.     

"Hem, kau hati-hati di jalan."     

Kenzo tersenyum dan mengerlingkan kedua matanya menanggapi ucapan Alona yang terdengar memperhatikannya.     

Sesaat kemudian, bus telah datang. Alona segera masuk ke dalam tanpa banyak bicara atau sekedar menoleh ke arah Kenzo kembali. Setelah laju bus menghilang dari pandangannya, Kenzo pun turut melaju untuk pulang ke rumah.     

Sampai di rumah, seperti biasa. Dia duduk di teras lebih dulu, menatap langit malam yang saat ini tampak bersinar oleh rembulan. Kenzo tersenyum lembut, dia memejamkan kedua matanya sejenak.     

Dia mencoba mengingat kembali apa yang telah dia lakukan pada Alona di ruang toilet tadi. Kenzo segera membuka kedua matanya kembali setelah dia merasa gemas sendiri.     

"Ken..."     

Kenzo terkejut dan terbelalak melihat sosok Maya kini berdiri di pintu masuk halaman rumah Kenzo.     

"Maya?" Kenzo tidak percaya dengan apa yang dia lihat lantaran Maya datang hanya seorang diri saat ini.     

Maya berjalan dengan cepat, sedang Kenzo beranjak berdiri melihat Maya berjalan ke arahnya dengan cepat. Lantas Maya langsung saja memeluk tubuh Kenzo, sangat erat.     

Kenzo kian terkejut, dia masih enggan menerima pelukan Maya di tubuhnya yang tiba-tiba.     

"May, ada apa?" tanya Kenzo dengan canggung.     

Maya tidak kunjung menjawabnya, dia hanya semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Kenzo. Sehingga membuat Kenzk kian kebingungan.     

"MAY!" panggil Kenzo lantas mendorong Maya dari pelukannya.     

Maya menatap lekat wajah Kenzo dengan lekat. "Kenapa, kenapa kau tidak mengatakannya padaku saat itu?" ujar Maya bertanya padanya.     

Kenzo mengernyit, dia kebingungan dan tak kunjung mengerti apa yang dikatakan oleh Maya padanya.     

"Kenapa kau memilih diam atas perasaanmu padaku, Ken?" pekik Maya yang kemudian menangis seraya menarik-narik tubuh Kenzo.     

Kenzo kembali terkesiap, ini terlalu mendadak baginya. Itu sudah berlalu begitu jauh, bahkan sudah terkubur dan tidak lagi muncul di benak Kenzo.     

"May, apa yang kau bicarakan?"     

"Aku sudah mendengarnya, aku baru mengetahuinya, aku bodoh baru mengerti semuanya..." Maya kian menangis sambil memukul-mukul bagian dada Kenzo.     

Kenzo meringis dan menangkap kedua tangan Maya. "May! Hentikan, jangan seperti ini!"     

Maya mendongakkan kepalanya kembali dan menatap wajah Kenzo dengan mata yang basah. Dia terisak oleh tangisannya sendiri, membuat Kenzo menahan napasnya sejenak.     

"May... Kenapa kau membahas ini sekarang? Semua sudah berlalu, kau sudah bahagia dengan keluarga kecilmu, aku sudah merelakan semua perasaan itu, May."     

"Kau jahat! Kau jahat! Kenapa kau rela menanggung semuanya untukku, kenapa kau begitu bodoh? Kau membuatku merasa bersalah saat ini." Maya meronta dan kembali memukuli dada Kenzo.     

"May, May. Mayaaa!!!" tegas Kenzo pada Maya. Sehingga membuat sang nenek keluar dengan terbirit-birit setelah mendengar keributan dari luar.     

"Ada apa? Oh, Maya? Hei... Kenapa, kenapa kau menangis, Nak?" sambut sang nenek seraya menghampiri Maya yang kini menangis di depan Kenzo dengan tersedu-sedu.     

Kenzo sedikit gelisah mendapati sang nenek keluar lantas menghampiri Maya dan menarik tangannya untuk di peluk oleh sang nenek.     

"May, kenapa? Ada apa?" tanya sang nenek kembali pada Maya.     

Kenzo mulai panik, dia menatap wajah Maya dengan ketakutan. Walau bagaimanapun dia tidak ingin sang nenek mengetahui hal ini, dia tak ingin membuat suasana semakin runyam nantinya.     

Maya melirik sejenak ke arah Kenzo, dia melihat Kenzo menggelengkan kepalanya ke arah Maya. Seolah memberikan isyarat pada Maya untuk tidak memberitahukan hal itu pada sang nenek.     

"Tidak apa-apa, Nek. Maya hanya... Sedikit ada masalah di rumah, Maya bingung harus pada siapa mengadu. Jadi, Maya datang kesini." Maya menjawab sekenanya dan dengan terbata-bata.     

Sang nenek menatap lekat wajah Maya, lalu beralih menatap wajah Kenzo yang tampak cemas, kemudian dia mengusap air mata Maya yang terus saja mengalir membasahi pipi Maya.     

"Apa benar begitu?" tanya sang nenek kembali dengan tatapan menyelidik.     

"I-iya, Nek!" jawab Maya dengan terbata-bata.     

Sang nenek menggenggam tangan Maya dengan hangat dan lembut. "Kau sudah dewasa, sudah memiliki seorang anak, kau sudah menjadi seorang istri dari laki-laki yang tentu juga baik. Jadi, kalau kau memiliki satu masalah pribadi, selesaikan dengan baik. Jangan malah kabur kemari, Nak..." pesan sang nenek menasehati.     

Maya mengangguk dengan ragu-ragu lantas tak berani lagi menatap wajah sang nenek.     

"Nek, Kenzo ingin bicara dengan Maya. Bisakah nenek biarkan kami berdua saja?" pungkas Kenzo mulai menyela.     

Sang nenek menoleh dan menatap wajah Kenzo sejenak, Kenzo segera menundukkan wajahnya dari tatapan sang nenek.     

"Baiklah, cepat selesaikan obrolan kalian dan antarkan Maya pulang, Ken!" titah sang nenek.     

"Iya, Nek." Kenzo menjawab singkat.     

Lantas sang nenek beranjak berdiri dan masuk ke dalam rumah meninggalkan Maya dan Kenzo hanya berdua.     

Kenzo segera duduk di hadapan Maya, namun enggan menoleh ke arah Maya yang kini duduk di sisinya. Kenzo menarik napas dalam-dalam, menyatukan kedua telapak tangannya di depan.     

"May, aku tidak menyesalinya sedikitpun. Tolong, hiduplah dengan bahagia saat ini. Dengan keluarga kecilmu, dan biarkan aku menjalani kisahku sendiri."     

Maya menarik napasnya sedalam mungkin. "Bagaimana bisa kau memintaku dengan mudahnya untuk melupakan semua itu?" ucap Maya dengan suara parau.     

"May, lalu apa yang kau inginkan, hah?"     

"Jangan kembali pada Alona!" ucap Maya tegas.     

"APA???" Kenzo tampak terkejut.     

"Jangan kembali pada Alona."     

"Kau... Kau sudah gila, May!" tandas Kenzo padanya.     

"Ken, biarkan aku menebus semua rasa sakitmu saat itu. Biarkan aku menebus semua sikapku yang telah membuatmu terluka meski itu terlambat."     

"Tidak, May! Lupakan, sungguh. Aku sudah melupakan semua itu, aku sudah mengikhlaskannya, aku sudah merelakannya, aku bahkan baik-baik saja saat ini."     

Maya tampak terengah-engah mendengar pernyataan Kenzo demikian. Dia masih tidak bisa menerima itu semua, dia terlambat mengetahui semuanya.     

"Ken... Maafkan aku..."     

"May, untuk apa kau minta maaf? Kau tidak salah, lagi pula kita tetap bisa bersahabat sampai saat ini itu karena aku sudah bisa merelakan cintaku berlalu begitu saja."     

"Tidak, Ken! Aku lah yang salah, aku terlalu buta mata dan buta hati... Jangan kau maafkan," pinta Maya dengan lirih.     

"Tsk! Kau yakin akan permintaanmu itu? Baiklah, jika kau minta aku tidak akan memaafkanmu, itu artinya kita juga tidak lagi bisa bersahabat." Kenzo beranjak berdiri.     

"Kenzo, tunggu! Aku mohon, jangan lakukan itu. Itu akan semakin membunuhku," ujar Maya ikut berdiri dan menghadang Kenzo yang hendak pergi.     

Kenzo berusaha tersenyum menatap wajah Maya. "Ayo, aku antar pulang!" ajak Kenzo kemudian.     

Maya pun mengangguk walau dengan terpaksa. Dia mengikuti langkah Kenzo yang kini menuju halaman rumahnya, dia menaiki motornya lalu menyalakan mesinnya.     

Maya segera menaiki dan duduk di belakang Kenzo dengan sedikit canggung saat ini. Kenzo merasakan sikap Maya yang demikian untuk pertama kalinya saat berdekatan dengannya.     

Kenzo berpaling menoleh ke belakang menatapnya. "May! Apa-apaan kau ini? Kau merasa canggung di dekatku? Astaga, Tuhan... May, ayolah... Kau membuatku jadi geli."     

Maya cemberut, dia memalingkan wajahnya dari pandangan Kenzo. Karena Maya pun tidak mengerti kenapa dia justru merasa canggung saat ini.     

Kenzon kembali menghadap ke depan lalu melaju pergi keluar dari halaman rumahnya. Maya yang duduk di belakangnya pelan-pelan melingkarkan pelukannya pada pinggang Kenzo.     

Sementara Kenzo tetap fokus mengendarai motornya melaju ke depan. Pelukan Maya kali ini benar-benar tidak lagi menyentuh hatinya. Dia mulai terbiasa, karena saat ini semua sudah berlalu.     

Sampai di rumah Maya, Kenzo berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah Maya.     

"Masuklah!" titah Kenzo begitu Maya turun dari motornya.     

"Ken..."     

"May... Sudahlah, aku akan menganggap semua ini selesai. Semua sudah berlalu, bukan?" Kenzo menyela bicara Maya tanpa menunggunya menyelesaikan nya dahulu.     

Maya mengatupkan kedua bibirnya, tatapannya pada Kenzo masih sendu dan penuh rasa bersalah.     

"Masuklah! Aku yakin kau pergi ke rumah tanpa memberitahu suamimu dulu," ujar Kenzo kembali mencoba menebaknya.     

Maya tersenyum tipis. Sehingga Kenzo mulai menjitak kening Maya dengan gemas seperti biasanya.     

"Aw... Kenzo!" Maya meringis menahan jitakan Kenzo di keningnya.     

Maya membuka pintu gerbang rumahnya, lantas melangkah masuk sementara Kenzo menyalakan kembali mesin motornya untuk melaju pergi dari depan rumah Maya.     

Sampai di teras rumah, Maya hendak melangkah masuk ke dalam dan begitu sampai di ruangan dia di sambut oleh suaminya yang menatapnya dengan heran dan juga kesal.     

"Sebenarnya ada apa denganmu?" tanya sang suami pada Maya.     

"Sudahlah. Aku malas berdebat, aku akan pergi tidur!" sahut Maya acuh dan melewati suaminya begitu saja.     

"May!" panggil sang suami seraya menangkap lengan tangan Maya sehingga Maya terhenti di belakangnya.     

Maya menepisnya dengan kasar. "Aku bilang aku ngantuk, aku malas berdebat."     

"Aku hanya bertanya, apa aku salah? Kau berubah sejak pulang dari acara reuni tadi. Apakah ada yang kau sembunyikan dariku?" desak sang suami padanya.     

"Alah... Kau selalu saja menuduhku mempunyai rahasia di belakangmu, apakah kau pikir aku sama dengan wanita-wanita mu sebelumnya?"     

"Maya!" hardik sang suami.     

Maya menyeringai, lantas melewati sang suami dengan kembali melangkah hendak menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.     

Dia sengaja mengunci pintu kamarnya dengan rapat, seolah sengaja tak ingin membiarkan sang suami satu ranjang dengannya malam ini. Dia ingin tidur sendiri dan menyelesaikan kekalutannya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.