The Lost Love

The Lost Love (bab eror)



The Lost Love (bab eror)

0Hari-hari berlalu begitu cepat, Alona mulai merasa nyaman dan terbiasa akan hubungannya dengan Dewa yang dalam sekejap mudah mengambil hati Alona. Meski sampai detik ini Alona selalu berpikir dia menemukan kembali sosok Kenzo dalam diri Dewa. Namun, bedanya adalah sosok Dewa yang selalu dewasa membuat Alona merasa selalu nyaman.     
0

Akan tetapi, sampai detik ini dia masih belum beranikan diri memberitahu sang ayah akan hubungannya dengan Dewa yang sudah satu bulan ini berjalan diam-diam. Tampaknya hanya Aleea yang menyadari akan hubungan itu, dan saat ini Aleea tengah menginterogasinya di dalam kamar.     

"Kak! Jadi, benar? Kakak dan laki-laki itu sudah berpacaran?" tanya Aleea menyelidik.     

"Namanya Dewa, Sayang."     

"Aku gak mau tau, aku tidak suka dengannya. Dia terlihat berlebihan untuk mendapat perhatian dan kekaguman bapak, berbeda dengan kak Kenzo yang apa adanya saja. Selain itu kak Kenzo juga sangat kocak dan renyah diajak bercanda."     

Alona hanya diam saja mendengar serta memperhatikan sang adik yang terus mengomelinya sejak tadi sampai akhirnya Aleea menyadari akan sikap sang kakak yang hanya diam dan memperhatikannya. Seolah sengaja membiarkan sang adik terus meluapkan segala isi hatinya.     

"Ish, KAKAK!" panggil Aleea mendecak sebal.     

"Aleea, kakak sudah akan segera kembali ke LN. Apa kau tidak akan merasa rindu lagi pada kakak nanti?" ujar Alona kemudian sambil meraih tangan Aleea ke dalam genggamannya.     

"Kaak… Apa kakak tidak mendengar ucapanku sejak tadi?"     

"Aleea, kau masih saja belum mengerti keadaan yang sebenarnya terjadi. Aku sudah pernah mengatakannya bukan? Cintaku pada Kenzo sampai detik ini masih bisa aku rasakan begitu dalam di hati ini, dia masih memiliki tempat yang sama di dalam sana. Meski aku tau, walau bagaimanapun dan sekeras apapun aku berusaha untuk membuat hubungan ini menyatu, bapak akan terus menentangnya dan itu akan lagi dan lagi menyakiti hati kami, bukan hanya aku yang akan terluka, melainkan Kenzo akan jauh lebih sakit nantinya."     

"Kak, kenapa kakak tidak mencoba pacaran diam-diam lagi?" jawab Aleea memberi ide. Tanpa dia tahu hal itu akan mendapatkan repon seperti apa nantinya.     

"Apa kau pikir itu mudah, Aleea?"     

Aleea tertegun dan hanya mengedip-ngedipkan kedua matanya.     

"Aku sudah pernah melakukannya dan itu berulang kali hanya akan mengulang kehidupan yang sama. Menyakiti dan melukai perasaan kami masing-masing, Aleaa."     

"Kali ini aku rasa bapak akan sangat menyukai kak Dewa karena dia satu keyakinan dengan kami. Aku sungguh takut, dan aku juga tidak mengerti. Kenapa perbedaan keyakinan harus menjadi penghalang yang berat untuk hubungan percintaan, tidak bisakah kita yang menentukannya sampai kita…"     

"Aleea, selama ini kita sudah cukup melihat semua beban yang selalu bapak lalui untuk merawat kita sejak ibu meninggal. Dan kali, biarlah aku membalas itu semua sebagai bukti baktiku pada bapak. Aku tak apa meski harus mengorbankan hati dan perasaan serta pada siapa kebahagiaan kakak," jawab Alona kembali dengan raut wajah sedih.     

Mendengar sang kakak berkata demikian, Aleea kembali bersedih dan memeluk tubuh sang kakak. Dia tahu bagaimana perasaan sang kakak saat ini, namun dia tetap belum bisa menerima jika sang kakak mengorbankan perasaannya sendiri tanpa ada timbal balik dari hal itu.     

"Alona…" panggil sang ayah tiba-tiba.     

Setika Alona dan Aleea saling melepas pelukan masing-masing dan Aloan segera beranjak berdiri untuk membuka pintu.     

"YA?" Alona membuka pintu untuk sang ayah.     

"Ada nak Dewa menunggu di luar," ujar sang ayah.     

"Oh," jawab Alona singkat.     

"Siapa, kak Dewa ya?" tanya Aleea kemudian.     

"Anak kecil diam saja di kamar," ujar sang ayah menggodanya.     

Alona tersenyum kecil lantas beranjak pergi untuk menemui Dewa.     

"Hai…" sapa Dewa begitu melihat Alona ke luar menemuinya.     

"Hai, kau tidak mengabariku dulu datang kemari."     

"Kejutan," ujar Dewa sambil tertawa kecil.     

"Tsk… Dasar," ujar Alona berdesis.     

"Om juga senang kalau nak Dewa sering-sering datang kemari, rumah ini jadi terasa ada anak laki-laki yang bisa menemani om sepanjang hari."     

"Terima kasih, Om."     

Mereka pun duduk bersama di ruang tengah sementara Alona pergi menuju dapur untuk membuat minuman hangat. Sementara Dewa duduk berbincang dengan sang ayah di ruang tengah dan menunggu Alona datang kembali dan ikut bersama dalam perbincangan.     

Sesaat kemudian Alona sudah datang kembali dengan membawa dua cangkir kopi hangat dan cemilan kue kering yang baru saja sore tadi di buatnya bersama Aleea.     

"Mari, silahkan di cicipi nak Dewa. Ini kue buatan Alona, sangat enak."     

"Bukan hanya kakak saja yang membuatnya, Aleea juga ikut membantu tadi." Aleea keluar dari kamar Alona dengan wajah jutek.     

Dewa tersenyum menyambut kemunculan Aleea yang sejak awal pertemuan mereka wajah Aleea selalu saja menunjukkan rasa tidak suka pada Dewa. Dan kali ini dia mencoba untuk mengambil hati Aleea yang tidak pernah menyukainya begitu bertemu dengannya.     

"Aku akan mencobanya." Dewa langsung saja meraih satu kue kering tersebut.     

Tampak Aleea mendesis dengan menyembikkan bibirnya menanggapi sikap Dewa yang baginya tetap saja terlihat mencari perhatian semuanya. Dewa pun mulai berseru begitu mencicipi kue kering yang di buat oleh Alona dan Aleea, dan tentu saja itu membuat Alee kian kesal akan sikapnya yang terkesan berlebihan meski tidak sebenarnya demikian.     

Tampak hening sesaat, ketika Aleea beranjak pergi dari ruang tengah. Meski Alona sudah memberikannya banyak cerita dan kebaikan. Tapi kelihatannya Aleea memang benar-benar masih butuh waktu untuk bisa menerima Dewa sebagai kekasih sang kakak.     

"Om, ada yang ingin dewa sampaikan pada Om."     

Tiba-tiba saja Dewa berkata demikian setelah Aleea pergi dari ruangan. Alona terhenyak dan berpikir apa yang akan di sampaikan Dewa kali ini.     

"Dewa..." panggil Alona dengan wajah gusar.     

Sang ayah tampak mengerutkan keningnya dan melihat ke arah Alona lalu beralih menatap wajah Dewa.     

"Alona, maafkan aku. Tapi sebaiknya kita katakan hal ini saja di depan beliau."     

"Ada apa, nak Dewa?"     

"Om, saya dan Alona... Kami... Menjalin hubungan berpacaran, apakah om mengizinkannya?"     

Ayah Alona tampak terkejut. Dan Dewa serta Alona gelisah menunggu reaksi dan jawaban dari sang ayah.     

"Akhirnya yang om harapkan terjadi."     

Alona sudah menduganya, dia memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepalanya. Sedang Dewa begitu sangat bahagia melihat reaksi ayah Alona.     

"Jadi, apakah om..."     

"Tentu, om sangat mengizinkan kalian menjalin hubungan berpacaran. Kalau saja boleh om justru sangat ingin kalian menjalinnya bukan dengan perasaan bermain-main."     

"Bapak..." panggil Alona.     

"Alona, Bapak tau kalian masih butuh waktu yang cukup lama untuk saling mengenal lebih dekat satu sama lain. Tapi, bapak yakin kalian akan menjadi pasangan yang selalu saling mencintai."     

Seolah seperti deru ombak di tengah lautan uang terjadi di dalam hati Alona saat ini. Segala perasaan campur aduk di dalam sana.     

Berakhir sudah, hubungannya dengan Kenzo hanya tinggal kenangan dan tak mungkin kembali bisa di satukan.     

"Alona..." panggil sang ayah di tengah lamunannya.     

Alona terhenyak ketika merasakan sentuhan tangan sang ayah yang menyentuh pundaknya.     

"Iya, kenapa?"     

"Apa yang kau pikirkan?" tanya sang Ayah.     

"Ti-tidak, Alona..."     

"Alona, akhirnya aku lega. Ayahmu sudah tau hubungan kita, jadi kita tidak perlu resah. Ehm, sekali lagi terima kasih, Om." Dewa tampak benar-benar bahagia mendengarnya.     

Alona tersenyum kecil, sejujurnya entah kenapa dia merasa sedih melihat kebahagiaan di wajah Dewa kali ini.     

Setelah itu, sang ayah sengaja membiarkan mereka hanya mengobrol berdua saja. Untuk memberikan kesempatan agar lebih dekat.     

"Alona, aku sungguh sangat bahagia akhirnya hubungan kita di restui."     

"Hem, makasih, Dewa."     

"Apa kau juga bahagia?" tanya Dewa lagi.     

"Tentu," jawab Alona singkat sambil menatap wajah Dewa.     

"Tapi, kedua matamu berkata tidak, Alona..." jawab Dewa.     

Alona menahan napasnya sejenak, Dewa selalu saja tahu apa yang Alona rasakan dan berusaha sembunyikan.     

"Tidak, aku sungguh bahagia."     

"Alona, katakan jika ada sesuatu yang tidak aku sukai dariku?"     

"Tidak, Dewa. Aku hanya... Sedikit terkejut, bapak begitu mendukung hubungan kita yang baru saja sesaat ini."     

Dewa mengerutkan keningnya, mencoba menerka maksud dan tujuan perkataan Alona.     

"Apakah karena laki-laki itu?" tanya Dewa menerka.     

Alona kembali tersentak. Dan membuat Dewa tersenyum menyeringai.     

"Kau bahkan langsung saja meresponnya."     

"Dewa, aku tidak mengerti siapa yang kamu maksud laki-laki itu."     

"Kau belum menjawabnya siapa yang laki-laki yang saat itu duduk bersebelahan denganmu di sisi pantai."     

Alona menahan napasnya sejenak, dia gusar, dia gelisah, dia resah. Sampai detik ini Dewa masih berusaha mengulik siapa sosok laki-laki yang tentu saja sudah menjadi bagian dari masa lalunya.     

"Dewa, bisakah kita jangan membahasnya sekarang dulu?"     

"Tidak. Aku mau sekarang, kita sudah berjalan selama satu bulan dan sebentar lagi kau akan kembali ke Luar Negeri. Jangan membuatku khawatir, jangan membuatku merasa memikirkannya sendiri."     

"Apa kau yakin akan percaya padaku setelah aku mengatakannya?"     

"Hem, aku berjanji. Aku akan mempercayaimu, bukankah itu harus aku lakukan?"     

"Dia mantan kekasihku."     

Dewa terdiam begitu mendengar Alona mengatakan siapa laki-laki yang membuat Dewa begitu penasaran.     

"Jadi, saat itu kau..."     

"Tidak! Kami tidak sengaja berada dalam satu tempat. Sebelumnya aku tidak menyadari dia ada disitu, kau percaya itu?"     

Dewa tampak menarik napasnya dalam-dalam.     

"Yah, aku yakin kau tidak akan mempercayaiku."     

Dewa masih diam dan memalingkan wajahnya ke lain tempat.     

"Jadi, apa karena itu kau memintaku menjemputmu tiba-tiba?" tanya Dewa dengan lirih.     

"Aku..." Alona menjeda bicaranya sejenak. Dia sadar, saat itu dia memang menjadikan Dewa pelampiasan.     

"Kau menjadikanku pelarian?"     

"Dewa... Aku tidak bermaksud demik..."     

"Woah, ternyata begini rasanya sakit karena luka yang tak berdarah."     

"Yah, aku akui. Saat itu aku hanya menjadikanmu alat agar aku bisa menunjukkan padanya, hidupku baik-baik saja."     

Dewa kembali menundukkan kepalanya dan terlihat benar-benar terpukul.     

Perlahan Alona memberanikan diri meraih kedua tangannya dan menggenggam tangan Dewa.     

"Maafkan aku, Dewa."     

Dewa menarik napas dalam, "tidak apa, Alona. Aku mengerti, meski aku tidak tau betul bagaimana kisahmu di masa lalu dengan laki-laki itu tapi sepertinya kau begitu mencintainya dan laki-laki itu juga sangat mencintaimu. Aku bisa merasakannya dari tatapannya melihatmu berlalu pergi bersamaku saat itu."     

Alona menahan diri, dari air mata yang membumbung hendak mengalir deras membasahi pipinya.     

"Kami berbeda keyakinan, bapak menentang keras hubungan kami yang sudah terjalin 8 tahun lamanya."     

"Apa?" Dewa terkejut menolehnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.