The Lost Love

Pecah seribu



Pecah seribu

0Panggilan pun berakhir, berakhir sudah hubungan yang selama ini bertahun-tahun di pertahankan mencoba menahan diri dan menentang benteng yang begitu tinggi dari restu ayah Alona untuk hubungan mereka. Tak peduli meski sekuat dan sebesar apapun yang dia lakukan, tetap saja. Hubungan mereka harus di akhiri walau hati masih saling mencintai.     
0

Alona menangis tersedu-sedu hingga membuatnya sesenggukan tanpa henti. Pada akhirnya, dia tetap harus mengalah akan hubungan yang sudah susah payah dia pertahankan bahkan sampai rela menentang restu sang ayah. Dia menangis sepanjang malam, hatinya sungguh pedih dan hancur.     

"Ken, maafkan aku! Kau sudah mengecewakanmu, aku sudah menyakitimu."     

Ayu yang perlahan sayup mendengar suara tangisan Alona, segera beranjak bangun dan segera menengok ke bawah dari ranjang susun yang kebetulan dia ada di atasnya. Segera Ayu mengucek kedua matanya lalu memanggil Alona yang terus menangis sejak tadi, sudah tentu Ayu tahu sesuatu yang begitu berat telah terjadi pada sahabatnya itu malam ini.     

"Alona, apa yang terjadi?" Ayu turun dari ranjangnya dan menghampiri Alona.     

Seketika Alona langsung memeluk tubuh Ayu dan tangisannya semakin meluap saja, membuat Ayu bertanya-tanya namun juga kebingungan lantaran tangisan Alona begitu tersedu-sedu hingga membuatnya sesenggukan saat ini. Ayu mengeratkan pelukannya pada tubuh Alona dan membiarkannya terus meluapkan tangisannya sampai akhirnya Alona menghentikan tangisannya dan kembali terdiam.     

Perlahan Ayu meregangkan pelukannya dari tubuh Alona dan lantas menangkap kedua pipi Alona untuk di hadapkan pada wajah Ayu yang menatap Alona saat ini. Tatapan kedua mata Alona begitu pilu, raut wajah Ayu pun berubah sedih seketika pula begitu melihat wajah sahabatnya sedih begitu.     

"Ayu, semua sudah berakhir, dan aku…" lirih Alona dengan terbata-bata.     

"Alona, sssttt… Aku tau, jangan di teruskan lagi. Kau pasti sangat sedih, aku disini." Ayu tak kuasa dan menyela ucapan Ayu yang terjeda.     

Sementara itu, Kenzo yang baru saja mengakhir panggilan teleponnya dengan Alona, segera menarik napasnya dalam-dalam lalu membuangnya kembali dengan kasar. Entah apa yang saat ini ia rasakan di hatinya, hanya sesak yang dia rasa di dadanya. Dia terjaga semalaman, dia hanya diam tanpa berbuat apa-apa.     

"Kenapa, Alona? Kau harus menyerah, padahal apa yang saat ini mungkin saja masih mampu kita raih, atau mungkin saja kita masih bisa melaluinya bersama. Tapi kenapa, Alona… Kenapa…" Kenzo berbicara sendiri sepanjang malam.     

Sampai waktu pagi pun tiba, Kenzo bergegas ke luar kamar tanpa lebih dulu sarapan meski dia mencium nasi goreng favoritnya. Dia merasa sudah sangat jengah dan ingin segera pergi ke luar dari rumah nya setelah semalaman di menahan sesak di dadanya. Sesaat kemudian dia sampai di tempat kerjanya.     

"Hai, Ken!" sapa Pandu padanya.     

"Hem, pagi." Kenzo menyapa Pandu seperti biasanya. Dia mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja meski hatinya tengah hancur berantakan pagi ini.     

"Ken, malam nanti teman-teman di club akan mengadakan perkumpulan seperti biasa. Kau ikut bukan?"     

Kenzo terkesiap bahkan menepuk keningnya. Dia baru mengingatnya bahwa malam nanti dia akan menghadiri suatu perkumpulan dengan teman-teman member club nya seperti biasa. Namun kali ini sepertinya dia tak ingin dulu menghadiri acara tersebut yang hanya akan menambah sesak di dadanya setelah semalaman dia terjaga.     

"Emh, sepertinya kali ini aku tidak ikut." Kenzo menjawab dengan ragu-ragu.     

"Wah, sayang sekali."     

"Hem, kali ini aku sedang ada janji."     

"Dengan Heni? Atau dengan Adinda." Pandu menjeebaknya dengan menggodanya.     

"Tsk, kali ini beda." Kenzo berpura-pura dengan memasang wajah baik-baik saja dan berlagak senyumannya kali ini memang dari hatinya yang terdalam.     

"Dasar playboy, Lu!" ledek Pandu kembali.     

"Hahaha, laki-laki bukankah harus demikian?"     

"Kau betul!" Pandu membenarkan lantas mereka saling melepas tawa.     

Waktu bekerja terus berputar sampai tiba sore hari, Kenzo segera pergi. Namun, kali ini dia tak ingin ke rumahnya seperti biasanya, dia hanya terus melaju pergi tanpa tahu tujuan yang akan dia hampiri. Hingga laju motornya mendadak berhenti di pesisir pantai, tepat saat matahari segera tenggelam.     

Kenzo berjalan di atas hamparan butiran halus pasir yang membentang luas di pesisir pantai. Entah kenapa, terasa berbeda ketika Kenzo menginjakkan kakinya di atas pasir itu. Dia merasa tidak lagi ada kehangatan di atas pasir itu, lebih terasa sejuk hingga menusuk kedua telapak kakinya.     

"Hah…" Kenzo membuang napas panjang.     

Dia menatap lurus ke tengah lautan, menatap kosong senja yang kian mulai habis tenggelam. Suara deru ombak tidak lagi menenangkan, yang ada hanyalah tekanan yang membatin pada hatinya, mengusik batinnya. Sungguh, Kenzo tak kuasa menahan segala asa yang tak bisa dia kendalikan.     

Konon, seberat apapun hati dan masalah yang kita hadapi, akan mudah teratasi ketika kita merelakannya pada deru ombak di pesisir pantai. Menatap senja yang berganti petang, dengan warna mega yang memberikan kedamaian. Akan tetapi, kenapa kali ini semakin menyiksa batinnya?     

Hari mulai gelap, beberapa orang ada yang sudah berlalu pergi namun ada pula yang bergantian datang. Sialnya, beberapa orang yang datang di antaranya dengan kekakasih dan pasangan mereka yang mungkin saja sengaja ingin menikmati malam berdua. Hal itu kian semakin membuat hati Kenzo berantakan, memberontak ingin menjerit dan melampiaskan segala perasaannya.     

Waktu kian larut malam, beberapa orang sudah berhaburan pergi. Hanya beberapa orang saja yang masih tinggal di pesisir pantai, sejak tadi Kenzo selalu mendapatkan panggilan dari Ervan dan sang nenek yang terus menelponnya hanya sekedar bertanya dimana dia berada, dengan siapa dan sedang apa.     

Sampai akhinya sang kakak kembali menelponnya lantaran dia belum juga kembali ke rumah meski jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Entah kenapa, semakin lama kenangan tentangnya bersama Alona kian semakin menjelma, tak kuasa Kenzo menahan sesak dan sakit yang bertubi-tubi mengingat hubungannya yang telah berakhir dengan Alona.     

"A-L-O-N-A…" Kenzo berteriak setelah di gerakkan oleh hatinya yang terdalam.     

Akhirnya pun air matanya tumpah seketika, mengalir deras membasahi pipinya. Dia menyesali, bahkan menyadari bahwa apa yang selalu di katakan oleh banyak orang ialah benar adanya. Meski sejak awal dia tak ingin mempercayainya dan selalu bersikeras semua itu tidak benar adanya, namun tetap saja. Kali ini dia harus menerima dan mengiyakan akan semua perkataan yang selalu dia dengar selama ini dari banyak orang.     

Putus cinta itu memang hal yang sangat menyakitkan, terlebih jika kita mengakhirinya lantaran di paksa oleh kondisi dan keadaan. Saling mencintai, tapi tidak bisa bersama lagi. Perpisahan yang paling pedih ialah ketika kita harus saling melepaskan dengan paksa cinta itu sendiri, namun Kenzo percaya. Ini hanya sementara, dan akan segera berakhir seiring waktu berjalan. Dia hanya perlu mengikuti arus jalan kemana setelah ini hatinya akan kembali berlabuh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.