The Lost Love

Berakhir selamanya



Berakhir selamanya

0Alona masih terdiam menanggapi pertanyaan Kenzo yang terdengar menyelidik .     
0

"Alona…"     

"Ken, apa maumu sih? Apakah kamu marah hanya karena malam ini kita tidak bisa bertemu?"     

"Apakah pernah aku marah padamu hanya karena hal itu?" tanya Kenzo dengan nada marah.     

"Kau memang sudah berubah, Ken…"     

"Kau yang berubah, Alona. Kau bukan lagi Alona yang aku kenal dan aku cintai selama ini," bantah Kenzo kian kesal.     

"Baik, lakukan saja apa yang kau pikirkan saat ini."     

"Hubungan kita memang tidak bisa lagi kita lanjutkan, Alona. Kau berubah, kau bukan lagi wanita yang selalu mengutamakan cinta kita dan hubungan kita, aku tidak mau kau terus menahan diri, memaksakan hati dan kehendak sementara hubungan kita memang tidak akan pernah bisa menyatu."     

Alona tersentak. Ini baru saja satu bulan berjalan, meski dia sudah menduganya akan tetap seperti ini jadinya namun kali ini justru Kenzo yang memulainya. Kenzo yang meminta mengakhiri hubungannya entah apa alasannya, Alona ingin marah tapi tidak bisa.     

"Jadi ini yang kamu inginkan, Ken?" tanya Alona dengan gemetar.     

"Mungkin ini yang terbaik," ujar Kenzo lirih.     

"Baiklah, hubungan kita sampai disini saja. Sejak awal aku tau kau mengajakku kembali bersama hanya untuk menyakitiku, membalas dendam dengan apa yang pernah aku lakukan padamu saat itu."     

Kenzo meringis menahan rasa pedi di dalam hatinya setelah mendengar Alona justru melimpahkan kekesalannya dengan menuduhnya. Betapa dia benar-benar ingin marah dan memakinya saja, betapa dia ingin meluapkan segala amarah dan rasa sakit di dalam hatinya saat ini.     

Panggilan pun berakhir begitu saja, Kenzo membanting ponselnya dan merebahkan diri di atas kasur begitu saja. Kenzo menghela napas panjang, meletakkan satu lengan tangannya di atas keningnya. Air mata mulai menetes dari kedua ujung matanya, untuk yang kedua kalinya dia harus melepaskan Alona dari pelukannya, dari cintanya, dari harapan dan impiannya.     

Beberapa kali Kenzo menarik napasnya lalu menghempaskannya kemudian, rasa ingin berteriak agar hatinya lega sudah sangat ingin dia lakukan namun, tetap saja. Mendadak terasa mencekiknya di tenggorokannya saat ini, yang bisa di rasakan saat ini hanya menangis, tak peduli meski dia seorang laki-laki saat ini.     

Sementara itu, Alona pun merasakan hal yang sama. Meski dia sudah tahu hal ini akan terjadi, meski dia tahu hubungannya akan benar-benar berakhir, namun tetap saja. Hatinya tetap terluka, hatinya tetap menderita dengan berakhirnya hubungannya kali ini. Tak tahan lagi dia merasakannya, sungguh benar-benar sakit.     

"Ken, aku harap kau tidak akan pernah bahagia. Kau sudah membuatku sakit seperti ini, kau yang meminta mengakhiri hubungan ini. kau tidak akan pernah merasakan kebahagiaan, Ken! Tidak akan!" Alona mengancam dengan di sertai isakan tangisannya.     

Hingga semalaman suntuk dia terus menangis menahan rasa sakit, kecewa dan marah lantaran sikap Kenzo yang kali ini membuatnya kecewa. Begitu pun dengan Kenzo yang terjaga sampai semalaman, dan pagi ini dia harus kembali bekerja seperti biasa. Padahal baru saja hubungannya dengan Alona berjalan tepat satu bulan hari ini. Akan tetapi, sudah harus kembali kandas tetap dengan hal yang sama.     

~     

Setelah sampai di tempat kerja, Pandu melihat ada yang berbeda dari raut wajah Kenzo setelah sekian lama dia melihat Kenzo begitu ceria.     

"Ken, apa kabarmu, Kwan?" tanya Pandu menyapanya.     

Kenzo mengangkat satu alisnya. "I am fine!" jawab Kenzo dengan sombong.     

"Hahaha, yah. Aku percaya kau akan selalu baik-baik saja, tapi…"     

"Tolong, jangan bahas tentang Adinda lagi."     

"Tsk, kau masih terlalu percaya diri setelah kau membuatnya patah hati."     

"Hahaha…" Kenzo tertawa menanggapi ucapan Pandu.     

Jam terus berputar, hingga sore hari pun tiba. Kenzo beranjak pergi dan segera menuju halaman parkir, namun Pandu melihatnya dan segera menghentikan langkah Kenzo yang sudah sampai di depan motornya.     

"Ken, ayo ikut kumpul malam nanti. Kau sudah lama tidak ikut kumpul dengan anak-anak club," ajak Pandu kemudian.     

"Emh, boleh! Kebetulan aku sedang tidak ada acara malam ini."     

"Oke, kita bertemu di markas seperti biasanya."     

Mereka pun berlalu pergi bersama menuju rumah masing-masing. Begitu Kenzo melaju dengan kecepatan tinggi, dia segera merendahkan laju motornya setelah sekilas melihat sosok Heni bersama seorang laki-laki keluar dari sebuah minimarket, tampak Heni tertawa begitu ceria dan merangkul genit lengan laki-laki itu.     

"Sial! Jadi, selama ini dia sedang menjalin hubungan dekat dengan laki-laki lain." Kenzo menggerutu kesal setelah melihat Heni dengan laki-laki lain.     

Heni terlihat sangat bahagia dengan laki-laki itu, lantas Kenzo kembali melaju dengan cepat dan ingin segera sampai di rumahnya. Sesaat kemudian dia sampai di rumahnya, dia bertemu dengan ayah sambungnya. Kenzo bersikap acuh saja dan segera memarkir motornya dahulu.     

"Kau sudah pulang, Ken?" tanya ayah sambungnya.     

Kenzo sengaja mengacuhkan sapaan ayah sambungnya itu. Secara bersamaan sang ibu muncul dari dalam rumahnya dan tentu saja melihat sikap Kenzo yang demikian.     

"Ken, iu tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap begitu pada orang tua. Apa kau tidak mendengar ayahmu menyapa barusan," ujar sang ibu untuk yang pertama kalinya kembali menyapanya setelah sekian lama dia sengaja mendiamkannya.     

"Kenzo!" bentak sang ibu lagi setelah Kenzo terus melangkah mengabaikannya.     

Sang ibu pun beranjak menarik lengan Kenzo dari arah belakang dan menyentakkannya hingga Kenzo menolehnya seketika. Mereka saling berpandangan dengan tajam, Kenzo menyeringai lantas kembali memalingkan wajah dari hadapan ibunya. Namun hal itu membuat sang ibu kesal dan merasa sikap Kenzo sudah benar-benar keterlaluan.     

"Ayahmu pasti sangat sedih melihat sikapmu yang terus saja mengabaikan ibumu sendiri, Ken! Bahkan sejak dulu kau selalu menjadi kebanggaan kami karena sikap ramah tamahmu dan menjadi anak yang penurut."     

Kenzo menghentikan langkahnya dan sontak menoleh kembali menatap tajam wajah ibunya. "Jadi, ibu merasa menyesal melahirkanku? Menyesal memiliki anak sepertiku?"     

"Ken, jaga bicaramu. Dia ibumu, dia yang telah melahirkanmu."     

Kenzo kian terkesiap begitu mendengar ayah sambungnya berkata demikian, Kenzo kian marah dan mengepalkan kedua tangannya lantaran amarah yang sejak lama dia tahan selama ini kini kembali memberontak.     

"Kau bukan siapa-siapa di rumah ini, kau tidak berhak berbicara dan menasehatiku seperti itu!"     

"Kenzo!!!"     

Plak!     

Sebuah tamparan mendarat di pipi Kenzo cukup keras hingga membuat Kenzo meringis.     

"Sayang…" panggil laki-laki itu begitu terkejut melihat istrinya menampar putranya, Kenzo.     

Ibu Kenzo tampak terengah-engah lantaran menahan emosi yang terasa mendidih di dalam dadanya saat ini. Hingga sekujur tubuhunya gemetar menahan amarah yang sudah naik pitam itu.     

Kenzo kembali menyeringai lantas kembali menatap sengit wajah sang ibu dan laki-laki yang selama ini telah menjadi pengganti ayahnya namun ttak juga mampu mengambil hati Kenzo. Seakan tak mau kalah, Kenzo kembali emosi dan naik pitam seraya melangkah maju menarik kerah baju ayah sambungnya itu.     

"Kau…"     

"Kenzo… Lepaskan, apa-apaan kau, cukup kau marah pada ibu saja, Ken!" sang ibu berusaha melepaskan cengkraman Kenzo yang begitu kuat menarik kerah baju ayah sambungnya itu.     

Sehingga kini seisi rumah yang secara kebetulan sedang ada di kamar masing-masing keluar bersamaan lalu menyaksikan kegaduhan yang terjadi.     

"Ken, ya Tuhan!" Ervan segera melangkah lalu berusaha melerai keduanya setelah melihat ayah sambungnya pun turut mencengkram kuat tangan Kenzo dengan tatapan penuh amarah.     

"Berhenti!" Hardik sang nenek dengan lantang.     

Namun, Kenzo masih saja berusaha memberikan pukulan pada laki-laki itu tak mau kalah. Ervan terpental, lantaran Kenzo begitu kuat menepisnya.     

"Selama ini aku sudah berusaha menahan diri, demi keluarga ini, tapi beraninya kau membuat ibuku berani menamparku! Kau yang telah mencuci otak ibuku selama ini, bukan?" ujar Kenzo seraya memperkuat cengkramannya lagi.     

"Kenzo!" tandas Ervan dengan sekuat tenaga menarik Kenzo yang tengah mencengkram kerah leher ayah sambungnya itu.     

Akhirnya pun Ervan bisa melepaskan Kenzo menjauh dari laki-laki itu, sementara sang nenek dan ibunya menangis tersedu-sedu. Kenzo masih menatap sengit laki-laki itu, dan Ervan segera menyentuh lengan Kenzo kembali. Kenzo terkesiap dan menatap wajah sang kakak, Ervan mengeluarkan napas panjang.     

"Ken, lihat! Kau bukan hanya membuat ibu menangis, tapi nenek juga. Dan kau lihat keponakanmu itu, dia tampak ketakutan. Ada apa denganmu?" ujar Ervan berusaha menenangkannya.     

Kenzo menatap sejenak wajah sang keponakan yang selama ini begitu sangat dia sayangi. Memang benar dia tampak ketakutan, sehingga Kenzo menundukkan kepalanya dengan tangan gemetaran, emosi yang meluap belum juga mampu dia redakan.     

"Ken, ibu…"     

Kenzo beranjak pergi begitu mendengar sang ibu hendak mengatakan sesuatu lagi, dia tak ingin mendengarnya yang hanya akan membuatnya kembali di rundung emosi di dalam hati. Dia pergi menuju kamar dan langsung membanting pintu kamarnya, semua tampak kaget.     

"Apa yang telah terjadi di rumah ini lagi? Aku sungguh sudah tidak tahan, aku akan kembali saja ke desa, aku akan membawa Kenzo bersamaku." Sang nenek mulai berbicara dengan isakan tangis yang terus saja membasahi wajahnya yang sudah keriput.     

"Maafkan aku, Ibu…" ujar ibu Kenzo.     

"Apa yang telah ibu lakukan pada adik, Bu?"     

"Ibumu tidak salah, Ervan! Dia hanya berusaha tegas pada adikmu, karena dia telah…"     

"Aku sedang berbicara dengan ibu, tolong jangan menyela! Ini urusan keluarga kami."     

Sang ibu kembali tersentak begitu mendengar perkataan Ervan yang tidak jauh beda dari sikap Kenzo.     

"Apakah kini kau mulai mencoba mengikuti jejak adikmu, Kenzo?" tanya sang ibu menatap tajam Ervan.     

"Sudah, hentikan! Jangan lagi bertengkar, Ervan. Kau temui adikmu, mungkin dia akan lebih menurutimu. Dan kau Rina, sebaiknya kau ajak Doni keluar sebentar. Cari angin, atau kemana saja asal pikiran kalian tenang nanti."     

"Apakah ibu mengusir kami?" tanya Doni dengan berani.     

Sang nenek tersentak , begitu pula dengan ibu Kenzo dan Ervan juga Sinta yang sejak tadi terpaku di tempat menyaksikan perdebatan di dalam rumah itu tanpa henti, yang selama ini selalu tidak tenang masih saja dengan masalah yang sama.     

"Kau!" Ervan mulai terbakar emosi pula.     

"Ervan, sudahlah… Temani adikmu, biar ini jadi urusan nenek. Sinta, ikutlah temani Ervan!" titah sang nenek menyela kemarahan Ervan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.