The Lost Love

Dinding Pembatas



Dinding Pembatas

2Kenzo terdiam sejenak setelah Alona menceritakan semua yang dia alami saat ini dengan isakan tangis yang menderu-deru bahkan sampai kehabisan napas saat berbicara sambil menangis. Kenzo pun terasa napasnya sendiri sudah dia kendalikan dan itu menyesakkan dadanya.      2

"Alona, aku…"     

"Tidak, Ken! Jangan katakan apapun, jangan membuatku semakin takut dan kacau akan semua yang aku pikirkan beberapa hari ini." Alona membantah dan menyela bicara Kenzo yang baru saja akan melontarkan kata untuk menenangkannya.     

Kenzo terdiam kembali. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini, untuk membuat Alona tenang dengan sendirinya. Namun, diam-diam hatinya hancur. Dia berusaha untuk tidak ikut terlarut dalam kesedihan tangis Alona yang membuat hatinya sangat sakit.     

"Ken, kenapa kau diam?" tanya Alona dengan nada marah.     

Kenzo terkesiap, dia kebingungan harus menanggapi seperti apa, bukankah sejak tadi dia yang memintanya untuk diam diam dan diam?     

"Alona, aku hanya…"     

"Kau tidak akan pernah mengerti, Ken! Kau tidak akan mengerti!"     

Bip bip bip…     

Panggilan berakhir begitu saja dan membuat Kenzo tersentak hingga beranjak berdiri dari posisinya sejak tadi.     

"Halo, halo Alona. Halo…" Kenzo berteriak di dalam kamarnya ketika Alona mematikan panggilannya begitu saja.     

Lantas dia mencoba untuk menelponnya kembali untuk berkata banyak hal akan semua yang sudah dia dengar darinya. Akan tetapi, nomor Alona justru tidak bisa di hubungi kembali. Alona sengaja mematikan ponselnya dan itu membuat Kenzo terbawa suasa perasaannya yang sejak tadi sedang kacau.     

"Aaaarght!!!" Kenzo membanting ponselnya di atas kasur.     

Dia mengusap kasar wajahnya dan menjambak rambutnya sendiri, berdiri mondar mandir tidak karuan, hatinya sungguh hancur, hingga sekujur tubuhnya merasa seperti tersengat aliran listrik dengan daya besar. Perlahan dia merasakan sekujur tubuhnya melemah dan dia terjatuh ambruk di atas kasur dengan posisi terlentang menatap kosong langit-langit kamarnya.     

Pikirannya benar-benar kalang kabut saat ini, bahkan air mata mulai mengalir dari kedua ujung matanya. Kenzo meletakkan satu lengan tangannya di kening, dia memejamkan kedua matanya. Hati dan jiwanya benar-benar lelah setelah sejak tadi dia menahan asa dan sesak yang berkepanjangan, dia mencoba untuk lelap dalam tidurnya, berharap ini hanya mimpi buruk dan saat dia sudah bangun kembali dari tidurnya semua sudah membaik seperti semula.     

Hingga waktu pagi pun tiba, Kenzo terkejut dan seketika beranjak bangun setelah mendengar suara alarm yang biasa membangunkannya setiap pagi. Dia berusaha segera menyadarkan dirinya setelah terbangun dan melihat sekeliling kamar, lantas sepintas terbayang apa yang sudah terjadi semalam padanya.\     

Dengan cepat Kenzo meraih ponselnya lalu menelpon Alona. Dia berharap hari ini semua sudah membaik, namun sayang. Kenzo menahan napasnya sejenak lalu menghempaskannya begitu saja saat mendengar ucapan operator yang mengatakan 'nomor yang anda tuju sedang tidak akif.'     

"Alona…" Kenzo menyebut nama itu dengan nada berat. Hatinya kembali di rundung rasa sakit dan sesak yang benar-benar menyiksanya pagi ini.     

Kenzo menatap layar ponselnya, dia memejamkan kedua matanya sejenak. Dia sungguh ingin kembali marah, paginya di sambut dengan rasa sakit dan perasaan yang tidak bisa lagi dia ungkapkan dengan kata-kata. Sungguh pagi yang sangat buruk dan dia merasakan sakit kepala yang begitu berat. Namun, dia harus tetap menjalani hari ini seperti biasanya. Dia masih harus bekerja dan melalui hari ini serta berpura-pura untuk tetap ceria.     

Tiba di tempat dimana Kenzo harus bekerja dan menjalankan tugas-tugasnya, dia harus bisa mengesampingkan semua beban pikirannya dahulu meski sedikit tersiksa. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan dengan baik hari ini, dia sedikti lega karena dengan begitu dia bisa sedikit melupakan sejenak perasaannya yang sedang terluka.     

Di jam istirahat, Kenzo beranjak pergi menuju tempat dimana dia bisa melepas rasa sesak yang mulai datang menghampirinya. Kebetulan, Kenzo bekerja di sebuah tempat dimana kali ini dia bisa menatap lautan yang luas. Dia sengaja menaiki sebuah gedung tinggi dimana dia bisa menatap laut lebih luas dari ketinggian.     

Dia menatap laut lepas dengan menarik napasnya dalam-dalam, bayangan tentang Alona terus menari-nari di depannya, senyumannya yang indah dan tentang ucapan Alona padanya malam tadi. Seketika Kenzo lagi dan lagi menjambaki rambutnya sendiri, dia benar-benar ingin berteriak andai saja di bawah sana tidak banyak orang yang sedang sibuk bekerja.     

"Tuhan, aku tahu. Selama ini aku bukanlah hambamu yang selalu mengingatmu dengan penuh keimanan, tapi kali ini saja. Biarkan aku dan Alona tetap bersama menjaga hubungan ini sampai nanti kami benar-benar mampu memutuskan kemana kita akan membawa hubungan ini, aku mencintainya, Tuhan." Kenzo mengusap wajahnya dengan kasar.     

Baru kemudian dia di kejutkan oleh salah seorang teman kerjanya yang juga menaiki gedung itu.     

"Oh, Ken! Kau disini?" tanya temannya itu.     

"Iya, aku sedang cari angin," jawab Kenzo sekenanya. Dan itu membuat temannya langsung mentertawainya.     

"Hahaha, cari angin? Sungguh? Hmm…" sahut temannya itu lagi sembari menatap penuh tanda tanya wajah Kenzo yang terlihat jelas. Mungkin dia pikir temannya itu yang sudah cukup akrab dengannya sejak awal dia bekerja, tidak akan mengetahui bahwa Kenzo sedang sedih saat ini.     

"Ah, kau mulai lagi. Jangan menggodaku, aku memang sedang ingin mencari angin saja. Air laut saat ini terlihat sangat tenang dan cuaca siang ini juga sangat cerah, jadi aku…"     

"Kau mau rokok?" tanya temannya itu sambil menyodorkan sebungkus rokok ke hadapan Kenzo.     

"Ah, tidak, makasih! Aku anti merokok," sahut Kenzo menolaknya.     

"Apa? Hahaha, wah… Kau memang berbeda, Ken! Tapi, rokok adalah salah satu obat penenang saat hati kita sedang terluka atau patah hati karena cinta. Cobalah, kau akan merasa jauh lebih baik nantinya."     

Kenzo terdiam sejenak mendapatkan desakan dari temannya itu. Namun, sejak dulu dia memang anti merokok meski beberapa kali teman-temannya di sekolah mempengaruhinya. Terlebih saat ini, dia memag sedang kalut, hati dan pikirannya memang sedang kacau balau.     

Akan tetapi, dia tidak harus menyelesaikannya dengan cara merokok. Kenzo tetap menolak tawaran temannya itu untuk merokok, dan akhirnya temannya mengurungkan niatnya untuk terus mendesak Kenzo mencoba untuk merokok dengannya.     

"Katakan, Ken! Kenapa denganmu hari ini? kau terlihat sedang ada masalah besar, apakah kau sedang putus cinta? Hahaha…" goda temannya itu sambil menghisap ujung rokok yang sudah dia nyalakan sebelumnya.     

"Apakah terlihat begitu jelas?"     

"Hahaha, sangat jelas. Kita sama-sama laki-laki, ketika seorang laki-laki sedang patah hati, hanya teman laki-lakinya pula yang bisa memahami dan mengenali raut wajahnya."     

"Huh, sok tahu kamu ini!" balas Kenzo masih berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya memang terjadi.     

"Ken, kau ini laki-laki. Kau juga pintar dan selalu mendapat pujian dari atasan, gajimu bagus. Lalu apa lagi? Jangan hanya karena putus dari satu wanita lantas membuatmu bersedih dan terpuruk, putus cinta bukan berarti akan berakhir dari semuanya, Ken!" ujar temannya itu menasehatinya.     

"Sory, Man! Aku bersedih bukan karena putus dari pacarku, aku hanya merindukannya saja." Kenzo membantah ujaran temannya itu, seakan dia takut hal itu memang akan terjadi padanya. Dia tidak ingin putus atau membiarkan hubungannya sampai putus dengan Alona begitu saja, itu tidak akan!     

Kenzo menegaskan di dalam hatinya bahwa setelah ini akan baik-baik saja, dia hanya perlu meyakinkan lagi pada Alona untuk tetap berjuang bersama mempertahankan hubungan yang sudah berjalan cukup lama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.