The Lost Love

Sebagai tulang punggung



Sebagai tulang punggung

0Hari terus berjalan, kini Alona sudah tiga hari berada di kota. Di hari pertamanya bekerja sebelumnya, dia mendapat sambutan yang ramah dan teman-teman yang baik juga tentunya di tempatnya bekerja saat ini. Meski sudah tiga hari berlalu, dia masih saja merasa terkagum-kagum dan terus mengucap syukur karena akhirnya dia bisa mewujudkan impiannya bekerja di hotel mewah di bagian room service meski dia seorang wanita.     
0

Dengan gigih dan penuh kebahagiaan dia menceritakan hal itu pada Kenzo yang selalu setia menanti kabarnya. Kenzo sudah tampak dan terdengar baik-baik saja saat ini, berbeda dengan di hari sebelumnya, hari dimana awal Alona tiba di kota besar. Tentu akan menjadi hari yang berat bagi Kenzo begitupun dengan Alona, namun perlahan dia mulai menyadari bahwa ini hanya soal jarak dan waktu yang masih akan mampu mereka tempuh.     

"Nak, bapak harus pulang. Bapak lihat kau sudah mulai nyaman dan bisa beradaptasi di kota yang besar ini. Sebentar lagi adikmu sudah akan kembali masuk sekolah, kami harus pulang ke rumah, apakah kau tidak apa kami tinggalkan?" ayah Alona mengajaknya bicara setelah Alona baru pulang bekerja.     

"Bapak, aku tidak apa. Aku akan baik-baik saja, disini masih ada kakak sepupu yang setiap saat akan mendatangiku. Bapak dan Aleea pulanglah, esok! Aku akan baik-baik saja, tenanglah!" sahut Alona dengan penuh keyakinan dan menunjukkan semangatnya yang berapi-api bahwa dia sungguh akan baik-baik saja.     

"Kakak…"     

"Aleea, ingat pesan kakak!"     

Adik Alona mengangguk pelan begitu Alona mengingatkan pesannya sebelum mereka sampai di kota besar bersama.     

Sesaat kemudian, mereka melanjutkan makan malam bersama. Sesekali mereka saling bersenda gurau seperti biasanya untuk menghilangkan kesedihan sejenak sebelum esok dia akan berpisah jauh.     

Alona sendiri memilih untuk tinggal di kamar kost untuk membuat dirinya nyaman dan tanpa rasa canggung meski sebelumnya sepupunya itu menahannya agar Alona lebih baik tinggal bersamanya. Akan tetapi, Alona menolak lantaran tak ingin membuat susah dan lebih berhutang budi padanya. Alona benar-benar ingin hidup mandiri dan dia yakin bisa melewati serta menjalaninya.     

Beruntungnya lagi, Alona dalam waktu yang singkat Alona sudah mulai akrab dengan penghuni kost lainnya di sekitarnya kali ini. Sehingga dia tidak merasa takut dan canggung lagi, dengan begitu sang ayah dan adiknya tampak lega melihat orang-orang baik di sekeliling Alona.     

Malam pun kian larut, Alona duduk di teras sendiri menatap langit malam ini. Langit gelap tampak terang dengan sinar bulan purnama yang begitu terang benderang malam ini, suasana kost sudah tampak sepi karena sebagian dari mereka adalah para pekerja. Ada pula yang entah kemana perginya saat malam semakin larut, beberapa kali Alona pernah memergoki salah satu penghuni kost di sekitarnya.     

"Alona, kau belum tidur, Nak?" tanya sang ayah menghampirinya.     

"Bapak, kupikir bapak sudah tidur?" sahut Alona membalikkan tanya.     

"Bapak belum bisa tidur," sahutnya lagi sambil duduk di dekat Alona.     

"Mau kubuatkan minuman hangat, Pak?"     

"Tidak, tidak perlu. Bapak hanya ingin duduk disini menatap langit yang sama sepertimu, bapak lihat barusan kau tersenyum sendiri menatap bulan itu."     

"Hem, Alona hanya senang sekali bisa menatap bulan purnama yang begitu sempuran malam ini."     

Ayah Alona menatap wajah putrinya dengan lekat. Sedang Alona kembali menatap langit nan jauh di sana.     

"Alona, berjanjilah pada bapak bahwa kau akan bersungguh-sungguh disini dan kau akan baik-baik saja selama jauh dari bapak. Jangan salah dalam memilih teman untuk bergaul, tetaplah menjadi anak bapak seperti saat kau di rumah, bersama bapak!"     

Alona menoleh seketika saat ayahnya berkata demikian, seolah itu benar-benar sebuah permohonan yang sungguh-sungguh padanya.     

"Bapak, Alona berjanji. Tapi bapak juga harus janji, selama jauh dari Alona, bapak harus tetap jaga kesehatan dan jangan bersedih, Alona disini akan baik-baik saja dan tidak akan berbuat macam-macam sehingga membuat bapak kecewa nantinya," sahut Alona sembari meraih kedua tangan ayahnya dengan erat.     

"Nak, kau adalah harapan besar bapak. Maafkan bapak sudah membuatmu menanggung semua ini sendirian," sahut sang ayah disertai dengan tangisan.     

"Bapak, kenapa bapak menangis? Tidak, Pak! Jangan menangis seperti ini, Alona sungguh tidak apa-apa, Alona ikhlas dan sangat senang menjalani ini semua."     

"Bapak sangat sedih, kau tidak bisa melanjutkan pendidikanmu ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang kamu impikan."     

"Ayolah, Pak! Apakah bapak tahu, impianku yang sebenarnya ialah untuk membahagiakan bapak dan adik."     

"Bapak mengerti, itulah kenapa bapak sungguh takut kau berada jauh dan suatu hari kau harus menikah nantinya dan itu membuat bapak takut untuk melihat serta menerima siapa yang akan menjadi calon suamimu nanti. Bapak hanya berharap, suatu hari kau akan bertemu dengan laki-laki yang benar-benar menjadikanmu seorang ratu yang selalu bahagia, karena sejak kecil bapak tidak pernah memberikanmu kebahagiaan yang sempurna.     

Aku rasa aku sudah menemukan siapa seseorang itu, Pak. Hanya saja aku belum berani memperkenalkannya pada bapak, itu butuh waktu dan keberanian.     

Gumam Alona di dalam hatinya.     

"Bapak, sudahlah! jangan membicarakan hal yang membuat Alona jadi malu, menikah apaan? Itu bahkan tidak terlintas sedikitpun di dalam pikiranku, Pak!"     

Sang ayah tersenyum ketika melihat putrinya tersipu malu lalu memeluknya dengan erat.     

"Hah, putri sulungku sudah dewasa."     

Alona memeluk tubuh sang ayah yang semakin hari semakin bertambah tua.     

Tiba esok hari, Alona menahan tangisannya untuk membiarkan sang ayah dan adiknya pergi meninggalkannya sendiri hidup di kota. Begitupun ayah dan adiknya yang saat ini sudah tidak bisa lagi menahan kesedihannya dan akhirnya pun menangisi Alona sebelum mereka benar-benar meninggalkan Alona sendirian.     

"Paman titip Alona, jika kau tidak keberatan sesekali kau jenguk dan temani dia disini," ujar sang ayah pada keponakannya, sepupu Alona.     

"Paman, tenanglah! Alona sudah dewasa, dia bahkan akan mampu mengurus dirinya sendiri. Dia bahkan akan marah jika aku sering menemaninya disini, dia pasti akan berpikir aku masih menganggapnya anak kecil, iya bukan?"     

Semua tergelak tawa saat sepupu Alona menjawabnya dengan candaan untuk menggoda Alona agar dia tidak terlarut dalam kesedihan.     

Begitu ayah dan adiknya sudah berlalu pergi dan diantar oleh sepupunya, dia menahan tangisannya agar tidak berlinang kembali.     

"Aku harus kuat! Aku harus membanggakan ayah dan adikku, juga Kenzo! Mereka semua sudah berusaha menahan diri untukku disini. Dan aku juga harus bisa menahan diri selama disini, dengan begitu mereka tidak akan turut sedih nantinya." Alona berucap sendiri di balik pintu kamar yang dia jadikan sandaran kali ini.     

Jam sudah menunjukkan dimana dia akan memulai kembali kegiatannya dalam pekerjaan. Dia bergegas membasuh wajahnya kembali agar terlihat tetap segar dan penuh semangat. Sebelumnya dia mengirim pesan singkat pada Kenzo sambil mengenakan seragam kerjanya. Hari ini dia akan lebih semangat memulai pekerjaannya, demi orang-orang yang disayangi dan dia cintai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.