The Lost Love

Jika itu yang terbaik!



Jika itu yang terbaik!

0Setelah memastikan Via, sepupu Alona. Pergi jauh dan tidak menampakkan bayangan batang hidungnya lagi, baru lah Alona melepas napas panjang.     
0

"Jadi, apakah kita akan bersembunyi lagi? Hihihi…" goda Kenzo padanya.     

"Ih, apaan sih? Sembunyi apaan?" balas Alona sedikit cemberut.     

Kenzo tertawa geli melihat tingkah Alona. Lalu kembali menarik tangannya untuk di genggam kemudian melanjutkan langkah mereka menikmati suasana sore di keramaian taman kota.     

"Ken, maafkan aku! Tadi, aku… Aku tidak bermaksud untuk tidak mengakuimu sebagai pacarku di depan Via, tapi…"     

"Aku mengerti, tidak perlu minta maaf begitu. Lain kali, kita bisa mengakuinya dan bercerita padanya," balas Kenzo menyela dengan senyuman.     

Dan aku tidak tahu itu kapan, Ken. Sebentar lagi, aku dan kamu akan berada dalam jarak yang cukup jauh!     

Gumam hati Alona.     

"Kita duduk disana aja, ayo!" ajak Kenzo sambil menunjuk ke arah depan, dimana disitu hanya ada satu pohon yang cukup rindang terlebih lagi tempat itu cukup sepi dari para pengunjung di taman.     

Alona mengangguk menuruti langkah Kenzo dari belakang setelah sedikit terkejut karena terbawa suasana hati.     

"Hah, tempat ini sepertinya sedikit aman dan jauh dari perhatian banyak orang. Ayo, kita datang kesini lagi nanti saat bertemu kembali. Ini tempat cukup sejuk, ehm… Tapi, kenapa selalu saja bertemu dengan pohon yang rindang saat bersama denganmu?" ujar Kenzo mulai banyak bicara sambil menggoda Alona yang kini duduk di sisinya. Menatap lekat wajah elok wanita yang dicintainya itu.     

"Ken…" panggil Alona dengan ragu-ragu.     

"Ya?" jawab Kenzo dengan sigap menarik alisnya ke atas.     

"Emh… Apa rencanamu saat sudah lulus nanti? Apa kau… Akan melanjutkan pendidikan ke universitas?" tanya Alona dengan terbata-bata.     

Ada apa dengannya sore ini? Dia terlihat berbeda, aku melihat kebimbangan dan kesedihan dari kedua tatapannya.     

"Ehm, aku… Aku memutuskan untuk melanjutkan usaha ayahku di kedai kopi. Bersama kakakku, sebentar lagi dia akan wisuda. Jadi, aku memutuskan untuk membantunya saja," jawab Kenzo sekenanya. Masih dalam posisi menatap wajah Alona dalam-dalam.     

"Oh, sayang sekali. Kupikir kau akan melanjutkan untuk pergi kuliah," sahut Alona menundukkan wajahnya.     

"Ya… Kemungkinan itu nanti, aku ingin kuliah dengan biaya jerih payahku sendiri. Sudah cukup bagiku ayah berjuang selama ini, untuk membiayai sekolahku dan kuliah kakakku. Akhir-akhir ini, tampaknya beliau sudah butuh istirahat total."     

"Ehm, begitu…" sahut Alona kembali dengan nada suara yang berat.     

"Bagaimana denganmu, Yank?" tanya Kenzo sambil tersenyum manis dan mengerlingkan matanya menggoda Alona.     

"Aku…" ucapan Alona terhenti begitu saja.     

Perlahan Kenzo meraih kedua tangan Alona lalu di genggamnya dengan erat serta mengecup punggung tangan Alona dengan hangat.     

"Katakan, ada apa? Kau terlihat sedang menahan sesuatu sejak tadi, ada apa?"     

"Ken, bagaimana menurutmu tentang pacaran jarak jauh? Apakah itu sebuah tantangan atau justru awal dari perpisahan?" tanya Alona dengan suara yang terdengar parau.     

"Eng?" Kenzo sedikit terkejut dan menarik kedua ujung bibirnya yang sejak tadi selalu mengulas senyuman lebar.     

Alona sendiri tampak menatap lekat kedua mata Kenzo.     

"Woah, pertanyaan apa ini? Ehm, biar aku tebak. Apa kau akan pergi kuliah di luar kota?" tanya Kenzo berusaha tetap santai meski dalam hatinya sudah mulai campur aduk.     

Alona menggelengkan kepalanya.     

"Ah, bukan. Lantas?" tanya Kenzo sambil mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Alona yang kini masih menunduk.     

"Ken, sejak dulu aku selalu bermimpi untuk bisa bekerja di hotel bintang lima. Sesuai jurusanku di sekolah, aku selalu berkhayal suatu hari aku akan bisa pergi ke luar negeri dengan hasil jerih payahku sendiri, aku ingin kuliah disana." Alona menghentikan sejenak celotehnya.     

"Lalu?" tanya Kenzo kembali agar Alona meneruskan bicaranya. Bahkan kini Kenzo merubah posisinya dengan menatap wajah Alona, dengan memangku dagunya dengan kedua tangannya.     

"Beberapa waktu yang lalu, kakak sepupuku datang dari luar kota. Dia menawarkan posisi yang aku inginkan di sebuah hotel berbintang di luar kota, dan aku…" lagi dan lagi Alona tidak bisa melanjutkan bicaranya. Saat ini dia terlihat sedang menahan sesak di dalam dadanya.     

Dalam hati Kenzo terasa kosong, tatapannya begitu hampa. Entah dia harus berkata apa begitu mendengar semua ucapan yang Alona katakan sejak tadi.     

Ini bukan sebuah kata yang diucapkan untuk mendapatkan solusi. Akan tetapi, ini sebuah paksaan yang mendorongku untuk mendukung apa keinginanmu saat ini, Alona.     

"Ken…" panggil Alona dengan wajah sedih.     

Kenzo tersenyum tipis dan menarik nafasnya dalam-dalam.     

"Jika itu yang terbaik, lakukan saja! Aku akan mendukungmu apapun itu pilihanmu," sahut Kenzo dengan nada parau.     

Disamping dia terkejut, hatinya juga cukup berat merelakan bagaimana setelah ini dia akan menjalin hubungan jarak jauh untuk yang pertama kalinya.     

"Apakah aku mampu berada jauh darimu, Ken? Apakah hubungan kita nantinya sungguh akan tetap terjaga indah seperti saat ini, Ken? Lalu bagaimana nanti saat aku mer…"     

"Sssstttt…" Kenzo menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Alona sehingga seketika Alona menghentikan ocehannya dan menatap Kenzo dengan kedua mata berkaca-kaca.     

"Apa yang kau katakan? Kenapa kau begitu takut? Sedangkan aku mendukungmu, Alona. Aku akan menerima keputusanmu jika kau akan memilih untuk pergi ke luar kota demi pekerjaan itu. Itu berarti, aku akan tetap mencintaimu dan setia padamu tak peduli meski kita berada di jarak yang begitu jauh, kau harus mengejar impianmu itu. Kesempatan tidak akan datang dua kali, kau harus menjalaninya. Hem?" Kenzo berbicara panjang lebar seolah mengeluarkan segala apa yang kini ada di dalam hati dan pikirannya meski dia sulit untuk mengatakannya.     

Dua bulir bening yang sejak tadi sudah membendung tertahan di kedua ujung mata Alona kini terjatuh membasahi pipinya.     

Dia tidak menduga Kenzo akan mendukung pilihannya. Meski dia belum menjawab bahwa dia harus memilih untuk menerima pekerjaan itu, demi ayah dan adiknya yang kini akan memasuki sekolah menengah atas.     

Kenzo menahan sejenak nafasnya dan mengatup rapat kedua bibirnya seraya mengusap air mata Alona. Tanpa aba-aba lagi, Alona memeluk tubuh Kenzo dengan sangat erat.     

Kenzo berusaha mengulas senyuman semanis mungkin untuk menutupi hatinya yang sebenarnya pun sangat sedih. Dia membalas pelukan Alona dengan hangat, dan mengelus lembut rambut lurus Alona yang terurai begitu rapi.     

"Aku akan selalu mendukung apapun itu keputusanmu untuk masa depanmu, Alona. Jujur, aku takut. Akan tetapi, kau pun memiliki masa depan dan harapan yang harus kamu wujudkan, aku akan menerima itu."     

"Kau sangat baik, Ken. Kau pikir aku tidak takut untuk jauh darimu? Aku pun mulai dihantui dengan banyak bayangan buruk tentang hubungan kita," ujar Alona sesenggukan dalam pelukan Kenzo.     

Diam-diam Kenzo menahan air mata yang berusaha dia bendung. Kelemahannya itu tidak bisa di sembunyikan, bahwa dia akan selalu merasa bersedih melihat seorang wanita menangis dalam pelukannya, terlebih saat ini ialah wanita yang dicintainya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.