The Lost Love

Setia itu mahal!



Setia itu mahal!

0"Sayang, maafkan aku jika kali ini aku salah. Eh tidak, yah… Aku yang salah!" ucap Kenzo pada Alona dengan penuh rasa bersalah di dalam hatinya.     
0

"Ken, apa kau tahu arti setia yang sesungguhnya?" tanya Alona lirih.     

"Alona…" Kenzo serasa kehabisan kata-kata.     

"Setia itu bukanlah hal yang mudah dilakukan ketika dua pasangan berada di jarak jauh. Jika kamu bisa melakukannya dari hal terkecil saja, maka itu akan menjadikanmu istimewa, dan membuatmu menjadi sesuatu yang mahal."     

Kenzo ingin membantah nya namun, tenggorokannya terasa mencekiknya. Perkataan Alona begitu dalam hingga terasa ke relung hatinya.     

Kenzo mulai mengerti jika Alona memiliki rasa cemburu akan kedekatannya dengan Maya, tak peduli sekeras apa dia menjelaskan akan hubungannya dengan Maya.     

Kenzo kemudian tersenyum, dia merasa jika Alona sungguh-sungguh mencintainya. Bukankah cemburu artinya takut kehilangan? Takut kehilangan itu bukankah karena cinta?     

"Aku mencintaimu, Alona. Aku merindukanmu, andai saja kau memintaku datang menghampirimu detik ini, aku akan melangkah ke dekatmu, aku akan memelukmu, dan mengatakan aku sangat sangat sangat mencintaimu, hanya kamu!"     

Mendengar hal itu, amarah Alona sedikit mereda. Dia mulai tersenyum diam-diam di seberang sana, detak jantungnya berdebar bukan lagi karena marah, namun ada cinta dan rindu yang mendalam disana.     

"Maafkan aku, Ken! Aku terlalu berlebihan, aku hanya…"     

"Kau takut kehilanganku, begitupun aku! Dan ku harap setelah ini, Tuhan tidak memberikanku karma. Aku sangat takut kau akan membalasku dengan cara yang sama. Laki-laki di sana tentu sangat tampan dan mapan serta jauh lebih berpendidikan dibanding denganku yang hanya seorang pelayan kedai kopi," sahut Kenzo begitu saja.     

"Dan sayangnya, aku hanya menyukai pelayan kedai kopi itu!"     

Kenzo membelalakkan kedua matanya, lagi dan lagi dia menjadikan bantal sebagai korban pelampiasannya setiap kali mendengar Alona berkata manis untuk menggombalinya.     

Hingga malam pun kian berlarut, mereka memutuskan untuk menghentikan obrolan karena mereka sama-sama berada dalam kelelahan dan sangat mengantuk.     

~     

Seiring waktu berjalan, menjelang waktu dua bulan lamanya, ayah Kenzo mengajak untuk berkunjung ke rumah sang nenek, bertepatan saat putra pertama mereka sudah tiba dan berkumpul kembali dengan mereka.     

Sementara hubungan Alona dan Kenzo sudah kembali membaik, dengan hal itu saja sudah cukup membuat Kenzo lebih semangat serta berhati-hati untuk tidak membuat Alona kembali merasakan cemburu yang berat.     

Sejak malam itu, Kenzo seakan memaku pesan dan perkataan Alona di dalam lubuk hatinya bahwa setia itu mahal.     

"Ken, kau sudah siap?" tanya sang ibu menghampirinya di kamar.     

"Oh, sudah, Bu. Lagipula kami hanya tiga hari saja di rumah nenek, 'kan?" jawab Kenzo.     

"Hem, bisa saja nenekmu menahanmu untuk lebih lama tinggal disitu."     

"Maka aku akan tinggal saja, bersama ayah. Hehe," sahut Kenzo menjahili ibunya.     

"Eh, mana bisa begitu? Ayahmu tidak boleh lama-lama disitu. Ibu akan sangat merindukannya, rindu itu berat."     

"Hahaha, ibu… Oh Tuhan, aku geli mendengarnya." Kenzo cekikikan menahan tawanya.     

"Hem, paling-paling kamu tidak akan dibolehkan untuk kembali ke rumah ini lagi, Ken!" sahut sang kakak ikut menyambungkan omongan.     

"Dih, apaan? Kagak! Andai itu terjadi, aku akan mengusulkan kakak saja yang tinggal disana bersama nenek, hehe…" balas Kenzo seakan tidak mau kalah.     

"Hem… Yakin? Wanita-wanita disana cantik-cantik tahu tidak? Kau bersiap-siap saja kena pasal perjodohan begitu tiba di rumah nenek nanti," ledek sang kakak kembali.     

"Bu… Apa benar begitu? Sejak kapan? Sudah beberapa kali aku pergi ke rumah nenek tapi…"     

"Aduuuh, kau ini! Mau saja di kerjain kakakmu, dia hanya bercanda."     

Kenzo melirik tajam ke arah sang kakak.     

"Wah, kalian ngumpul disini. Pantas saja, huh… Kami hanya tiga hari saja, tapi kenapa kalian terlihat seolah kami akan pergi berbulan-bulan lamanya?" sang ayah pun muncul menghampiri dan berdiri di pintu bersama putra sulung mereka.     

"Cih, dasar!" balas sang istri mendesis manja.     

Setelah semuanya siap, Kenzo segera keluar bersamaan dengan sang ayah. Menyalakan mesin motornya dahulu sebelum mereka menaikinya.     

"Hati-hati di jalan, Pak! Kalau lelah, suruh Kenzo yang mengendarai motornya. Oke," ucap ibu Kenzo pada suaminya.     

"Iya, Bu. Kau terus saja mengulang ucapan itu sejak malam tadi, kami akan hati-hati di jalan. Tolong, jangan terlalu lelah di kedai nanti," jawab ayah Kenzo.     

"Tenang sana, Ayah. Aku yang akan mengurus semuanya, dan ibu tidak akan kelelahan," sahut si sulung penuh percaya diri.     

Ayah Kenzo tersenyum lantas mereka berpamitan dan berlalu pergi dari halaman rumah mereka. Kini hanya tinggal ibu Kenzo dan sang kakak yang hanya tinggal berdua saja di rumah.     

Sepanjang perjalanan, beberapa kali mereka berhenti untuk sekedar melepas lelah dan meregangkan otot-otot mereka agar tidak kaku ada satu titik saja.     

"Ken, apa kau senang menikmati perjalanan yang melelahkan ini?" tanya sang ayah ketika mereka berhenti di dekat persawahan untuk sekedar melepas dahaga.     

"Ini lebih menyenangkan dari mengendarai mobil ayah, aku lebih suka menaiki motor seperti ini," jawab Kenzo sambil melihat sekeliling persawahan yang sejuk nan menghijau.     

Selama ini, mereka biasa menggunakan mobil saat menuju rumah sang nenek karena sang istri dan putri sulung mereka ikut bersama.     

"Ayo, kita lanjutkan lagi?" tanya sang ayah pada Kenzo setelah melihat Kenzo tampak puas memotret sekitar persawahan.     

"Ayo, Yah! Sebelum nanti kita kemalaman sampai di rumah nenek," sahut Kenzo mengiyakan.     

"Tunggu, Ayah. Kali ini, biar Kenzo saja yang mengendarai motor di depan. Ayah bonceng di belakang, ayah jangan sampai kelelahan."     

Ayah Kenzo tersenyum ketika mendengar tawaran Kenzo yang begitu memperhatikannya.     

"Baiklah, ayo… Ayah akan memberikanmu kesempatan mengimbangi kecepatan seorang pembalap!"     

"Hahaha, ayah. Ingat pesan ibu," jawab Kenzo menggoda ayahnya sambil menaiki motor.     

Lalu kemudian mereka melaju kembali, melanjutkan perjalanan yang masih cukup jauh untuk sampai di rumah sang nenek.     

Sebelum melanjutkan perjalanan tadi, Kenzo mengirim pesan pada Alona. Dia mengirim potret tentang pemandangan indah yang baru saja dia abadikan di ponselnya, dia juga menceritakan perjalanannya yang seru bersama sang ayah. Hanya berdua saja, untuk pertama kalinya.     

Dua jam kemudian, Kenzo dan sang ayah sudah mulai memasuki sebuah pedesaan tempat tinggal sang nenek. Kenzo menghirup dalam-dalam udara pedesaan itu, suatu pedesaan yang sudah lama dia tidak datangi.     

"Hemm… Desa ini masih tetap sama ya, Ayah?"     

"Iya, Nak. Selalu bersih, sejuk dan asri. Wah, nenekmu pasti sudah tidak sabar menunggu kedatangan kita dengan segala wejangannya," jawab sang ayah dengan senyuman kebahagiaan nan ceria.     

Ayah Kenzo tampak bahagia karena sudah lama dia tidak bersua dan berkumpul dengan sang ibu, nenek Kenzo. Dia begitu sibuk semenjak membuka usaha kedai kopi.     

Hanya sesekali dia datang bersama keluarga saat hari libur sekolah Kenzo, sama halnya dengan saat ini. Karena selalu sulit mengatur waktu luang bersama Kenzo untuk sampai di desa itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.