The Lost Love

Matahari terbit



Matahari terbit

0Tiba di rumah sang nenek, Kenzo dan ayahnya disambut penuh suka cita dan kebahagiaan hingga membuat sang nenek begitu terharu memeluk Kenzo dan ayahnya.     
0

"Akhirnya aku bisa melihat dan memeluk kalian lagi," ujar sang nenek.     

"Maafkan kami, Bu. Kami baru menyempatkan diri untuk datang kemari menemui ibu dan ayah," sahut ayah Kenzo.     

"Nenek, kakek… Kalian tampak awet muda, hehe…" Kenzo memulai kejahilannya.     

"Kau ini… masih saja jahiiil," ujar sang nenek mencubit gemas pipi Kenzo.     

"Ken, kemari…" panggil sang kakek.     

"Wo ho ho, tidak bisa! Kali ini aku tidak akan tertipu lagi sama kakek, hahaha…"     

Mereka tergelak tawa bersama sambil memasuki rumah mereka.     

Kedatangan mereka pun akhirnya sampai ke telinga saudara yang lain, yang ada dan tinggal di desa itu. Dalam waktu satu jam saja, Kenzo tampak terkejut melihat beberapa saudara berhamburan datang.     

"Ken, kau pasti memakan pupuk penyubur tanaman, hahahaa… Kau tumbuh begitu tinggi dan besar, juga tampan. Andai saja kau mau menjadi menantu kami, hihihi…" ucap salah seorang istri dari saudara ayah Kenzo.     

"Eng?" Kenzo tampak terkejut dan kikuk di perkumpulan keluarga kali ini.     

"Hahaha… Jangan begitu, istriku. Kasihan nak Kenzo, lihat! Wajahnya sampai merah begitu." sang suami dari wanita tadi ikut menggoda Kenzo.     

Apa-apaan ini? Mereka membuatku malu saja.     

Guman hati Kenzo.     

Malam pun datang, ayah Kenzo melakukan panggilan video ada Putra sulungnya untuk memastikan kegiatan mereka di kedai.     

"Kami baik-baik saja disini, Pak! Putra sulung kita dalam sekejap sudah bisa menyeduh kopi andalan kita disini," ujar sang istri, ibu Kenzo. Menerangkan keadaan di kedai yang cukup ramai malam ini.     

Lantas obrolan mereka berlanjut, mengobrol dengan kedua orang tua ayah Kenzo hingga obrolan mereka harus dihentikan karena di Kedai cukup ramai.     

"Bu, jangan terlalu lelah!" ucap sang suami sebelum menutup panggilan teleponnya.     

"Iya, Sayang! Bersenang-senanglah di rumah ibu," sahut sang istri lalu mematikan panggilan.     

Sementara Kenzo dan sang ayah menikmati kebersamaan dengan nenek dan kakek yang mereka rindukan selama ini, di kedai kopi ibu Kenzo dan sang kakak begitu sibuk melayani para pelanggan yang terus bertambah dan berdatangan.     

"Nak, kau antar kopi ini ke meja itu!" titah sang ibu pada si sulung.     

"Baik, Bu."     

Lantas ibu Kenzo kembali menyeduh kopi pesanan pelanggan baru yang lima menit tadi datang lalu duduk di pojok ruangan, sendiri.     

"Ini, kopinya, Tuan!" ujar ibu Kenzo sambil meletakkan secangkir kopi di atas mejanya.     

Pelanggan itu tersenyum. Usianya sekitar 45 tahun, namun masih terlihat segar bugar.     

Ibu Kenzo dengan santun menanggapi dan hendak pergi dari hadapannya. Namun, pelanggan itu menghentikan langkahnya.     

"Tunggu sebentar!"     

"Ya, ada apa? Ada tambahan lagi, Tuan?" tanya ibu Kenzo.     

"Saya mendapatkan rekomendasi dari teman saya bahwa kopi disini sangat nikmat dan aroma serta rasanya berbeda dari kopi biasa yang pernah saya cicipi," ujarnya memuji.     

"Oh, ya? Ehm, terimakasih banyak, Tuan!" jawan ibu Kenzo.     

"Panggil saja saya Anton, jangan memanggil saya dengan sebutan formal begitu."     

Ibu Kenzo tampak masih kebingungan. Dilain sisi, si sulung melihatnya dari kejauhan dan langsung saja melangkah menghampiri ibunya.     

"Bu…" panggil si sulung. Membuat orang itu terkejut, mengerjapkan kedua matanya.     

"Nak, emh… Kau sudah selesai antar pesanan tadi?" jawab sang ibu mengalihkan ketika melihat si sulung menatap tajam ke arah Anton yang tersenyum ramah padanya.     

"Sudah, Bu! Ayo kita kembali ke belakang!" ajak si sulung kemudian menarik tangan sang ibu untuk jauh dari Anton.     

Sang ibu menurut dan tiba di ruangan berbeda, sang ibu melepaskan cengkraman tangan putra sulungnya.     

"Bu,"     

"Hei, biarkan ibu dulu yang menjawab serta menjelaskan apa yang akan kamu tanyakan!" jelas sang ibu menyela bicara si sulung.     

Si sulung pun tampak tertegun dan menunggu sang ibu akan berbicara apa kali ini.     

"Nak, jangan salah paham! Walau bagaimanapun, kita disini sebagai pedagang, harus ramah sama pembeli terutama pelanggan baik itu yang dekat maupun yang jauh."     

"Tapi laki-laki itu menatap ibu sejak tadi, aku laki-laki dia juga laki-laki. Jadi, jangan menebar senyuman sembarangan selagi tidak ada ayah disini."     

"Nak, jangan begitu ah! Sudah, ayo kita bekerja lagi.     

Si sulung mengangguk meski sesekali dia mengintip di balik ruangan untuk melihat laki-laki yang menggoda.     

Sedang di desa, tak peduli meski dimana saat ini tinggal, Kenzo masih saja menghabiskan waktu bersama dalam obrolan via telepon setelah Alona sampai di kamar kostnya.     

Menjelang pagi tiba, Kenzo sudah lebih dulu bangun sebelum matahari terbit mengindahkan suasana pagi ini. Dia ingin berkeliling menyambut pagi ini yang terasa sangat sejuk, Kenzo pergi mengenakan jaket hoodie yang sebelumnya sengaja dia bawa untuk dia kenakan selama di desa karena dia tau di desa sangat sejuk dan juga dingin hingga terasa sampai menusuk ke tulang.     

Pagi ini Kenzo berkeliling desa sengaja dengan berjalan kaki sekaligus olahraga. Banyak di antara remaja, muda dan mudi yang melakukan aktivitas pagi dengan berolah raga ringan seperti yang Kenzo lakukan saat ini. Mereka berlari-lari kecil mengelilingi desa.     

Kenzo melakukan aktivitas lari pagi seraya mengenakan earphone di telinga dengan musik-musik bernuansa pop and jazz untuk menemaninya berjalan-jalan sendiri. Hingga langkah kakinya tiba di suatu lapangan yang begitu luas dimana terdapat banyak anak kecil, wanita remaja dan laki-laki juga sedang melakukan olah raga ringan disana.     

Pandangan Kenzo berkeliling melihat ke setiap pojok di lapangan itu hingga pandangannya terhenti pada seorang gadis yang sejak tadi mungkin memperhatikannya. Begitu mata mereka saling bertemu, tampak gadis itu salah tingkah. Lalu kemudian Kenzo mengacuhkannya, sesaat kemudian lagi Kenzo melihat ke arah gadis itu lagi dan masih tetap sama, gadis itu diam-diam memperhatikan Kenzo.     

"Ada apa dengannya?" ujar Kenzo bertanya sendiri.     

Lalu kemudian gadis itu mendadak menghilang entah pergi kemana ketika Kenzo melihatnya kembali. Kenzo berusaha melihat dan mencari-cari ke setiap sudut lapangan itu, namun tetap tak terlihat karena kini semakin banyak saja yang datang di lapangan itu tentu untuk melakukan olah raga pagi.     

Matahari mulai terbit dan meninggi satu jengkar tangan, kembali Kenzo mengabadikan momen indah di desa pagi itu. Lantas dia mengirimnya pada Alona dengan ucapan selamat pagi, Kenzo tersenyum malu-malu sendiri membayangkan bagaimana reaksi Alona ketika membaca pesan itu.     

"Sebelumnya, aku tidak pernah mengucapkan kata selamat pagi untukmu setelah hampir setahun kita berpacaran. Dan pagi ini, bersamaan dengan terbitnya matahari kuucap semoga pagimu hari ini selalu dihiasi dengan senyuman indah di bibirmu, berbalut rindu dan cintaku yang menggebu. Semoga hari-harimu selalu indah seindah matahari yang terbit di pagi hari, aku merindukanmu, Alona…"     

Pesan yang penuh dengan makna dari lubuk hati Kenzo yang terdalam dia kirimkan pada Alona pagi ini. Dia kembali membaca ungkapan itu, sejenak dia terhenti dan membelalakkan kedua matanya begitu menyadari kata puitis itu.     

"Ya ampun Tuhan, ini menggelikan! Alona pasti akan mengomeliku setelah ini, dia selalu menganggapku hanya menggombalinya dan merayunya, padahal ini ungkapan dari hati seorang Kenzo. Huh… Lima, empat, tiga, dua, satu!" Kenzo sengaja menghitung mundur untuk membuktikan apa yang akan Alona katakan setelah ini melalui pesan singkat.     

Menit berikutnya, benar saja. Alona membalas pesan itu, dengan sedikti gemetar dalam hati Kenzo membuka pesan itu.     

"Aku juga merindukanmu, Ken! I Love You." Dengan emoji tanda love di akhirnya.     

Sontak Kenzo melompat tinggi di tempat seraya berseru riang, "Huhhuy… emmuach, emmuach…" ujarnya seraya menciumi layar ponselnya dengan gemas. Dia hanya membayangkan bahwa Alona kini berdiri di depannya dengan senyuman yang menggetarkan hatinya.     

Sedang di tempat yang berbeda, di kejauhan sana. Alona tersipu malu sampai menggigiti ujung jarinya setelah membaca pesan singkat dari Kenzo pagi ini, dari sikap Kenzo yang meski terlalu sering menggombalinya namun, kali ini entah kenapa terdengar begitu manis ungkapan itu.     

Hingga detak jantung Alona berdetak semakin kencang dan wajahnya bak kepiting rebus dengan senyuman menggemaskan mendekap erat ponselnya, membayangkan dia memeluk erat tubuh Kenzo yang sangat dia rindukan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.