Sukacita Hidup Ini

Puri Sang Pangeran



Puri Sang Pangeran

0

Perlombaan puisi yang diadakan di puri Pangeran Jing dan Kompetisi Puisi yang diselenggarakan oleh sang Putra Mahkota adalah dua ajang sosial terpanas di ibukota. Kedua acara ini diadakan setiap bulan dalam cuaca cerah maupun hujan. Tidak terhitung banyaknya sarjana serta penyair miskin yang berusaha untuk ikut. Mereka berharap dapat mengguncangkan dunia, menjadi terkenal dan hidup lebih makmur hanya dengan satu bait puisi saja.

0

Kemampuan sang Putra Mahkota dalam merangkai kata-kata sangat terkenal, dan meskipun Pangeran Jing adalah adik lelaki Kaisar, dia malah bertekad untuk menjadi pangeran kaya yang tidak perlu bekerja, jadi pengaruhnya tidak luas. Sebaliknya, mereka yang memiliki ambisi dan tujuan hidup tertentu, berbondong-bondong ke sisi sang Putra Mahkota.

Jika seseorang bisa mendapatkan pujian dari Pangeran Jing, reputasinya akan meningkat. Jadi tiap kali perlombaan puisi diadakan, banyak tamu akan berkumpul di rumah Pangeran Jing, yang letaknya tidak jauh dari Gerbang Shixin. Beberapa datang dengan tandu, beberapa dengan kereta kuda, dan beberapa dengan berjalan kaki, tetapi kepala pelayan memperlakukan mereka semua dengan baik. Setelah memeriksa kartu nama mereka yang datang, dia dengan hormat akan mempersilahkan mereka masuk.

Fan Xian duduk di dalam tandu dengan mual, dan wajahnya berganti-ganti warna antara hijau dan pucat pasi. Sesekali dia akan menutup mulutnya untuk menahan rasa ingin muntah.

Fan Xian datang bersama dengan adik perempuannya. Dia memilih untuk ditandu karena dia rasa itu sesuai untuk acara sastra yang megah. Fan Xian telah menghabiskan seluruh hidupnya di tepi laut di Danzhou, dan goyangan perahu tidak pernah membuatnya merasa mabuk laut. Namun entah kenapa, tandu ini membuatnya merasa benar-benar mual. Merasa gelisah, dia membuka tirai. "Seberapa jauh lagi?" dia bertanya kepada Teng Zijing.

Teng Zijing menahan untuk tersenyum. "Kita akan sampai setelah melewati persimpangan berikutnya," jawabnya.

Fan Xian mendengus dan kembali duduk. Jari-jarinya terbuka lebar seperti bunga anggrek yang mekar, dan dia menempelkan kedua ibu jari dan jari manis, memungkinkan zhenqinya keluar perlahan untuk mencuci organ-organ dalamnya dan sedikit membuang rasa mualnya, tetapi pada akhirnya dia tetap merasa pusing.

Fan Xian mengerutkan dahinya, berusaha menangani keraguan di dalam benaknya dan rasa mual yang menyerang tubuhnya. Setelah tinggal di kediaman Fan selama beberapa hari, dia merasa ayahnya memiliki cara berpikir yang sangat berbeda, dan juga ada banyak hal yang tidak bisa dia jelaskan. Seperti, mengapa ayahnya begitu peduli dengan anak haramnya? Apakah hanya karena cinta ayahnya kepada ibunya?

Fan Xian membuka tirai hijau tipis untuk menengok keluar dan melihat sosok orang-orang yang sedang menunggangi kuda. Dia tahu bahwa meskipun Teng Zijing menyukai dirinya, Teng Zijing adalah bawahan ayahnya, jadi dia tidak bisa sepenuhnya memercayainya. Dia menghela napas, merasa bahwa dia harus menemukan bawahan yang bisa dipercayai, orang seperti Wu Zhu yang mirip hantu, orang yang bisa dia perintah sesuai keinginannya.

Fan Xian benar-benar ingin tahu apa saja yang telah dilakukan ibunya di ibukota dulu; bagaimana ayahnya mengenalnya, dan ... bagaimana ibunya meninggal. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak muncul hanya karena rasa keingintahuan dan kasih sayang kepada orangtua; dia merasa bahwa dengan mengetahui masa lalunya, dia bisa mengendalikan hidupnya baik di masa kini maupun di masa depan.

Di dalam puri milik sang pangeran, di depan gerbang yang mengarah menuju taman, sekelompok sarjana membungkuk hormat kepada seorang pria muda. Mereka tidak menyangka bahwa orang yang menyambut mereka semua di gerbang pada kontes puisi hari ini adalah Pangeran Jing sendiri.

Dua tandu kecil dengan tirai hijau perlahan-lahan berjalan melewati mereka. Pangeran Jing membalas hormat dengan sedikit buru-buru kepada para sarjana. lalu lanjut bersiap untuk menyambut tamu yang ada di tandu tersebut. Pada saat itu, para sarjana menyadari bahwa mereka melakukan semacam kecerobohan, tetapi mereka berusaha agar perasaan malu tidak muncul di wajah mereka. Para sarjana itu tetap tersenyum sombong, dan dengan percaya diri mengepalkan tangan mereka untuk memberi hormat. Mereka lalu diantar ke pekarangan belakang oleh kepala pelayan.

Para pelayan yang ada di gerbang kembali memasuki kediaman sang pangeran. Mereka penasaran siapakah tamu yang disambut langsung oleh sang pangeran di gerbang?

Saat mereka melihat wanita muda dengan jaket berwarna emas dan rok sutera keluar dari salah satu tandu itu, mereka akhirnya menyadari bahwa Nona Muda dari keluarga Fan telah tiba. Dilihat dari hubungan antara keluarga sang pangeran dan keluarga Fan, serta persahabatan antara Pangeran Jing dan Nona Fan, dan betapa jarangnya Nona Fan menunjukkan wajahnya di depan umum, para pelayan merasa wajar saja bahwa Pangeran Jing sendiri yang menyambut di gerbang.

"Nona Ruoruo." Nama keluarga Pangeran Jing adalah Li, dan namanya adalah Hongcheng. Ada gosip di ibukota yang mengatakan bahwa dia sering terlihat di sekitar rumah bordil, tetapi saat berdiri di hadapan Nona Fan, Pangeran Jing tampak seperti seorang pemuda yang pemalu dan penuh hormat.

Fan Ruoruo membungkuk dan menyapa Pangeran sambil tersenyum. "Jadi, topik apa yang Ruojia pilih hari ini?"

Putra Mahkota menanggapi dengan tertawa, namun matanya sesekali melirik ke arah tandu di belakang Ruoruo. Apakah dia masih tidak akan keluar setelah sambutan itu? Para pelayan maju ke depan dan membuka tirai tandu dengan hormat ... tapi mereka terkejut, tidak ada seorang pun di dalam tandu. Semua orang yang ada di kediaman sang pangeran terkejut. Apa maksud tingkahnya ini?

Fan Ruoruo menahan tawa. "Kakakku ketinggalan," jelasnya.

Saat mereka mengobrol, mereka melihat pemuda berusia 16 tahun itu sedang berlari menyusul sambil terengah-engah dan ditemani oleh seorang ajudan. Pemuda itu mengenakan jubah berwarna merah pucat dengan kerah yang terbuka. Dia tampak agak berantakan, tetapi dengan wajahnya yang nampak bersih, orang-orang di sekitarnya merasa santai.

"Saya minta maaf, saya minta maaf." Fan Xian mengepalkan kedua tangannya dan membungkuk kepada Pangeran Jing. "Tandu yang bergoyang-goyang itu membuatku merasa pusing," dia menjelaskan dengan canggung, "jadi aku memutuskan untuk keluar dan berjalan. Tapi diluar panas sekali, jadi aku berhenti untuk minum jus buah ceri. Aku tahu aku terlambat."

"Sama sekali tidak terlambat." Pangeran Jing memandang pemuda yang dulu pernah ditemuinya sekali ini, dan merasakan ketertarikan tersendiri padanya. Sang Pangeran pun tertawa terbahak-bahak. "Yang terpenting kamu datang, Saudara Fan."

Fan Xian menyadari bahwa sang Pangeran sekarang memanggilnya dengan nama marganya, tidak seperti beberapa hari sebelumnya. Dia tidak tahu apa tujuan sang Pangeran melakukan hal itu. Dia terdiam sejenak, lalu wajahnya tersenyum. "Jus ceri di dekat kediamanmu jauh lebih enak daripada di tempat lain, jadi tentu aku harus mencobanya."

Pangeran Jing pun tersenyum. Mereka bisa berdiri di sana sambil mengobrol sepanjang hari. Dengan lambaian tangannya, ia mengantar dua bersaudara itu ke taman.

Saat di Danzhou, Fan Xian tahu bahwa adik perempuannya adalah seorang penyair yang berbakat. Meskipun syairnya cenderung agak melankolis dan terikat oleh adat menulis, tetap saja puisinya bagus. Tetapi jelas bahwa prestasinya dalam hal seni artistik masih sedikit dibandingkan dengan para pangeran dan sarjana muda yang sering menghadiri perlombaan puisi semacam itu. oleh karena itu, ketenaran Fan Ruoruo sebagai seorang penyair masih sedikit.

Jadi Fan Xian merasa sangat penasaran bagaimana kelakuan adik perempuannya pada pertemuan semacam ini, serta Putri Ruojia, yang telah menyebarkan Dream of the Red Chamber hingga dapat dijual oleh para penjual buku ilegal dengan harga terlewat murah.

Tetapi begitu dia mengikuti Pangeran Jing ke pekarangan belakang, dengan melewati koridor-koridornya yang berliku dan air yang mengalir dari pancuran, dia menyadari bahwa di negara yang tampaknya tidak ada batasan ini, masih ada pemisahan antara pria dan wanita. Para wanita duduk di sebuah paviliun di seberang danau. Paviliun tersebut dihiasi dengan kain sutra tipis berwarna putih yang menggantung dan bergoyang-goyang tertiup angin.

Sedikit merasa kecewa, Fan Xian mengikuti sang Pangeran ke tepi danau. Saat dia melihat sutera yang melayang-layang di kejauhan, dia teringat Stephen Chow, seorang sutradara dan aktor yang sangat dia sukai di kehidupan masa lalunya. Dia menghela napas dalam-dalam di dalam hatinya. "Rasanya seperti cinta pertama."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.