Sukacita Hidup Ini

Pasangan beda dimensi



Pasangan beda dimensi

0"Aku selalu terpikirkan dirimu akhir-akhir ini." Tanpa memikirkan konsekwensi tindakannya, Fan Xian mengungkapkan isi hatinya. "Sejak aku melihatmu di Kuil Qing, aku sangat ingin bertemu denganmu lagi."     
0

"Apa yang kamu bicarakan!?" kata Lin Wan'er, dengan perasaan gelisah bercampur malu. Ia menggertakkan giginya. "Aku sudah bertunangan dengan orang lain. Terlebih lagi, kamu tidak sepantasnya menyelinap masuk ke kamar tidur seorang gadis di tengah malam."     

"Kamu telah bertunangan dengan Tuan Muda dari keluarga Fan. Aku tahu." Fan Xian tertawa saat dia menatap Lin Wan'er.     

Lin Wan'er teringat kembali akan pertama kalinya ia bertemu dengan pemuda, dan perasaan-perasaan rumit yang bercampur aduk saat mereka saling bertatapan. Hatinya terasa sedikit sakit. "Jika kamu sudah tahu, mengapa kamu tidak pergi saja? Apakah kamu cari mati?"     

Fan Xian berhenti menggoda gadis itu. Dia memandangnya dengan pandangan yang tulus. "Aku ... aku Fan Xian."     

Seketika itu suasana di kamar Lin Wan'er menjadi hening. Fan Xian merasa agak canggung, namun dia melihat air mata menetes dari pojok mata Lin Wan'er. Gadis itu bergegas mengusapnya. "Tolong, jangan mengada-ada."     

Fan Xian pun tertawa getir. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya pada omonganku?"     

Lin Wan'er memperhatikan wajah pemuda itu lalu terdiam untuk waktu yang lama. Akhirnya, dia berbicara dengan suara pelan. "Kamu adalah ... Tuan Fan?"     

Fan Xian mengangguk dan tersenyum, tetapi dilihat dari raut wajah Lin Wan'er, sepertinya ia masih merasa skeptis. Pada saat itu, cahaya bulan bersinar menembus awan, menerangi wajah Fan Xian yang putih dan cantik. Cahaya itu menerangi sepasang remaja itu melalui jendela yang terbuka, seolah menyelimuti mereka dengan sinarnya yang lembut.     

"Yoi," kata Fan Xian dengan pelan.     

Lin Wan'er merasa sulit mempercayai apa yang barusan didengarnya. Matanya membelalak lebar, ia pun terbatuk dan pedangnya jatuh dari genggaman tangannya. "Kamu adalah Si Kejam dari keluarga Fan?"     

Fan Xian tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Dia menatap wajah Lin Wan'er yang lembut, dan dengan penuh kasih sayang dia menyentuh pergelangan tangan Lin Wan'er. Dia menyalurkan sebagian zhenqi miliknya, mencoba untuk menstabilkan denyut nadi Lin Wan'er. Ketika Fan Xian mendengar kata 'kejam', dia hanya bisa tertawa getir. "Padahal aku baru pernah berkelahi dua kali, lho."     

Lin Wan'er mulai mempercayainya, dan ia pun tersenyum. "Apakah kamu adalah si-10k mil-dalam-musim gugur-yang menyedihkan-selalu-menjadi-tamu?"     

Fan Xian tertawa. "Ah, itu aku tulis dengan tergesa-gesa ... jangan dianggap."     

Mata Lin Wan'er perlahan mulai terlihat lebih cerah. "Apakah ... Apakah benar kamu Fan Xian?"     

Fan Xian pun mulai merasa tidak bisa menahan perasaannya. Dia menjelaskan, "Aku datang ke sini siang tadi bersama dengan adikku," dia berusaha untuk tidak menangis sembari berbicara. "Jika aku bukan Fan Xian, buat apa adikku membantu orang asing untuk bertemu dengan calon iparnya sendiri?"     

Lin Wan'er menahan senyum, merasa setuju dengan omongan pemuda ini. Namun ia segera terpikir pertanyaan lain. "Waktu kamu pergi ke Kuil Qing," ia bertanya dengan nada marah, "apakah kamu ke sana hanya untuk melihatku?" Ketika ia mengira bahwa dirinya telah dibohongi oleh pemuda ini, Lin Wan'er merasa sangat marah. Ketika ia teringat seluruh perasannya selama beberapa hari terakhir; rasa sakit hati dan khawatir yang disebabkan oleh pemuda ini, lalu kejadian tidak yang sebenarnya tidak pantas ini, Lin Wan'er benar-benar ingin… menghajar pemuda tak tahu diri ini!     

Ketika Fan Xian melihat raut wajah Lin Wan'er, dia menyadari apa yang sedang dipikirkan gadis itu dan segera menjelaskan. "Aku mengunjungi kuil itu untuk bersumpah ke Surga. Jujur, bertemu denganmu di Kuil Qing hanya suatu kebetulan saja. Setelah itu, baru tadi pagi aku bertemu denganmu lagi. Dan sekarang aku baru tahu siapa dirimu, oh cintaku." Wajahnya berseri-seri saat menatap paras cantik Lin Wan'er. "Ini takdir," katanya pelan.     

Lin Wan'er menunduk dan tersipu malu, ia melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Fan Xian. "Kenapa kamu dan adikmu datang hari ini untuk menemuiku?" ia bertanya dengan suara lirih.     

Fan Xian tertegun. Bagaimana bisa Fan Xian bisa memberitahu gadis ini bahwa dirinya sedang bersiap untuk menyembuhkan penyakitnya lalu melarikan diri dari pernikahan mereka? Fan Xian tidak ingin mengungkapkannya, meski dia harus mati sekali pun. "Aku dengar kesehatanmu semakin memburuk," jawabnya dengan lembut. "Dan tidak ada cara lain agar aku bisa bertemu denganmu, jadi aku melakukannya secara diam-diam ... Aku tidak tahu kalau kamu ternyata si gadis paha ayam yang kutemui di kuil waktu itu."     

Lin Wan'er hanya bisa mengerang dengan sebal. Bagaimana bisa pemuda ini memberinya julukan jelek seperti itu? Fan Xian tertawa, lalu menunjuk paha ayam yang ada di sebelah mereka. "Apakah kamu mau memakannya?"     

Lin Wan'er tidak bisa menahan tawa lebih lama lagi. "Buat kamu saja," jawabnya, "Aku tidak lapar."     

Tiba-tiba, Fan Xian mendengar suara seseorang sedang turun dari tempat tidur di lantai bawah. Sepertinya orang itu lanjut naik tangga. Dia mengerutkan keningnya. "Ada yang datang ke sini."     

Lin Wan'er mulai panik. Meskipun Fan Xian adalah calon suaminya, jika seseorang melihat kalau Fan Xian ada di kamarnya, ia akan dipermalukan. Lin Wan'er mendorongnya. "Kamu harus pergi, cepat." Setelah melalui banyak rintangan, Fan Xian tidak siap untuk pergi. Fan Xian tersenyum licik dan melompat ke bawah selimut Lin Wan'er. Tempat tidurnya sangat besar, begitu pula selimutnya, dan ruangan itu gelap gulita. Jika ada yang datang, mereka tidak akan dapat melihat keanehan.     

Ketika ia melihat Fan Xian menyelinap masuk dibalik selimutnya, Lin Wan'er terkejut, namun tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Ia mendengar langkah kaki sesorang mendekat dan membuka pintu — suster tua yang sebelumnya sakit perut mendekati kamarnya! Dengan malu dan gugup, Lin Wan'er pun masuk ke bawah selimut, dan berpura-pura tidur.     

Saat dia masuk, suster itu melihat bahwa tidak ada yang janggal di dalam kamar Lin Wan'er. Dia menggerutu sendiri, bertanya-tanya apakah dirinya sedang bermimpi. Akhirnya dia mulai mengantuk lagi dan akhirnya kembali ke bawah.     

Setelah suster itu pergi, Lin Wan'er menyikut Fan Xian. "Dia sudah pergi," dia menegurnya dengan suara yang malu-malu. "Sekarang kamu juga harus pergi."     

Dengan susah payah, Fan Xian mencium Lin Wan'er. Untuk pertama kalinya, Fan Xian merasa berterima kasih kepada suster tua itu karena segera pergi. "Kamu lelah. Lebih baik sekarang kamu istirahat," kata Fan Xian tanpa rasa malu.     

Lin Wan'er menyadari bahwa sebenarnya, calon suaminya adalah pemuda yang nakal. "Ini ... ini tidak bisa diterima!" katanya dengan marah.     

Fan Xian tertawa jahat. Dia mendekat ke Lin Wan'er dan mencium wangi tubuh gadis itu, hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan. "Kenapa?"     

"Jika ... ada orang yang tahu, mau ditaruh mana mukaku?" Merasa benar-benar malu, Lin Wan'er menutupi kepalanya dengan selimut. Saat ia merasakan kehangatan tubuh Fan Xian yang ada di belakangnya, ia segera bergerak menjauh.     

Fan Xian hanya bisa menghela napas. Dia takut gadis itu akan terus menjauh sampai ia jatuh dari tepi ranjang. Dia bangun, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil memegang tangan Lin Wan'er yang gemetar. Lin Wan'er berusaha melepaskan genggaman tangan Fan Xian, namun usahanya sia-sia. Setidaknya Fan Xian sudah tidak lagi berbaring di tempat tidur; itu permulaan yang baik.     

Fan Xian memandang mata Lin Wan'er yang mulai terlihat sayu. "Aku menyadari bahwa ternyata seumur hidupku ini, aku orang yang beruntung," ucapnya dengan suara lirih.     

"Hah?" Lin Wan'er berusaha tetap membuka matanya yang terlihat seperti sepasang kolam yang jernih sambil memandang Fan Xian dengan penasaran.     

"Aku telah jatuh cinta pada seorang gadis. Namun bahkan sebelum aku jatuh cinta padanya, ternyata gadis itu adalah calon istriku sendiri. Kalau bukan keberuntungan lalu itu apa?" Wajahnya yang cerah dan tampan terlihat gembira saat berbicara.     

Lin Wan'er penasaran. "Jika... jika..."     

"Jika apa?"     

"Sudahlah, lupakan saja."     

Lin Wan'er menggigit bibir bawahnya dan menyingkirkan keraguan dari benaknya.     

"Ada hal lain yang perlu aku beritahu padamu." Fan Xian melihat keringat yang menetes dari dahi Lin Wan'er, di bawah rambut hitam gadis itu yang halus dan indah. Hatinya sakit. "Tadi siang waktu aku bicara soal kesehatanmu, aku serius lho. Kamu harus memulihkan diri. Bubur encer dan sayur memang lebih mudah dicerna, tapi makanan seperti itu tidak akan membantumu lekas sembuh."     

Jauh di lubuk hatinya, Lin Wan'er sadar bahwa kejutan indah yang ia dapatkan hari ini tidak akan bertahan lama. Saat ia mendengar Fan Xian berbicara, ia langsung teringat dengan penyakitnya. Lin Wan'er pun menjadi muram. Marah karena nasib yang menimpanya, wajahnya terlihat lesu, dan ia berbicara dengan sedih. "Tabib kekaisaran telah mempelajari penyakit ini, dan mereka mengatakan bahwa penyakit ini tidak mudah diobati. Walaupun sebenarnya tuberkulosisku tidak begitu parah ... jika suatu hari nanti kita dapat hidup bersama, aku khawatir aku hanya akan merepotkanmu."     

Fan Xian tiba-tiba menatap Lin Wan'er dengan tatapan serius. "Susu kambing, paha ayam. Jika kamu memberiku waktu sebentar, aku akan meracikkan pil yang sesuai dengan resep yang kuberikan tadi. Minumlah obat itu seperti yang sudah aku bilang, kamu akan pulih."     

Lin Wan'er menghela napas. "Para dokter istana tidak bisa mengobatiku. Tiap tahun kondisiku hanya semakin memburuk."     

Fan Xian tertawa. "Memang, tingkat pengetahuanku soal obat-obatan tidak setara dengan dokter dan tabib di istana. Bahkan jika guruku ada di kota, kami mungkin masih harus merawatmu secara diam-diam. Yang paling penting adalah kesehatanmu. Aku merasa orang-orang di istana tidak berani mencoba resep yang baru. Pokoknya, makanlah sesuai dengan saranku. Namun ada sesuatu yang tak terpikirkan oleh dokter istana. untuk sekarang, aku ingin kamu memulihkan kekuatan tubuhmu. Ketika guruku kembali – Fei Jie sedang ada di perbatasan saat ini, aku yakin dia sedang mengumpulkan banyak obat-obat herbal yang langka – maka akan ada kesempatan untuk mengobati penyakitmu. Diagnosis hanya sebagian dari mengatasi penyakit, sisanya adalah obat-obatan. Meskipun ada banyak obat herbal yang langka di istana, sejujurnya, aku tidak yakin obat-obat itu setara dengan koleksi obat-obatan guruku. "     

Lin Wan'er mendengarkan Fan Xian yang berbicara dengan tulus, dan hatinya pun tergerak. "Kamu telah bersusah payah untukku, Tuan Fan."     

Fan Xian merasa terkejut. Kenapa gadis ini masih berbicara dengan nada yang begitu resmi? Fan Xian tidak mengerti bagaimana cara berpikir wanita. Begitu Lin Wan'er yakin bahwa pemuda di depannya ini adalah calon suaminya, cara bicaranya justri menjadi lebih resmi. Ini adalah cara berpikir wanita. Fan Xian sedikit bingung, dia tersenyum dan berkata. "Kamu masih memanggilku tuan Fan?"     

Lin Wan'er penasaran. "Memangnya aku harus memanggilmu apa?" Tiba-tiba ia menyadari apa yang dimaksud Fan Xian, dan Lin Wan'er pun tersipu malu. Ia berpaling dari Fan Xian dan berbicara dengan suara lirih yang malu-malu. "Ketika kita sudah menikah nanti, baru aku akan memanggilmu dengan julukan lain."     

"Maksudku adalah, kamu bisa memanggilku kakak Fan." Ucap Fan Xian sambil menahan tawa.     

Ketika Lin Wan'er menyadari apa yang dimaksud Fan Xian, ia pun menjadi malu dan kesal. Ia ingin menampar Fan Xian, namun saat ia ingat bahwa dia hanya pernah bertemu dengannya dua kali, ia mengurungkan niatnya dan menggerutu. Fan Xian memperhatikan bahu Lin Wan'er yang mulus dan langsing. "Ketika kita sudah menikah, kita akan pergi sumber air panas di Pegunungan Cang yang berada di atas permukaan laut. Tempat seperti itu baik untuk memulihkan kesehatanmu."     

Ketika Lin Wan'er mendengar kata "menikah", ia hanya bisa tersipu maFlu. Ia pun mengangguk, meskipun dirinya tidak mengerti apa arti "permukaan laut". Kemudian tiba-tiba ia bertanya. "Apakah Tuan Fei benar-benar gurumu?" ia bertanya dengan suara pelan.     

"Ya." Fan Xian tersenyum. "Aku selalu mengira bahwa karena Guru Fei bekerja untuk Dewan Pengawas, dia adalah orang yang identitasnya tersembunyi. Tetapi nyatanya semua orang di ibukota tahu tentang dia."     

Lin Wan'er tersenyum. "Dia sangat dihormati atas jasanya dalam perang di utara dan barat. Tentu saja dia terkenal. Tapi semua orang takut pada racunnya, jadi mereka semua bersembunyi darinya." Lin Wan'er menatap wajah tampan Fan Xian. "Bagaimana bisa Tuan Fei menjadi gurumu?" dia bertanya dengan penasaran.     

Fan Xian mengangkat bahu. "Nona Lin, ceritanya panjang dan jujur sampai detik ini pun aku sendiri belum paham sepenuhnya. Jika kamu menikahiku, aku khawatir kamu akan terseret ke dalam masalahku. Kamu bebas untuk mempertimbangkan pernikahan ini. "     

Lin Wan'er tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Ia sebenarnya juga tahu bahwa di balik pernikahan ini ada keuntungan yang dipertukarkan dan dibagi-bagi secara rahasia. Kondisi kesehatannya bertambah parah saat ia mengetahui itu semua. Tetapi karena ia percaya bahwa Kayangan sebenarnya selalu mengawasinya. Dan sekarang pemuda dari Keluarga Fan itu berdiri di depannya ... Ia bersyukur kepada Kayangan; apa lagi yang bisa dia minta? Ia teringat dengan keributan yang baru terjadi di ibukota. "Tuan Fan, aku tidak mengerti. Kau adalah putra Count Sinan, murid Tuan Fei dari Dewan Pengawas, dan seorang penyair yang hebat ... kalimat itu, '10 ribu mil dalam musim gugur yang menyedihkan, selalu menjadi tamu ', apakah kamu benar-benar menulisnya? "     

Fan Xian tidak melihat adanya keraguan di wajah Lin Wan'er ; ia hanya bertanya. Karena merasa penasaran, Fan Xian, dia pun balik bertanya. "Kenapa memangnya?"     

Sekilas wajah Lin Wan'er tampak marah. "Sang Permaisuri Janda menyukai kalimat tersebut, tetapi baru-baru ini muncul sebuah gosip di istana. Mereka mengatakan bahwa empat baris terakhir syair itu disalin dari seorang penyair dari zaman dulu." Karena Lin Wan'er percaya kepada Fan Xian, ia menjadi marah dengan adanya gosip ini.     

Fan Xian sekarang sadar bahwa masalah tentang perlombaan puisi dulu itu tidak dapat diselesaikan dengan mudah, dan gugatan dari keluarga Guo masih belum dicabut. Dia tidak menduga akan mendengar gosip ini, tapi dia tidak marah, karena sebenarnya dia memang menjiplak karya Du Fu. Saat melihat wajah tunangannya yang terlihat begitu lelah, Fan Xian merasa sedikit sakit hati. Dia menepuk tangan tungannya dengan lembut dan menyuruhnya untuk tidak berbicara lagi.     

"Aku akan datang menemuimu sesering mungkin."     

"Tapi ... jika kamu ketahuan mengunjungiku, lalu nanti bagaimana?"     

"Kau benar. Aku masih khawatir kalau misal ketahuan, si tua mesum itu akan membunuh siapa saja yang menemukanku ... dan suatu hari aku harus menyelesaikan masalah ini dengan dia." Rambut halus di belakang leher Fan Xian berdiri saat dia memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi.     

Lin Wan'er menatap wajah Fan Xian, dia tidak ingin menutup matanya. Namun apa daya rasa kantuk mengalahkan keinginannya.     

Keesokan paginya, Lin Wan'er bangun dari tidurnya dengan perasaan sedikit linglung. Ia bangkit dari selimutnya yang hangat, membuka mata dan mengusapnya; dan mendapati bahwa dirinya merasa tenang dan santai. Seorang gadis pelayan tersenyum manis dan membungkuk hormat kepada Lin Wan'er, pelayan itu bersiap untuk membantu Nonanya bangun dari tempat tidur, memandikannya, dan membantunya berpakaian. Pada saat itu, ia teringat akan apa yang telah terjadi semalam — ia pun berteriak kaget. "Oh! Apakah dia di sini?"     

"Ada siapa di sini?" tanya gadis pelayan itu dengan rasa ingin tahu.     

"Apakah kamu mendengar sebuah suara tadi malam?" tanya Lin Wan'er dengan gugup.     

"Aku tidak mendengar apa-apa, Nona," jawab gadis pelayan itu dengan jujur.     

Lin Wan'er berjalan ke jendela. Ia terlihat sangat elok; rambut hitamnya yang panjang telah disisir dan dibiarkan menjuntai dari pundaknya, dan ia sedang mengenakan gaun tipis berwarna putih. Ia melihat keluar jendela, dan tidak menemukan adanya jejak pemuda itu. Sehingga dia bertanya-tanya apakah semalam itu hanya mimpi — mimpi yang sangat ia harapkan untuk menjadi kenyataan.     

Saat imajinasi Lin Wan'er menjadi semakin liar, gadis pelayan itu mendekatinya sambil memegangi sobekan kertas berminyak. Dia tersenyum licik. "Nona, diam-diam kamu telah makan. Jika suster melihat ini, dia akan melaporkannya kepada Kaisar ... Tutup jendelanya, nanti kamu masuk angin."     

Lin Wan'er mengambil kertas berminyak itu. Ia lalu menyadari bahwa ada beberapa butir pil yang telah disembunyikan di ikat pinggangnya, dan hatinya pun menjadi dipenuhi dengan kehangatan. Ia lalu menghampiri jendala dan memperhatikan taman di luar, yang sepertinya terlihat lebih hijau dari biasanya. Ia kemudian menutup jendela. Sepertinya Lin Wan'er tidak bisa menghentikan pikirannya soal percintaan untuk keluar lewat jendela itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.