Sukacita Hidup Ini

Niat untuk Memasuki Istana ketika Mabuk



Niat untuk Memasuki Istana ketika Mabuk

0Malam itu sudah ditakdirkan menjadi malam yang luar biasa.     
0

Setelah Fan Xian tampil dengan liar dan menakjubkan, Tuan Zhuang Mohan pergi dengan sedih. Jelas bahwa Yang Mulia ingin membina dan mendidik putra keluarga Fan. Posisi sang Putra Mahkota aman. Begitu banyak yang telah terjadi pada malam itu, entah itu para anggota delegasi diplomatik dari Dongyi, ataupun para pejabat lainnya, setelah kembali ke kediaman masing-masing mereka semua berdiskusi dengan para kerabat atau kolega mereka tentang apa yang telah mereka saksikan pada malam itu. Tetapi yang mengejutkan semua orang dan menjadi bahan pembicaraan utama tentu saja adalah penampilan fungsionaris tingkat delapan Fan Xian di aula istana malam itu.     

Konsensus umum yang akhirnya tercapai adalah bahwa Tuan Muda Fan adalah seorang penyair setara dengan dewa.     

Siapapun yang meragukan benar atau tidaknya Fan Xian menulis keempat baris puisi sebelumnya, sekarang tidak lagi meragukannya setelah pertunjukkan malam itu. Karena bagaimanapun juga, konteks tiap puisi berbeda, seperti halnya pendapat mereka masing-masing. Jika seseorang dapat merasakan suasana hati mereka berayun-ayun dalam satu malam, maka orang itu sadar bahwa penyair itu adalah penyair yang hebat.     

Tapi bagaimanapun juga, semua orang masih percaya bahwa Fan Xian bukan orang biasa. Penampilannya benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana bisa orang biasa melantunkan puisi seindah itu dengan mudahnya, seolah-olah dia sedang menjual sayur? Bahkan jika Fan Xian tidak menyadari kelelahannya, adegan itu masih terlihat menakjubkan.     

Singkatnya, setiap karya puisi yang indah – baik itu indah atau intens ataupun melankolis – yang ada di dunia yang mirip dengan dunia di mana Kerajaan Qing ada, mau tidak mau keluar dari bibir Fan Xian. Sejak saat itu, puisi-puisi tersebut telah menjadi bagian dari dunia itu dan tidak dapat lepas dari pemuda itu.     

Di dalam puisi-puisi itu ada sejumlah kiasan sastra yang tidak jelas, atau bagian-bagian yang tidak dapat dipahami; orang menganggap itu semua ikut terlontar karena kondisi Fan Xian yang mabuk, dan mereka bersiap untuk memintai Fan Xian penjelasan lebih mendalam mengenai kiasan tersebut ketika dia sadar dari mabuknya. Dan apakah Fan Xian - untuk membenarkan kebohongannya - akan menciptakan sejarah fiksi Cina, dengan menulis Empat Novel Klasik sastra Cina, atau mengebiri dirinya sendiri untuk mempermudah dirinya, mungkin untuk lain waktu. [1][1]     

Di dalam kereta yang bergerak kembali menuju kediaman Fan, Fan Xian masih tidur nyenyak. Setelah itu, beberapa orang sibuk menghitung banyaknya anggur yang dia minum di istana, terlepas dari berapa banyak puisi yang telah dia buat, dia telah minum empat setengah kilo anggur terbaik milik Kaisar. Jadi saat dia melantunkan 300 puisi yang membuatnya diakui oleh para sarjana dan sastrawan di negeri itu, kondisinya sudah benar-benar tak sadarkan diri.     

Fan Xian telah diangkat dari kaki Kaisar dan digotong keluar istana oleh seorang kasim. Pemuda itu benar-benar diselimuti semerbak bau anggur di seluruh tubuhnya, mulutnya menggerutu tak jelas, dan untungnya dia tidak pingsan saat semua orang memujinya sebagai makhluk ajaib.     

Ketika dia naik ke atas kereta, para kasim istana memperingatkan para pelayan keluarga Fan untuk menjaga tuan mereka. Otaknya adalah barang berharga milik Kerajaan Qing, kata kasim tua itu dengan bercanda, mereka tidak bisa membiarkan Fan Xian melukai otaknya.     

Ketika kereta tiba di Kediaman Fan, kabar mengenai kemenangan Tuan Muda dan pukulan yang dia berikan kepada Zhuang Mohan pun sampai ke rumah. Seluruh penghuni Kediaman Fan pun merasa gembira atas kemenangannya. Seorang pelayan dengan senang hati mengendong Fan Xian turun dari kereta, dan Lady Liu sendiri membukakan jalan, mengantar Fan Xian ke kamar, lalu pergi ke dapur untuk memasak sup. Fan Ruoruo khawatir bahwa para gadis pelayan tidak cukup cermat dalam merawat kakaknya, dan ia dengan hati-hati mengeluarkan handuk untuk melembabkan bibir kakaknya yang kering.     

Kericuhan ini membuat Fan Sizhe terbangun, dia menggosok matanya dan menyaksikan kakak laki-lakinya yang mabuk dengan perasaan cemburu dan kagum. Count Sinan tersenyum ketika dia menulis di ruang kerjanya. Kebanggaan seorang ayah tercermin dengan jelas di wajahnya. Bahkan para pelayannya yang tidak berpendidikan pun bisa melihat itu. Fan Jian sedang berpikir tentang apa yang harus ditulisnya di buku catatan yang akan dia berikan kepada Yang Mulia. Dia tahu bahwa Yang Mulia tidak akan terkejut dengan hal-hal yang terjadi pada Fan Xian; bagaimanapun juga, Fan Xian adalah anak dari tianmai.     

Setelah gelombang kegembiraan berlangsung hingga larut malam, satu demi satu setiap orang pun undur diri, mereka semua tidak berani mengganggu Fan Xian yang sedang bermimpi.     

 Pada saat itu, sepasang mata pemuda itu terbuka dengan cepat. "Sabukku," katanya kepada Ruoruo, yang berdiri di samping tempat tidurnya. "Pil hijau muda."     

Ketika melihat kakaknya sudah bangun, Ruoruo tidak punya waktu untuk bertanya-tanya. Dia dengan cepat mengambil pil dari sabuk itu dan memasukkannya ke mulut kakaknya.     

Fan Xian memejamkan mata untuk waktu yang cukup lama sambil perlahan-lahan menyalurkan zhenqi-nya. Dia merasakan bahwa pil itu benar-benar efektif dalam menangkal efek buruk alkohol. Rasa sakit di perutnya hilang, dan kesadarannya kembali. Tentu saja, dia tadi tidak benar-benar mabuk. Selama "pembacaan" sebelumnya di istana, ketika dia membaca karya-karya penulis kuno, itu semua ternyata adalah rencananya.     

"Aku khawatir jika ada yang datang menemuiku di tengah malam. Lagipula, saat ini aku dianggap mabuk sehingga tidak mungkin dapat bangun." Saat dia mengenakan pakaiannya dengan bantuan adiknya, dia mengerutkan kening sambil merenung. Matanya benar-benar jernih, alkohol di istana sama sekali tidak berpengaruh baginya.     

"Seharusnya tidak ada yang akan datang. Aku telah mengatakan kepada mereka bahwa aku sendiri yang akan menjagamu." Fan Ruoruo tahu apa yang akan dilakukan kakaknya, dan ia mulai merasa cemas.     

"Bibi Liu ..." Fan Xian mengerutkan kening. "Apakah dia akan datang untuk menemuiku?"     

"Aku berjaga di sini. Tidak ada yang akan datang." Fan Ruoruo menatapnya dengan gugup dan berbicara dengan suara pelan. "Tapi kamu harus cepat kembali, kak."     

Fan Xian memeriksa ulang pisau belati yang tersembunyi di sepatu botnya, tiga jarum di rambutnya, dan pil di pinggangnya. Saat dia sudah memastikan semuanya siap, dia mengangguk. "Aku akan kembali secepat mungkin."     

Fan Xian beranjak pergi melalui pintu belakang, melewati kediaman yang sedang dipersiapkan untuk pernikahannya. Dia telah mengenakan pakaian yang dibuat untuk bergerak di malam hari, dan di bawah naungan kegelapan dia sangat sulit dilihat. Hanya di saat dia bergerak, tubuhnya dengan cepat muncul dan kembali ke dalam kegelapan, seakan-akan dia adalah semacam setan. Dia melewati lubang di dinding yang sebelumnya telah disiapkan, dan tiba di sebuah kereta yang sudah menunggunya di luar.     

Fan Xian sedikit mengerutkan dahinya yang tertutupi kain hitam di sekitar matanya. Meskipun tidak ada jam malam di ibukota, jalan-jalan masih dijaga ketat di malam hari. Setelah insiden di Jalan Niulan, para penjaga kota telah dikerahkan untuk berjaga. Jadi, Fan Xian pun sementara mengurungkan niatnya untuk naik kereta. Dengan tubuhnya gemetar, dia menyalurkan zhenqi ke seluruh tubuhnya untuk meningkatkan kecepatannya, lalu dalam sekejap dia menghilang dalam kegelapan ibukota.     

Letak kediaman Fan tidak jauh dari istana, dan Fan Xian kini telah sampai di kaki tembok barat istana. Ini adalah tempat di mana para pekerja paruh waktu istana bertemu dengan penjaga dalam. Tempat ini biasanya ramai, namun karena sudah larut malam, tempat tersebut sepi. Dari balik semak-semak, dia berjongkok dan melompat ke tepi Sungai Yudai. Dengan tangan kirinya, dia meraba pagar batu di tepi sungai, dan seperti seekor koala, dia berjalan dengan tubuh yang menyamping.     

Ada beberapa cahaya terang dari lampu-lampu di hadapannya, tetapi sungai itu sendiri tampak sangat gelap. Fan Xian tidak berani kehilangan fokusnya. Dengan menggunakan zhenqi-nya dia berhenti bernapas dan dengan hati-hati bergerak maju.     

Beberapa waktu kemudian, dia akhirnya berhasil melewati dua jembatan, dan tiba di hutan kecil di dalam istana. Fan Xian beristirahat sejenak, dia membuka mulutnya untuk mengambil napas dengan cepat. Dia bisa merasakan hormon adrenalin di tubuhnya meningkat, seolah-olah tindakkan berbahaya ini memberikan kesenangan tersendiri.     

Tembok yang sangat licin di sisi pepohonan tingginya 16 meter; tidak ada celah untuk berpegangan di atas permukaanya. Bahkan para pendekar terkuat di negeri itu tidak ada yang mampu melewatinya. Tapi tentu saja, bagi mereka yang memiliki kemampuan mendekati Guru Besar, apakah mereka dapat melewati tembok ini atau tidak, tinggal dilihat apakah mereka berani mencoba atau tidak.     

Fan Xian bukanlah salah satu dari Empat Guru Besar Agung, tapi dia punya cara lain. Tembok yang di cat merah tampak berwarna biru dalam kegelapan malam. Dia melompat dari pohon ke tembok, dan segera bersembunyi dari cahaya lentera para penjaga. Dia duduk bersila dan menenangkan pikirannya sambil secara bertahap menyalurkan zhenqi-nya yang kuat melalui titik xueshan-nya, zhenqi itu menghangatkan dan mengkondisikan tubuhnya.      

Jauh di penjuru terdalam istana, dekat dari Aula Hanguang, Hong Sixiang duduk dengan tenang di sebuah ruangan. Kesehatan sang Permaisuri Janda sedang tidak baik. Wanita tua itu sedang mendengar hal-hal lucu yang terjadi selama perjamuan istana berlangsung; tentang bagaimana Fan Xian menyebabkan Zhuang Mohan memuntahkan darah. Sang Permaisuri Janda tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Tampaknya beberapa pria tua disana itu sedih, jadi mereka tidur lebih awal.     

Hong Sixiang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di dalam istana. Para kasim muda tidak tahu sebenarnya berapa umur kasim tua itu - tujuh puluh?Delapan puluh? Satu-satunya tugas Hong Sixiang di istana adalah menemani sang Permaisuri Janda. Dia sudah ada di sana sejak berdirinya Kerajaan Qing. Ketika dia masih muda, dia masih suka meninggalkan istana dan pergi kesana kemari, tetapi seiring bertambahnya usia, dia menyadari bahwa tidak banyak perbedaan antara dunia di dalam dan di luar istana.     

Hong Sixiang mengambil kacang tanpa kulit, memasukkannya ke dalam mulutnya, dan mengunyahnya dengan keras. Kemudian dia memegang cangkir anggur dan menyesapnya dengan cukup lama. Lampu minyak di atas meja memancarkan cahaya redup. Kasim Tua itu berpikir tentang hal-hal gila yang dilakukan Tuan Fan yang mabuk di aula istana, dan dia tersenyum. Meskipun dia adalah seorang kasim, dia adalah seorang kasim Kerajaan Qing; jika Qi Utara dipermalukan, tentu Kasim Hong juga merasa senang.     

Di bagian lain dari istana dalam, ada cahaya lilin dari ruang kerja Kaisar, lebih dari lilin di kamar kasim. Kaisar adalah penguasa yang mencintai rakyatnya dan selalu peduli dengan politik negara, oleh karena itu dia sering membaca hingga larut malam. Para kasim sudah lama terbiasa dengan hal itu, mereka menyiapkan beberapa kudapan malam sambil menunggu panggilan Kaisar yang dapat muncul tiba-tiba.     

Saat itu adalah malam menuju dini hari setelah perjamuan istana diadakan, dan sang Kaisar masih bekerja dengan rajin. Dia duduk di depan meja sambil memegang sebuah kuas; ujungnya baru saja dibasahi, seperti pisau belati yang menunggu untuk membunuh seorang pria dalam keheningan. Tiba-tiba, ujung kuasnya bergeming di atas kertas di depannya, dan alisnya perlahan mengernyit. "Apakah anda lelah, Yang Mulia?" tanya salah seorang kasim di sisinya. "Apa mungkin anda harus istirahat?"     

Sang Kaisar tersenyum sambil menegur kasim tersebut. "Bagaimana bisa tanganmu tidak remuk setelah menyalin semua puisi di aula istana sore tadi?"     

Si kasim pun tersenyum. "Setiap hari pun aku rela banting tulang menyalin puisi buatan orang cemerlang seperti dia."     

Sang Kaisar tertawa dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya sesekali melirik ke luar jendela, dan merasa ada yang aneh di malam yang gelap ini.     

Kompleks istana itu besar, dan pada malam musim panas suasana di dalamnya hening. Para pelayan istana memejamkan mata mereka, tetapi mereka kesulitan untuk tidur nyenyak. Para penjaga di luar tembok berjaga dan mengawasi sekeliling mereka dengan cermat. Untuk saat ini, istana tampak damai.     

Di pojok, di samping taman batu, dengan pakaian serba hitamnya yang baru, Wu Zhu menghilang diantara cahaya redup di malam hari. Satu-satunya bagian dirinya yang terlihat adalah sepasang matanya, yang ditutupi oleh sehelai kain hitam. Dengan menggunakan semacam teknik, seluruh tubuhnya menyatu dengan benda mati disekitarnya.     

napas dan detak jantungnya secara drastis menjadi lambat, dan dia bergerak seirama dengan hembusan angin malam yang bsepoi-sepoidi sekitarnya. Bahkan orang yang berjalan melewatinya tidak akan menyadari keberadaannya kecuali mereka benar-benar mencermati sekitarnya.     

Wu Zhu "memperhatikan" cahaya yang berasal dari ruang belajar sang Kaisar. Dia tidak tahu berapa lama dia menatap pada titik itu. Setelah itu dia perlahan menurunkan kepalanya, menarik tudung hitamnya, dan diam-diam menjauh dari istana. Dia berjalan menyusuri kegelapan, di sepanjang rumput dan bunga-bunga tanpa meninggalkan jejak maupun suara.Bagaikan iblis yang mengerikan, dia berjalan santai di sekitar istana dalam yang dijaga ketat.     

[1] Dalam novel Jin Yong The Smiling, Proud Wanderer, karakter Yue Buqun mengebiri dirinya sendiri untuk mempelajari teknik pedang Bixie.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.