Devil's Fruit (21+)

Makan Barbekyu



Makan Barbekyu

0

Fruit 78: Makan Barbekyu

0

=[[ Dante POV ]]=

Dengan selesainya aku memotong sapi bergigi anjing tadi menjadi beberapa bagian, aku pun mengamati Andrea yang memasukkan sebagian banyak potongan tadi ke dalam cincinnya yang ajaib, bisa menyimpan benda apapun.

Kenapa di dunia Nephilim tak ada cincin seperti itu? Aku harus tanyakan Erefim bagaimana menemukan cincin semacam itu. Bertanya ke gadis Iblis di depanku? Tak sudi! Dia bisa besar kepala kalau tau bahwa aku juga menginginkan cincin seperti yang dia punya.

Jujur saja, mempunyai cincin seperti itu akan jauh memudahkan dalam perjalanan. Tak perlu adanya tas atau apapun untuk membawa barang.

Aku harus punya cincin itu juga. HARUS!

"Sekarang bagaimana?" Aku bertanya kepada si gadis Iblis.

Dia menoleh sambil tersenyum ceria. "Kita bisa pesta barbekyu!"

Aku tak paham alam pikir dia yang kadang aneh. Lantas, aku biarkan saja dia mulai membakar beberapa dahan kayu dengan tenaga api dia.

"Dante?"

"Hum." Aku menjawab singkat.

"Tolong ambilkan buah kelapa seperti yang kemarin, dong." Dia lagi-lagi menyuruhku ini dan itu. Sebenarnya kesal juga aku ini bagai pelayan dia yang serba harus patuh bila diperintah. Tapi... entah kenapa, aku justru luluh setiap dia memanggil namaku semerdu itu.

Tunggu! Apa benar suaranya merdu? Damn! Tidak! Suaranya tidak merdu! Itu hanya khayalanku saja!

"Untuk apa kelapanya?" Aku mencoba menolak. Memangnya aku ini pesuruh dia?

"Udah, deh, nurut aja, nanti juga pasti suka." Andrea malah tersenyum padaku. Bisakah dia tak perlu melakukan itu? Hatiku merasa aneh setiap melihat senyuman dia.

Mendengus kecil, aku pun segera beranjak dan mulai terbang mengambil beberapa kelapa. Lalu kelapa-kelapa itu aku lemparkan di dekat kaki dia.

"Dante..." Sial, dia memanggil dengan namaku lagi!

"Apa lagi?" dengusku berlagak kesal.

"Tolong dong congkel kelapanya seperti kemarin..."

Wajahku menggelap. Lagi-lagi dia main perintah! "Tidak mau!"

Andrea mengerucutkan bibirnya. Bagaimana kalau bibir itu aku kulum? Apakah terasa seenak yang ada di mimpi?

"Dante, isshh~" Nadanya merajuk manja. Sialan! Tak perlu memakai suara seperti itu, bisa kan? "Kan nanti kamu juga yang enak." Ia menatap dengan aura merajuk. Ini membuat gemas saja! Shit! Damn!

"Harus bersama-sama!" Alih-alih menolak, aku justru berikan opsi lain padanya. "Aku bukan pesuruhmu, maka... kerjakan bersama-sama!" Kukeratkan rahangku, berharap jawabanku masuk akal dan tidak membanting harga diriku.

Ini... sepertinya aku menyukai berdekatan dengannya. Ah, DAMN!

Dia mendesah sebentar sebelum mulai mendekat ke arahku. "Ya udah, ayo aku bantu."

"Hei, ini kerja-sama, bukan kau membantuku!" Aku protes dengan elakan dia. Dia justru julurkan lidah dengan sikap menggemaskan. Andrea, berhentilah begitu atau aku bisa menyerangmu! Kukulum kuat-kuat bibirku. Aroma spesial dia sudah tidak ada di alam ini, tapi kenapa aku masih saja—

"Iya, iya, aiihh~ gitu aja baper, hihi..."

Kuteguk saliva sebelum arahkan pedang dan kakiku seperti kemarin saat kami bersama-sama melubangi kelapa muda.

Tubuh kami pun saling berdekatan. Aku bisa mencium aroma tubuhnya. Bukan, ini murni aroma tubuh Andrea, bukan feromon dia. Aku bisa membedakannya. Dan aromanya... menyenangkan. Susah untuk aku gambarkan dengan kata-kata. Pokoknya membuatku nyaman.

Untung dia tidak punya penyakit bau badan.

Aku bisa lihat wajah dia lebih dekat. Bahkan pipinya berada sangat dekat dengan bibirku. Apabila aku berpura-pura majukan wajahku ke depan, sudah pasti bibirku akan menempel sejenak di pipi putih mulusnya yang bersemu kemerahan tipis.

Tidak! Aku tak boleh bertingkah sekonyol itu! Apa-apaan yang barusan aku pikirkan?!

Akhirnya, kami pun selesai melubangi beberapa kelapa. Airnya sudah dituang Andrea ke gelas bekas minuman dia sebelumnya. Lalu kelapa dibelah jadi dua.

Aku mengamati Andrea memasukkan potongan daging sapi tadi ke gelas tadi. Tentu saja susah karena itu sebuah potongan besar.

"Dante..." Ia kembali menoleh padaku.

"Hum..."

"Tolong sayat dagingnya supaya terpisah dari tulangnya, dong..."

"Hghh... kenapa aku harus repot-repot melakukan itu? Lakukan sendiri."

"Dante~ kan kamu yang punya pedang." Lihat, dia kembali kerucutkan bibir ranumnya. Apakah dia biasa bertingkah demikian? Dasar Iblis penggoda!

Daripada aku disiksa dengan penampilan menggemaskan dia saat sedang protes dan merajuk begitu, aku memilih menuruti kemauannya dan mulai menyayat daging menjadi seukuran steak seperti arahan Andrea. Hah! Pedang Rogard-ku yang mulia ini... sekarang alih fungsi jadi pengupas kelapa... jadi pisau tukang daging... Damn! Aku kutuk siapapun yang menciptakan alam keparat ini!

Andrea tampak girang karena daging steak-nya sudah siap. Daging itu ia baluri air kelapa di kedua sisinya, dan ada juga yang dia rendam di dalam batok kelapa.

Aku hanya amati saja tingkah laku dia yang tak aku paham. Ini benar-benar sesuatu diluar kebiasaanku. Mana pernah aku melakukan apa yang kulakukan di sini? Jika aku butuh makan dan minum, aku tinggal berteriak pada Erefim, dan dia akan segera hidangkan untukku.

Mata ceria Andrea kembali menatapku penuh harap. Aku merasakan perasaan buruk. Pasti ada lagi yang akan dia pinta.

Benar saja!

Aku cuma bisa mendesah berat berkali-kali saat memegangi Pedang Rogard kebanggaanku secara horisontal, dan Andrea bisa asyik meletakkan irisan daging yang sudah dibaluri air kelapa ke atas bilah lebar pedangku, lalu dia menyalakan api miliknya dari bawah bilah pedang, dan ia pun memanggang daging tersebut.

"Dante jangan mendesah terus, ah!" Andrea masih khidmat menjaga nyala apinya di bawah pedangku sembari dia tersenyum senang menatap penuh harap ke daging di atas bilah pedangku. 

Kemudian, dia membalik daging menggunakan ranting.

Aku mendecak melihat kelakuannya. Pedang muliaku yang tersohor... kini bertambah peran. Sebagai alat panggangan untuk barbekyu. "Sampai kapan aku memegangi begini?"

Dia menoleh menatap mataku. "Kenapa? Dante kan kuat, iya kan? Nggak mungkin segini aja udah bikin kamu capek?"

Sialan! Dia memang pintar menohok! Dia tau caranya mengusik harga diriku. Maka, aku hanya bisa menahan tanganku untuk membuktikan aku memang kuat. "Huh! Kau pikir aku lemah seperti kaummu? Aku hanya bosan begini terus!" Aku berkilah. Ini sudah hampir satu jam aku tak bergerak dengan posisi begini!

Iblis sialan itu malah terkikik.

"Maaf, yah Dante... Soalnya, kalau pakai kayu, nanti langsung jadi abu karena apiku ini kuat." Dia beralasan. Yah, pasti dia cuma beralasan agar bisa membuatku begini! Dasar Iblis licik!

"Lebih cepatlah. Aku benar-benar bosan!"

"Iya, iya, Tuan Muda..."

"Bisakah kau tidak memanggil seperti itu? Terdengar seperti hinaan kalau kau yang menyebutnya."

"Haha, kalau begitu... berhenti juga memanggilku Iblis."

"Bukankah kau memang Iblis?"

"Aku masih setengah manusia. Bagaimana? Deal?"

"Tsk! Terserah!"

"Nah! Selesai! Ayo kita makan!" Ia pun hentikan api dari telapak tangannya dan aku bisa lega menurunkan lenganku. Sudah nyaris mati rasa.

Setelah beberapa menit, kami pun memakan daging yang kami panggang. Kuakui, enak. Gurih. Tapi tak perlu kukatakan padanya, bukan?


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.