Devil's Fruit (21+)

Rencana Mengunjungi Istana Pantai Utara



Rencana Mengunjungi Istana Pantai Utara

0Fruit 1502: Rencana Mengunjungi Istana Pantai Utara     
0

Kini, Jovano dan kelompoknya sudah dalam perjalanan pulang kembali ke hotel setelah mereka usai berkemah di Black Canyon.     

"Sungguh, Pak Jo! Saya benar-benar tidak mengira akan mendapatkan pengalaman semengerikan itu di tempat wisata!" Pak Aan sejak tadi masih saja membahas mengenai malam kekacauan.     

Walaupun orang-orang di bumi perkemahan kemarin tidak bisa melihat makhluk astral yang menyerang mereka, namun tekanan dari ribuan makhluk yang membawa energi negatif semacam itu, mana mungkin mereka masih bisa merasakan kenyamanan.     

Bahkan mereka akan sesak napas kalau tidak segera diberikan pertolongan oleh Shona dan Zivena.     

Tetap saja walaupun manusia tidak bisa melihat wujud para jin dan kawanannya itu, tekanan yang diberikan makhluk-makhluk tak kasat mata yang sudah memiliki energi kegelapan tentu saja akan bentrok dan menyerang energi manusia.     

Bahkan ada yang mendadak pingsan karena tubuhnya seakan lemas tidak lagi memiliki tenaga. Itu adalah ulah dari para makhluk yang menyerap energi manusia untuk menggandakan energi mereka sendiri.     

Inilah alasannya kenapa ketika jin atau makhluk astral menakut-nakuti ataupun menampakkan wujudnya di depan manusia, manusia akan sakit setelahnya.     

Itu karena bentrokan energi dan dihisapnya energi manusia sehingga manusia melemah dan jatuh sakit.      

"Tapi, yah Pak Jo, jujur saja, tadi malam saya seperti melihat ada bayangan aneh di belakang Asih. Iya, Asih yang menusuk penjaga itu. Entah saya ini sedang berhalusinasi atau bagaimana, tapi sepertinya saya melihat bayangan samar sesosok besar tinggi yang berdiri di belakang Asih." Pak Aan menceritakan apa yang Beliau alami sendiri malam itu.     

"Ohh ya? Benarkah, Pak Aan?" Jovano merespon. Saat ini, dia tidak sedang melakukan pertarungan energi dengan makhluk manapun, sehingga dia bisa mengobrol santai dengan sopir di sebelahnya.     

"Benar, Pak Jo! Tinggi Asih hanya seperutnya!" Pak Aan makin bersemangat. Itu karena dia yakin tidak akan dianggap berhalusinasi oleh Jovano.     

Tentu saja, karena Jovano sendiri justru orang yang bertindak ala 'orang pintar' yang mampu mengusir makhluk astral yang mengganggu perkemahan mereka. Tidak mungkin Pak Aan dianggap sedang berhalusinasi.     

"Benar seperti itu wujudnya kan, Pak Jo? Tinggi, besar, warnanya hitam dan wajahnya seram, tapi saya hanya samar saja melihatnya, tidak begitu jelas, tapi yang bisa saya pastikan, matanya merah menyala! Hii! Sangat menakutkan!" Pak Aan bergidik sambil kedua tangannya tidak melepaskan setir.     

"Zizi, adik saya, dia yang lebih paham dengan wujud jin yang merasuki Asih." Jovano melirik singkat ke Zivena di jok tengah.     

"Ahh, iya, Nona Zizi semalam keren sekali saat ribut dengan setannya Asih!" Pak Aan teringat adegan dimana Zivena berdebat ketat dengan jin jahat di tubuh Asih.     

Shona dan lainnya terkikik geli. Zivena justru cemberut. Dia dibilang ribut dengan setan. Ribut? Astaga, kenapa memilih kata itu seakan tak ada kata yang lebih keren lainnya.     

"Yah, kebetulan aja kami bisa menangani mereka, Pak Aan." Jovano tersenyum.     

"Mereka?" Pak Aan sampai memekik kaget. "Jadi … jumlahnya banyak?" Beliau kaget bukan kepalang. "Saya kira hanya 1 itu saja yang masuk ke Asih."     

"Ribuan, kau tau!" Gumaman rendah Zivena ini rupanya didengar Pak Aan.     

"Apa?!" Benar saja, Pak Aan terkesiap, tak siap mendengar atas apa yang baru saja dibeberkan Zivena. "Ri-Ribuan! Ribuan?!"      

"Duh, Zizi, kau sekarang menakuti Pak Aan, tuh!" goda Shona ke adik ipar di sebelahnya.      

Zivena segera menadapatkan telepati dari kakaknya, kemudian, dia berbicara lagi, "Aku hanya bercanda, Pak Aan. Bukan ribuan, kok! Hanya belasan saja."     

Pak Aan melirik singkat ke belakang hanya untuk melihat seperti apa raut wajah Zivena, apakah terlihat seperti orang sedang bercanda atau serius. "Ber-Bercanda, Non? Masa sih bercanda? Lah wajah Non Zizi saja seserius itu."     

Serafima tidak bisa menahan tawanya yang sudah dari tadi dia tahan-tahan.     

Shona tersenyum sambil menjawab Pak Aan, "Dari dulu, wajah Zizi memang begini, Pak, mau itu dia lagi serius atau bercanda. Ehh, malah sepertinya aku tidak pernah lihat Zizi bercanda." Dia sambil melirik ke Zivena disertai senyuman jahil.     

Zivena mengerang, "Ughh … Kak Sho gitu, ihh!" Gadis remaja itu merajuk kesal digoda Shona, apalagi Serafima sampai tertawa keras.     

"Maaf, tapi Kakak kan emang belum pernah lihat kamu bercanda, apalagi tertawa keras-keras seperti Sis Sera, tuh!" Shona menunjuk ke madunya menggunakan dagu.     

Zivena melirik singkat ke Serafima sambil mendengus dan berkata, "Huh! Untuk apa aku tertawa seperti dia. Jangan samakan aku dengan nenek sihir."     

Seketika, tawa Serafima lenyap. "Argghh … bocah satu ini perlu dilumerin mulutnya! Sini kamu!" Tangan Serafima segera terjulur ke Zivena melewati tubuh Shona dan dengan gemasnya dia menggusak kepala adik iparnya.     

"Aarrghh! Penyihir! Dasar penyihir! Jangan rusak rambut berhargaku!" Zivena menjerit-jerit mendapatkan serangan tak terduga Serafima. "Kak Jo! Lihat ini! Istri penyihirmu ini menyakiti aku! Dia merundung aku!"      

"Justru kau yang sering merundung aku, bocah mulut cabe!" Serafima makin bersemangat mengacak-acak rambut Zivena.     

"Kak Sho! Tolong aku tenangkan penyihir jelek itu! Jangan diam saja, Kak Sho!" pekik Zivena sambil berusaha menangkis serangan ganas tangan Serafima.     

Shona dan Jovano hanya bisa tertawa saja melihat tingkah-polah kedua perempuan itu.     

Setelah 1 jam berlalu, mobil telah berhenti di pelataran parkir hotel tempat Jovano dan kelompoknya menginap.     

"Pak Aan, terima kasih. Sungguh nyaman melakukan perjalanan wisata dengan Bapak." Jovano menepuk lengan pria paruh baya itu.     

"Ahh, saya juga senang mengantar Pak Jo dan keluarga. Kalian ramah, sopan, dan tidak sombong." Pak Aan tersenyum. Apalagi bonus uang yang kadang diberikan Jovano jika selesai pergi ke suatu destinasi.     

"Baiklah, ini sebagai tanda terima kasih kami ke Pak Aan." Jovano menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Pak Aan." Itu merupakan amplop tebal sampai sesak, menyiratkan seberapa banyak isinya.     

"A-Apa ini, Pak Jo?" Mata Pak Aan membeku menatap isi amplop tersebut. Beliau tak bisa menahan haru dan syukur sampai menangis. "Pak Jo, terima kasih. Sungguh saya berterima kasih atas kebaikan dan kedermawanan Pak Jo. Semoga kalian selalu dilimpahi berkah dan semua kebaikan di dunia, semoga kalian selalu sehat dan bahagia bersama." Beliau sambil mengusap air mata.     

"Sudah, Pak, sudah." Jovano menepuk-nepuk pelan lengan Pak Aan. "Terima kasih atas doa tulus Bapak. Semoga doa baik itu juga berbalik kepada Bapak dan keluarga Bapak. Semoga juga isi di amplop itu bisa membawa kebaikan untuk Bapak dan keluarga."     

"Tentu! Tentu, Pak!" Pak Aan kembali terisak menangis untuk beberapa saat. Mana mungkin dia tidak bersyukur akan kedermawanan Jovano? Di rumah, dia butuh uang untuk biaya kuliah anaknya yang sudah menunggak berbulan-bulan. Selain itu, cucunya juga sedang sakit demam berdarah di rumah sakit dan butuh biaya.      

Uang dari Jovano sungguh akan menolong Pak Aan dan keluarganya. Pantas bila Beliau sampai menangis.     

Setelah kelompok Jovano kembali ke kamar masing-masing, Jovano bertanya ke timnya, "Apakah kalian siap jika besok kita berkunjung ke istana kerajaan pantai utara?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.