Devil's Fruit (21+)

Giliran Zivena dan Gavin



Giliran Zivena dan Gavin

0Fruit 1387: Giliran Zivena dan Gavin      
0

Jovano mendadak saja memikirkan mengenai adik bungsunya, Zivena. Saat ini tentunya Zivena sedang menjalankan misinya bersama Gavin dan Hong Wang.     

Sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat keduanya, Zivena akan melanglang-buana ke negara lain selain Indonesia. Dia akan menggunakan kekuatan yang dia miliki untuk membantu manusia.     

"Zi, sepertinya si hitam kesal, tuh, gara-gara mangsanya kamu rebut." Gavin menahan tawa gelinya ketika dia dan Zivena keluar dari ruangan operasi sebuah rumah sakit di Filipina. Zivena baru saja menahan roh manusia yang hendak dicabut oleh grimreaper.     

"Tsk! Biar saja. Salah siapa aku harus menjalani misi kebajikan ke manusia. Jadi, sah-sah saja kalau aku menyelamatkan nyawa manusia, kan?" Zivena berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit itu dengan langkah ringan.      

Zivena sudah sepakat dengan Gavin bahwa mereka akan selalu membuat diri mereka tidak kasat mata, terutama ketika menjalani misi. Mereka ingin tetap menjadi sosok misterius saja yang tidak perlu diketahui manusia.     

Sedangkan Hong Wang kadang ada di dekat keduanya, kadang pula terbang pergi seenak hati meski jika Zivena memanggil, burung api itu akan muncul cepat di depan Zivena.     

"Apakah kau masih ingin di rumah sakit ini?" tanya Gavin sambil melirik Zivena di sampingnya.     

"Oke. Tak masalah. Sepertinya ada banyak pasien di sini yang ditelantarkan." Zivena mengerutkan keningnya.     

"Rumah sakit ini memang dibangun pemerintah di sini, sih," ucap Gavin sambil memikirkannya. "Dan mungkin karena itu penanganan ke pasien agak longgar."     

"Seperti biasa, uang selalu saja menjadi alasan untuk manusia," keluh Zivena menggunakan nada putus asa. "Ayo ke kamar itu. Aku mencium ketidakadilan di sana." Ia menunjuk ke sebuah kamar rawat tak jauh di depannya.     

Keduanya masuk ke sana dan melihat jajaran tempat tidur yang penuh berisi pasien. Tampaknya itu merupakan kamar kelas bawah di rumah sakit itu.     

"Apakah dokternya tidak bisa datang sekarang juga?" tanya seorang wanita paruh baya ke perawat yang dipanggil.     

"Maaf, Bu, dokter sudah pergi. Ibu bisa meminta Beliau datang dengan kondisi khusus." Perawat menjawab dengan wajah datar.     

"Maksudnya? Dengan uang tambahan?" Lelaki di sebelah ibu itu menyahut. Melihat perawat tadi tidak memberikan penyangkalan, maka mereka pun yakin mengenai apa yang dikatakan lelaki itu. "Anak saya sudah dalam kondisi begitu dan kalian masih saja menuntut uang dari kami?"     

"Maaf, Pak, dokter memang hanya bertugas di sini dari jam 7 pagi hingga jam 12 siang." Perawat menjawab dengan sikap tenang.     

"Tapi anak saya kambuh sore begini, apakah tidak bisa ditangani cepat? Harus menunggu besok pagi? Dia bisa mati!" Si Ibu berteriak putus asa.     

"Maaf, Bu, prosedur di sini memang begitu." Perawat bersikeras.     

"Memangnya penyakit anak kami harus menyesuaikan dengan jadwal dokternya?" Si Bapak pasien ikut emosi.     

"Maaf, saya akan memberikan obat penanganan sementara dulu. Anda bisa datang ke bagian adiministrasi apabila ingin memanggil paksa dokter yang bertanggung jawab pada penyakit anak Anda." Perawat itu balik badan dan segera pergi dari sana. Benar-benar tidak perduli meski orang tua pasien sudah meraung memanggil perawat tadi.     

"Pak, bagaimana ini?" Ibu itu panik dengan wajah kacau bercucuran air mata karena bingung.     

"Mungkin kita harus meminjam uang ke tetangga atau kerabat, Bu." Si bapak menundukkan kepala dengan lemah. "Aku sudah tidak punya uang lagi kalau harus membayar dokter saat ini, Bu. Maafkan aku."     

"Ya ampun, anakku sayang. Anakku yang aku idamkan bertahun-tahun … apakah dia harus menderita terus begini?" Rupanya bocah pasien itu adalah anak satu-satunya si ibu dan bapak tadi. Anak yang sudah dinantikan sepanjang pernikahan yang telah berjalan belasan tahun.     

Tentu saja akan sangat menyedihkan dan mengenaskan apabila bocah itu pada akhirnya mati hanya gara-gara pihak rumah sakit menolak menangani dengan cepat ketika penyakit bocah itu kambuh di sore ini.     

Menyaksikan adegan di depannya, Zivena geram bukan kepalang. Kalau tidak karena dia harus berbuat kebajikan, ingin sekali dia menampar kepala perawat tadi.     

Maka, untuk melampiaskan kekesalannya, Zivena pun maju ke arah ranjang tempat pasien tidur dengan kondisi memprihatinkan. Dia julurkan kedua tangannya di atas perut pasien. Dia dengan cepat mengetahui bahwa sumber penyakit pasiennya ada di sana.     

Sinar hijau kebiruan muncul dari telapak tangan Zivena seakan menyinari perut bocah yang sakit itu. Sedangkan Gavin hanya berdiri bersandar santai ke dinding sambil melipat tangan di dekat ranjang dan memerhatikan tingkah Zivena.     

Hanya butuh beberapa belas detik saja bagi Zivena untuk menyembuhkan penyakit bocah itu. Bisa dilihat jelas dari tenangnya si bocah setelah sebelumnya dia mengerang kesakitan.     

Menatap anaknya yang mendadak tenang, ibu dan bapak itu menoleh penuh keheranan. "Nak? Nak, apakah kau baik-baik saja?"     

"Bu, aku … perutku rasanya sudah enakan." Bocah itu bahkan bisa tersenyum, sesuatu yang beberapa hari ini sulit dia lakukan karena sakitnya. Bocah itu malah bangun dari tidurnya dan dengan mudah turun dari ranjang.     

Ibu dan bapak bocah itu makin takjub keheranan melihat anak mereka bisa sembuh secara mendadak dan bahkan pucat di wajah bocah itu sudah menghilang sepenuhnya dan rona wajahnya telah kembali.     

Tak sampai setengah jam berikutnya, keluarga kecil itu sudah keluar dari rumah sakit dengan wajah berseri-seri.     

"Zi, kalau kau terus menyembuhkan pasien di sini, bisa-bisa rumah sakit ini kosong, ha ha ha!" Gavin berjalan mengikuti Zivena yang telah melangkah keluar juga dari area itu. "Ohh! Atau bisa-bisa kau malah membuat rumah sakit ini jadi ternama karena pasiennya cepat sembuh dari semua penyakitnya! Bahkan pasien koma saja bisa kembali sembuh."     

"Kupikir yang harus banyak kerja itu tangan dan kaki, yah. Tapi kau sepertinya … mulutmu yang lebih banyak bekerja, Gav." Lidah tajam Zivena seperti biasanya akan meluncurkan kata-kata tanpa ragu, apalagi jika itu mengenai Gavin.     

"Huu … Zi, jangan terlalu kejam padaku, kenapa?" Gavin lekas menyusul Zivena yang terbang.      

"Loh, bukankah kau seorang masokis, Gav?" sindir Zivena.     

"Ehh? Kok aku masokis?" Gavin menjajari terbangnya Zivena dari rumah sakit itu.     

"Ya! Kan kamu rela jadi budak kakak busukku itu, bahkan cinta mati ke dia segala meski dia busuk." Zivena rupanya menyindir Gavin sehubungan dengan Ivy. Dari kalimatnya bisa diketahui bahwa Zivena membenci Ivy.     

Mana mungkin Zivena tidak membenci kakak perempuannya itu? Ivy telah menyebabkan ayah dan ibunya ada dalam kondisi vegetative selama ini dan hanya sang ayah saja yang sudah selamat dari koma panjangnya.     

"Tsk! Halah, Zi … untuk apa sih mengingat yang lalu-lalu begitu. Orang itu harus menatap ke masa depan," kilah Gavin.     

"Huh! Baguslah kalau sel-sel otakmu masih bisa berfungsi. Hampir saja aku hendak menyuruhmu menjual saja otakmu ke restoran." Zivena terbang lebih cepat meninggalkan Gavin.     

Sreett!     

Zivena buru-buru mengerem laju terbangnya karena ada sosok yang tiba-tiba saja memotong jalannya.      

Ada sosok berjubah hitam yang memegang sabit besar menghadang Zivena dan Gavin. "Kau! Apa wewenangmu sehingga kau bisa ikut campur pada tugasku?" serunya marah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.