Devil's Fruit (21+)

Menginterogasi Jiwa Wena



Menginterogasi Jiwa Wena

0Fruit 1383: Menginterogasi Jiwa Wena     
0

Jovano menjanjikan sesuatu pada Wena asalkan gadis itu bersedia melepaskan ilmu hitam Suanggi-nya. Dia menjanjikan Wena bisa kembali normal dan tak perlu mencari mangsa lagi.     

Ini merupakan ucapan nekat saja dari Jovano agar Wena mau sadar dan kembali menjadi manusia biasa.     

Namun, sepertinya Wena sudah terlalu dalam terperosok dan dia meraung marah. "Bebaskan aku! Aku tak mau apapun itu!" Dia sudah merasa sangat terpuruk dan tak yakin bisa kembali menjadi manusia seperti dulu. Dia merasa dirinya kini sudah cacat, maka tak perlu lagi adanya penyelamatan bagi jiwa cacat seperti dia.     

"Wena, aku masih ingin tahu … kenapa kau malah mengambil jalan menjadi Suanggi? Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?" Shona tak tahan dan bertanya ke Wena apa yang menjadi ganjalan di pikirannya.     

Sungguh Shona menyayangkan apabila Wena justru mengambil langkah gelap seperti itu. Memangnya gadis itu ingin apa sampai harus menjual jiwanya ke iblis?     

Yah, meski Shona merupakan keturunan iblis pula, namun dia sama sekali berbeda dengan iblis pada umumnya. Shona sudah mendapatkan nilai-nilai ajaran kemanusiaan dari kelompoknya, terutama dari Andrea, dan dia sama sekali tidak tertarik untuk bertingkah layaknya iblis yang menggoda manusia agar terjerumus ke neraka kelak.     

"Ini tak ada urusannya denganmu, jadi tak usah ingin tahu!" Wena berteriak ke suara Shona terdengar tadi.      

"Sho, sepertinya dia sudah tidak bisa ditolong lagi." Serafima menggelengkan kepala kepada madunya yang berdiri di sampingnya.     

Shona tertunduk sedih. Harusnya Wena tidak begitu. Dia sedih karena Wena sudah menyerah.     

Jovano melihat istri keduanya tertunduk sedih dan bertanya ke Weilong, "Paman Wei, apakah Paman bisa menggali ke jiwa terdalam dari Wena?"     

"Maksudmu jiwa asli dia?" Weilong memastikan.     

"Ya. Itu pun kalau Paman bisa." Jovano sengaja memberikan tantangan ke Weilong.     

"Huh! Kau meremehkan aku, bocah sialan?" Weilong benar-benar masuk ke perangkap Jovano. Begitu mudahnya 'membujuk' si naga mungil menggunakan harga dirinya.     

Dalam beberapa detik saja, mendadak Jovano dan kedua istrinya seperti berpindah tempat meski mereka tidak bergerak sama sekali.     

"Lihat ke depan sana, bocah." Terdengar suara Weilong. "Itu jiwa murni punya gadis itu."     

Jovano memicingkan mata agar bisa melihat dengan jelas di tempat berkabut ini. Ketika dia terus memfokuskan pandangannya, dia mulai bisa melihat ada sosok yang jongkok memeluk lutut sambil meringkuk di sudut sana. Sosok itu pastinya Wena, sebuah jiwa murni milik gadis itu.     

Dan karena itu merupakan jiwa murni bersih Wena, maka dia tidak memakai sehelai kain apapun, polos apa adanya begitu saja.     

Jovano tidak mempermasalahkan mengenai itu, namun berbeda dengan Serafima. Istri pertama Jovano sibuk mencari kain untuk dilingkupkan ke atas tubuh meringkuk Wena, namun kain dari mana? Dia tak punya cincin ruang yang bisa menyimpan apapun seperti halnya Jovano dan Shona di kelompok Blanche.     

Ini cukup mengganggu di pikiran Serafima. Paham akan kegelisahan sang istri, maka Jovano pun berinisiatif mengambil jubah dia dari cincin ruang dan memberikan ke Serafima.     

"Hm, bagus!" Serafima menerima jubah lebar itu dan menaruhnya di atas sosok telanjang Wena.     

Wena mendongak untuk melihat orang-orang yang menghampirinya. "Kalian … kenapa kalian bisa ke sini? Kalian … kalian ini sebenarnya apa?" Ia bertanya-tanya dengan penuh keheranan. Tentu saja. Dia tahu bahwa dirinya merupakan jiwa murni, lalu kenapa Jovano dan kelompoknya bisa menemui dia dalam wujud demikian?     

"Tak perlu memikirkan mengenai itu, Wena." Jovano menjawab dibarengi senyuman simpatik dia. "Yang penting, aku lega kau masih ada."     

Jovano pernah membaca di sebuah buku kuno yang dia temukan di perpustakaan kakeknya, bahwa ketika manusia dikuasai oleh kekuatan iblis, jiwa murni milik manusia itu akan terkurung dan terpenjara di suatu sudut hati terdalam dan akan susah ditemukan.     

Hal yang bisa menarik keluar jiwa murni itu hanyalah keinginan serta tekad kuat dari jiwa manusia itu sendiri untuk mengalahkan hawa jahat yang diberikan iblis yang menguasai dia.     

Akan jauh lebih baik lagi apabila iblis yang menguasai manusia itu sudah dimusnahkan, sehingga jiwa murni itu bisa memiliki kekuatan untuk terbebas dari belenggu iblis.     

Asalkan jiwa murni itu benar-benar masih memiliki niat untuk diselamatkan dari kegelapan, maka dia bisa kembali seperti semula dan terbebas dari iblis tersebut.     

Jovano telah berhasil memusnahkan iblis yang menguasai Wena, maka ketika dia melihat jiwa murni Wena masih ada, betapa leganya dia. Sekarang, dia hanya perlu membujuk jiwa murni Wena karena jiwa gelap yang tadi berwujud Suanggi tentu tak bisa diharapkan untuk menjadi manusia yang terselamatkan.     

"Aku … aku sudah berdosa, aku ini pendosa, tak pantas untuk ditemui." Wena memeluk jubah yang diberikan Serafima dan lebih meringkuk lagi duduk di lantai.     

"Wena, tak ada yang tak bisa diselamatkan, asalkan kau memang memiliki niat kuat untuk kembali normal, maka semua bisa dilakukan." Jovano membujuk.     

"Bagaimana itu bisa terjadi? Aku sudah bersekutu dengan iblis dan iblis sudah menguasaiku, membuatku menjadi monster penjahat kejam hampir tiap malam hingga aku sendiri malu untuk tetap hidup." Wena menyembunyikan wajahnya saking merasa berdosanya.     

"Kenapa kau harus bersekutu dengan iblis? Boleh aku tahu?" tanya Jovano dengan nada pelan agar tidak menakuti Wena.     

"Aku … ini kebodohanku. Semuanya karena kebodohanku." Wena menggeleng-gelengkan kepala berulang kali.     

"Kebodohan yang seperti apa, Wena?" kejar Jovano secara halus.     

"Aku … aku ingin memiliki kekuatan lebih dari manusia biasa. Aku … aku tamak. Aku juga … aku pendendam." Wena mulai lirih memberikan jawaban di akhir kalimatnya.     

"Apa yang membuatmu menjadi seperti itu? Apakah kau memiliki trauma tertentu?"      

"Aku … aku sering menjadi korban perundungan. Aku lemah dan itu membuat orang bisa lebih mudah menindasku." Rupanya inilah alasan paling utama bagi Wena sehingga dia bersedia menjual jiwanya ke iblis.     

Jovano dan kedua istrinya terkejut. Ternyata Wena merupakan korban perundungan. Itu tentunya tidak akan mudah bagi gadis kecil seperti Wena.      

Tapi, tetap saja bukan sesuatu yang bisa dibenarkan jika kemudian Wena malah memilih jalan dari iblis untuk menuntaskan pembalasannya.      

Namun, Jovano tidak ingin menghakimi Wena. Gadis itu sudah cukup menderita saat ini. Maka, dengan suara lembut, dia bertanya, "Boleh aku tahu sudah sejauh apa aksimu selama menjadi Suanggi, Wena?"     

"Aku … awalnya aku ketika nekat pergi ke NTT dan menjadi relawan di sini, aku merasa damai. Tapi … aku mendapatkan perundungan dari beberapa warga di sini sebelum aku pergi ke desa wisata hanya karena aku berbeda rupa dari mereka."     

"Hm … lalu?"     

"Lalu … itu menyebabkan aku mengingat kembali berbagai perundungan yang menimpa aku saat di Jawa. Itu membuat aku sangat sakit hati dan dendam."     

"Dan kau membalas dendam kepada para penindasmu?"     

"Ya, aku sudah membalas mereka semua."     

"Dengan cara menjadi Suanggi?"     

"Ya."     

"Bagaimana sampai kau bisa memilih menjadi itu, Wena?"     

"Awalnya, setelah aku merasa terpuruk dan tak tahu apakah harus kembali ke Jawa atau tidak, tiba-tiba aku mendapatkan bisikan untuk pergi ke sebuah danau kecil di sebuah tempat. Bisikan itu terus saja ada di telingaku."     

"Bisikan seperti apa?"     

"Bahwa aku akan bisa mendapatkan kekuatan untuk membalas mereka semua, tapi aku harus pergi ke danau itu di malam yang ditentukan."     

Kening Jovano berkerut mendengar penuturan Wena. Sudah jelas itu merupakan bisikan dari iblis yang dia musnahkan beberapa waktu lalu. Memang seperti itu metode kerja iblis pada umumnya, memberikan bisikan menyesatkan dengan memberikan iming-iming sesuai dengan yang diharapkan manusia yang sedang terpuruk.     

"Lalu kau pergi ke danau itu?"     

"Ya, aku ke sana dan aku pikir aku hanya akan diberikan kekuatan saja, tapi tak kusangka … aku harus menjadi Suanggi. Aku pasrah waktu itu ketika tahu aku diubah jadi Suanggi oleh iblis itu. Kupikir, aku hanya perlu balas dendam saja."     

"Tapi ternyata kau harus terus mencari mangsa, ya kan Wena?" Jovano sudah bisa mengira mengenai ini.     

Wena mengangguk pelan. "Tadinya aku hendak melenyapkan nyawaku sendiri, tapi aku urung."     

"Apa yang membuatmu urung?" Shona bertanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.