Devil's Fruit (21+)

Berteduh di Gua Dengan Ular Besar Melingkar di Depan



Berteduh di Gua Dengan Ular Besar Melingkar di Depan

0Fruit 1374: Berteduh di Gua Dengan Ular Besar Melingkar di Depan     
0

Jovano, Shona dan Serafima bertemu dengan rombongan pendaki gunung yang sedang turun. Namun, di tengah perjalanan, turun hujan deras dan mengharuskan mereka berteduh di gua yang ditemukan Jovano.     

Sembari mereka mengeringkan diri dan berteduh dari hujan angin di luar, Shona memberikan pengobatan kepada salah satu anggota rombongan itu yang pergelangan kaki kirinya bengkak karena terkilir.     

Shona mengeluarkan tenaga healing dia dan dari telapak tangannya mengeluarkan cahaya kehijauan. Tak ada manusia biasa yang bisa melihat cahaya itu kecuali yang memiliki indera khusus.     

Ketua rombongan itu adalah satu-satunya orang yang bisa melihat cahaya kehijauan dari tangan Shona dan dia terbelalak melihatnya namun tidak berani berkata apa-apa mengenainya. Dia terus diam sambil memerhatikan Shona.     

"Bagaimana, apakah terasa sakit?" tanya Shona pada Rando.     

"Errgghh … tidak sesakit yang aku kira, terima kasih." Rando meringis.      

"Tunggu dulu, ini belum sepenuhnya sembuh." Shona mengusap pelan daerah yang bengkak berulang kali.     

"Benarkah tidak sakit?" tanya teman Rando.     

"Sedikit, sih! Tapi tidak sesakit kalau dipijat tukang urut." Rando menatap ke temannya.     

"Wah, sepertinya Nona ini sangat piawai menyembuhkan luka terkilir." Ketua rombongan itu terus menatap Shona.     

"Terima kasih, hanya kebetulan saja bisa." Shona menjawab disertai senyum kecil dan meneruskan pengobatannya.     

"Bahkan Nona ini terlihat bule tapi ternyata sangat fasih berbahasa Indonesia." Teman Rando tanpa malu-malu memberikan kalimatnya.     

"Hanya pernah mempelajari bahasa Indonesia waktu kecil." Shona terus berkonsentrasi.     

"Sudah, sudah, kalian jangan terus mengganggu Nona ini yang sedang fokus mengobati Rando." Ketua rombongan pun menghentikan anggotanya dari mengajak bicara Shona.     

Lalu, mereka semua pun patuh dan tidak lagi mengajak bicara Shona. Sementara itu, ketua rombongan yang penasaran dengan Jovano dan kelompoknya pun mendekat ke pemuda itu, duduk menyebelahi sang putra cambion.     

"Kalian bertiga dari mana? Kami lihat kalian turun dari arah gunung. Apakah kalian juga pendaki?" tanya ketua rombongan.     

"Ohh, ya, benar." Jovano mengiyakan saja agar tidak mencurigakan.     

"Tapi di mana carrier kalian? Bahkan pakaian kalian juga terlalu kasual untuk orang yang sedang mendaki gunung." Ketua rombongan menanyakan hal paling penting.     

Jovano tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan menohok begitu. Ya, dia memang tidak membawa tas ransel apapun yang biasa dipakai para pendaki, dan baju mereka juga sangat kasual seperti baju main biasa. "O-Ohh, itu kami … ransel kami sempat terjatuh ke jurang dan juga jaket serta baju hangat kami ada di dalam ransel kami."     

"Ohh, begitu." Meski masih menyimpan keraguan akan jawaban Jovano, namun ketua rombongan memilih untuk mengangguk saja, membiarkan Jovano dengan alasannya yang tak masuk akal. "Apa kalian baru pertama ini mendaki gunung Kelimutu ini?"     

"Ahh, ya benar." Jovano mengangguk.     

"Gunung ini memang bukan termasuk gunung yang tinggi, tapi danau tiga warna gunung ini merupakan keajaiban alam yang sangat menggugah para pendaki untuk mendatangi dan melihatnya." Ketua rombongan mulai membuka obrolan.     

"Ahh, ya benar, aku ke sini dengan kelompokku juga karena ingin melihat keindahan danau yang terkenal ini." Jovano mengkuti saja alur pembicaraan yang dibuat ketua rombongan. "Ohh, namaku Jo."     

"Aku Medo." Ketua rombongan menyambut uluran tangan Jovano untuk berkenalan.     

"Danau Kelimutu ini sangat indah, yah!"     

"Benar, Kelimutu itu gabungan dari kata 'keli' yang berarti gunung dan 'mutu' yang berarti mendidih. Kalau yang dipercaya penduduk di sini, warna pada danau memiliki arti masing-masing dan juga memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat."     

"Benarkah?" Alis mata Jovano menaik dengan dramastis.     

Medo mengangguk. "Danau yang berwarna biru disebut 'Tiwu Nuwa Muri Koo Fai' merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang meninggal. Sedangkan yang berwarna merah disebut 'Tiwu Ata Polo' dipercaya sebagai tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang selama hidupnya sering melakukan kejahatan. Kalau yang berwarna putih disebut 'Tiwu Ata Mbupu' merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang meninggal."     

"Wah, sepertinya Kak Medo tahu banyak mengenai danau itu, yah!" Jovano takjub akan keterangan yang diberikan Medo mengenai Danau Tiga Warna.     

"Hanya mendengar ceritanya sejak kecil." Medo merendah, lalu berkata lagi, "Penduduk di sekitar danau itu percaya kalau danau berubah warna, maka mereka harus memberikan sesajen bagi arwah-arwah orang yang telah meninggal."     

"Apakah kalian memanjat ke atas untuk … memberikan sesajen?" tanya Jovano.     

"Tidak, kami ke atas hanya untuk melihat apakah danau sudah berubah warna atau tidak. Dan kami naik hanya untuk kesenangan saja, bukan untuk apa-apa." Medo meringis cepat saat menjawab Jovano.     

"Sepertinya hujan akan turun semalaman. Apakah kita akan benar-benar aman di dalam gua ini?" tanya salah satu anggota.     

"Aku kira aman, kok!" Jovano mengangguk. Ia bisa berkata demikian yakin karena dia sudah melakukan sesuatu di mulut gua tadi waktu rombongan masuk ke dalam.     

Tiba-tiba, terdengar jeritan ngeri dari salah satu anggota, dia berlari sambil berteriak, "Ular! Ada ular besar di depan gua! Ular di depan mulut gua!" Rupanya dia baru saja dari depan sana dan kembali dengan panik.     

Segera saja semua orang pun bangun dari duduk mereka dan bergegas ingin melihat ular yang dimaksud. Mereka berjalan cepat ke depan.     

"Astaga! Ularnya besar sekali!" jerit salah satu dari mereka.     

Yang lain pun melihat dengan mata kepala sendiri bahwa di depan mulut gua terdapat ular sanca sebesar dua kali paha lelaki dewasa dengan panjang yang mungkin saja mencapai belasan meter.     

Ular itu hanya diam dan bergelung saja di depan mulut gua. Melihat penampakan ular sebesar itu, tentu saja mereka panik dan hendak melakukan sesuatu.     

Namun, Jovano mencegah mereka. "Jangan! Jangan apa-apakan dia! Dia tidak ingin masuk ke sini, percayalah!"     

"Ka-Kau yakin, Jo?" tanya Medo saat para anggotanya sudah bersiap dengan ranting besar di tangan mereka.     

"Aku yakin. Lihat saja, dia hanya bergelung saja di sana dan tidak berniat masuk. Kalau dia memang ingin masuk, tentu saja dia tidak begitu saja di situ, kan?" Jovano berusaha meyakinkan anggota rombongan. "Ayo, lebih baik kita kembali ke dalam saja dan keringkan tubuh kita daripada nanti demam."     

"Bagaimana kalau ular itu masuk ke sini?" Medo masih ragu.     

"Tidak, aku melihat dari gelagatnya, dia tidak akan datang ke sini." Jovano terus meyakinkan. "Aku jamin." Tentu saja dia berani memberikan jaminan ucapannya karena dia sendiri yang membuat formasi penghalang di mulut gua sehingga ular tidak bisa masuk dan hanya bisa menggelung diri di depan gua saja.     

Namun, tidak mungkin Jovano mengatakan pada mereka bahwa dia sudah membuat penghalang ajaib. Ia akan dianggap aneh dan tidak waras apabila mengatakan itu pada manusia biasa, bukan?     

"Nah, sudah selesai." Shona menyelesaikan pengobatan dia ke kaki Rando.     

Mata Rando dan yang lainnya membola lebar menyaksikan pergelangan kaki bengkak kebiruan sudah kembali normal seakan tidak terjadi apa-apa di sana.     

"Bagaimana bisa?" Rando sampai melongo keheranan.     

"Atas seijin semesta," jawab Shona sambil tersenyum.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.