Devil's Fruit (21+)

Bertemu Rombongan



Bertemu Rombongan

0Fruit 1373: Bertemu Rombongan     
0

Sudah ditentukan oleh malaikat yang membawa kristal jiwa Andrea bahwa jika Jovano menginginkan potongan terakhir kristal itu, maka dia harus mengumpulkan 10.000 kebajikan di bumi manusia.     

Dan sesuai dengan pengaturan Jovano, maka mereka terbagi menjadi 2 grup. Yang pertama adalah grup terdiri dari Jovano dan kedua istrinya. Sedangkan grup satunya lagi terdiri atas Zivena dan Gavin serta Hong Wang atas permintaan Jovano.     

"Om Ver, tolong dampingi adikku dan Gavin," pinta Jovano mengenai itu kepada Hong Wang sebagai burung api vermilion.     

"Skriii! Kenapa aku harus menuruti ucapan bocah sepertimu?" Hong Wang tidak mudah tunduk.     

"Yah, setidaknya aku bisa memohon kepada opaku agar dia tidak perlu memanggangmu nantinya." Jovano dengan berani membawa nama sang kakek untuk mengancam Hong Wang. Ia menyeringai nakal.     

"Kau! Kau berani mengancamku? Skriiii!" Hong Wang mulai emosi, mata apinya berkobar-kobar bagai ingin melahap Jovano.     

"Tentu saja aku justru sedang ingin menyelamatkanmu, Om Ver!" tandas Jovano tanpa ragu-ragu. "Kau harus tahu rahasia ini, bahwa sebenarnya opa sangat ingin memakan dagingmu, berharap dia tidak akan pernah bisa mati jika memakanmu. Ssstt, ini rahasia antara kita saja, yah Om Ver!"     

Hong Wang menelan ludahnya. Dia paham seperti apa bengisnya raja iblis, dan sesuai yang dia ingat, King Zardakh sering menatap kepadanya dengan tatapan aneh. Jadi, itu merupakan tatapan ingin menyantap dia? Mau tak mau, Hong Wang kecut mendengarnya dan terpaksa menuruti permintaan Jovano.     

Dalam waktu sekejap, Hong Wang, Zivena dan Gavin pun pergi dari langit Indonesia dan akan menebar kebajikan ala Zivena di luar Indonesia.     

Karena Indonesia akan dijelajahi Jovano, maka dia dan kedua istrinya pun mulai terbang turun ke kaki gunung.     

"Gila, 10.000 kebaikan … memangnya akan butuh berapa tahun untuk mengumpulkan hal seperti itu?" Serafima menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membayangkan banyaknya kebajikan yang harus mereka kumpulkan di bola kristal itu.     

"Aku yakin tak sampai bertahun-tahun, sayank." Jovano meyakini itu. "Yah, karena ada banyak hal buruk di sekitar manusia. Percayalah." Ia mengedipkan satu matanya ke istri pertama.     

"Ayo, semangat! Semangat!" Shona menyeru untuk mengobarkan semangat mereka.     

.     

.     

Tiba di kaki gunung, mereka bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang turun gunung. Wajah mereka terlihat susah, bahkan salah satu dari mereka seperti kepayahan, berjalan menggunakan tongkat.     

"Kalian … baru saja mendaki, kah?" tanya Jovano pada rombongan itu.     

"I-Iya." Salah satu dari mereka menjawab.      

Melihat orang itu menjawab tidak yakin, membuat Jovano curiga. "Apakah ada yang terjadi? Boleh kami bantu?" Ia sambil melirik ke orang yang jalannya menggunakan tongkat.     

"Ini … tidak usah, terima kasih." Orang yang berjalan paling depan menjawab ke Jovano, sepertinya dia ketua rombongan.     

Baru saja mereka berbincang sebentar, mendadak saja mendung tebal menyelimuti langit di atas mereka.      

"Ahh, kenapa harus tiba-tiba mendung tebal begini saat masih di sini?" keluh salah satu dari rombongan itu.     

"Ketua, lebih baik kita segera mencari tempat untuk berteduh dulu malam ini." Ada yang mengusulkan demikian. "Apalagi Rando terlihat makin tidak kuat." Ia membicarakan mengenai orang yang berjalan tertatih dengan tongkat.     

"Hghh, baiklah. Bersiap membuat tenda!" Ketua rombongan pun berseru pada anggotanya.     

Mereka segera mencari tanah yang tegolong lapang dan datar, lalu bergegas mendirikan tenda.     

Baru saja tenda didirikan, mendadak ada angin kencang dan meniup terbang tenda yang belum sempurna didirikan.     

"Astaga! Tenda kita!" Rombongan itu menatap sedih ketiga tenda yang dibawa terbang angin kencang. Namun, mereka tidak bisa berlama-lama meratapi itu karena titik-titik hujan mulai turun dan berubah kian deras.     

"Ayo segera cari gua terdekat!" seru Jovano. Ia bergerak mengedarkan matanya ke sekeliling. "Di sana! Sepertinya di sana ada gua!" Telunjuknya menunjuk ke sebuah arah sekitar belasan meter dari tempatnya berdiri.     

Meski ketua rombongan itu agak heran dengan cepatnya Jovano menemukan gua di saat hujan angin begini yang menghalangi pandangan, mau tak mau mereka pun berlari ke arah gua yang ditunjuk Jovano.     

Satu demi satu dari mereka masuk ke gua dengan pakaian basah. Namun, tidak ada dari rombongan itu yang berani masuk lebih dalam lagi dan hanya berdiri saling berhimpitan di mulut gua.     

Jovano dan dua istrinya heran melihat rombongan itu dan mereka masih masuk ke kedalaman gua. "Kenapa kalian berdiri di sana? Di mulut gua masih terkena air hujan. Ayo, masuk!"     

Para anggota rombongan itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka ragu mengikuti Jovano.     

"Kenapa mereka berani sekali masuk begitu saja ke gua seperti ini?" bisik salah satu anggota rombongan pada orang di sebelahnya.     

"Benar, apakah dia tidak takut ada ular di dalam sana? Atau mungkin hewan buas lainnya." Si teman menjawab sambil ikut berbisik.     

Suara mereka tentu terdengar oleh Jovano dan dia meringis. Dia memang bisa mendengarnya meski selirih apapun mereka berbisik. Tadi dia sudah melihat gua itu beserta isinya pula. Gua itu kosong, yah saat ini memang kosong. Dia sudah menggunakan pengelihatan supernya untuk hal itu.     

Karena itu, Jovano berani masuk hingga ke dalam. Namun, rupanya rombongan itu masih ragu.      

Tak ada yang bisa dilakukan Jovano selain menyalakan api di telapak tangannya, hanya api biasa saja, bukan api hitam. Tapi, agar tidak terlihat aneh di mata rombongan, dia lekas mengambil ranting besar yang berserakan di gua untuk digunakan sebagai obor.     

"Ayo, lebih baik kita masuk dan berteduh lebih baik di dalam. Aku sudah membuat beberapa obor untuk penerangan kita." Jovano membujuk rombongan yang masih bertahan di mulut gua.     

Ketika rombongan itu menoleh ke belakang mereka, terlihat memang gua sudah terang oleh beberapa obor. Meski di hati mereka tergelitik rasa penasaran bagaimana bisa Jovano menyalakan api saat mereka tadi sudah basah oleh guyuran hujan deras, namun mau tak mau mereka pun mulai memberanikan diri masuk ke dalam.     

"Apakah tidak ada hewan buas di dalam sana?" tanya ketua rombongan.     

"Tidak ada. Beruntung sekali kita menemukan gua kosong ini." Jovano meyakinkan sambil berjalan memimpin mereka memasuki kedalaman gua. "Nah, sekarang kita bisa saling menghangatkan diri dan mengeringkan pakaian kita."     

Rombongan itu pun megangguk dan mulai duduk di bongkahan-bongkahan batu yang telah dibersihkan. Api unggun pun dibuat.     

"Oh ya, anggota kalian ada yang terluka?" tanya Jovano sambil mencari orang yang tadi menggunakan tongkat.     

"Ahh, ya, Rando." Ketua rombongan menunjuk ke Rando yang sudah duduk bersandar pada salah satu anggota.     

"Boleh aku mencoba memeriksanya?" tanya Shona sambil mendekat ke Rando.     

Walau wajah Rando dan yang lainnya terlihat ragu, namun Rando masih juga menyodorkan kaki kirinya yang terkilir parah.     

"Wah, sampai sebengkak ini." Shona menatap pergelangan kaki Rando yang memar membiru karena terkilir cukup lama tanpa pengobatan. "Aku akan mencoba menyembuhkannya, tapi tolong tahan sakitnya sebentar, yah!"     

Rando menggigit bibir seperti ingin menolak. "Apakah sangat sakit?"     

"Mungkin. Tapi aku akan usahakan semaksimal mungkin tidak sakit." Shona menjawab. "Kenapa? Takut? Daripada ini dibiarkan lebih lama, akan bertambah parah dan bisa-bisa akan sulit sembuh kalau tidak lekas ditangani."     

"Ba-Baiklah." Rando pun pasrah.     

Shona segera mengerahkan tenaga healing dia, tangannya menyentuh pergelangan kaki kiri Rando. Meski sebenarnya ada cahaya hijau dari telapak tangan Shona, namun manusia biasa tidak akan bisa melihatnya.     

Berbeda dengan ketua rombongan, dia memiliki indera khusus dan dia terbelalak melihat cahaya di tangan Shona, tapi dia diam saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.