Devil's Fruit (21+)

Masuk ke Hutan Ilusi



Masuk ke Hutan Ilusi

0Fruit 618: Masuk ke Hutan Ilusi     
0

Di tempat lain, tiga bocah dan dua Beast masih menjelajah alam sekitar kawah.      

"Sepertinya ini udah waktunya kita pulang. Sebentar lagi udah jam tidur, ya kan?" Jovano berkata sambil duduk tenang di atas punggung Noir bersama Zevo.      

Vargana dan Zevo mengangguk.      

"Oke, ayo kita pulang kalo gitu." Vargana setuju. "Sabrina, kau ingat jalan pulang, ya kan?" tanyanya sambil menepuk leher kokoh si macan sabertooth.      

"Tentu saja, Nona. Aku ini Beast yang juga mengandalkan daya penciumanku. Tidak mungkin aku tersesat." Sabrina menjawab penuh percaya diri.      

Bersama Noir, dua kucing besar itu pun berjalan beriringan bersama bocah-bocah di punggung mereka.      

Namun, setelah hampir satu jam berjalan, Sabrina mulai curiga. "Rasanya perjalanan kita ke sini tidak sampai selama ini waktunya? Kau setuju denganku, Noir?" tanyanya ke sang suami.      

"Kurasa begitu. Tapi ini kenapa bisa kita lama sekali di sini?" Noir juga mulai curiga.      

"Apakah... kita hanya berputar-putar saja selama ini?" Sabrina mulai waspada.      

"Berputar-putar?" ulang Noir dengan nada tanya. "Tunggu sebentar." Ia berhenti untuk menandai sebuah pohon menggunakan air seninya. Ini adalah normal bagi singa berbuat demikian untuk menandai teritori atau sekedar tanda bahwa dia pernah ada di sana.      

Mereka berlima kembali melanjutkan perjalanan.      

Noir berhenti setelah mereka berjalan sekitar setengah jam. "Celaka, Bree sayank... ini... ini ada tanda kencingku di sini. Kita..."      

"Kita dari tadi hanya berputar saja, begitu kan?" Sabrina menyambung ucapan Noir. Rautnya jatuh menyadari bahwa mereka tersesat.      

"Apakah kita sungguh-sungguh tersesat?" tanya Vargana. Ia menatap sekeliling. Tempat mereka menjelajah memang merupakan sebuah hutan tanpa salju karena udara hangat dari kawah masih bisa terbawa hingga ke hutan ini.      

"Mungkin, bila dikatakan tersesat, kita lebih mirip dikatakan disesatkan." Noir memberikan opininya.      

"Disesatkan?" Jovano naikkan dua alisnya. "Maksudnya... ini ada pihak yang sengaja menyesatkan kita? Membuat kita justru berputar-putar saja tanpa menemukan jalan kembali ke kawah?"      

Noir dan Sabrina mengangguk.      

"Astaga, ini seperti ilusi..." Jovano mendesah keras.      

"Tunggu, aku akan hubungi para orang dewasa." Zevo menekan anting komunikasinya. "Su-susah..."      

"Apa maksudmu susah, Zev?" tanya Vargana mulai bingung.      

"Aku... anting komunikasi aku... tidak menjangkau mereka. Tidak bisa terkoneksi dengan mereka!" seru Zevo. Kini dia mulai panik dan takut.      

"Tidak bisa terkoneksi..." Vargana juga mulai diselipi rasa takut di hatinya. "Kalau... kalau kita terus disesatkan di sini dan ada pihak yang ingin berbuat jahat ke kita, bukankah kita seperti tofu yang dipotong pisau panas?" Raut gelisah muncul di wajahnya.      

"Tenang, Va. Jangan buru-buru panik. Zevo juga. Kalian harus tenang dan berpikir lebih positif juga jernih." Jovano berusaha menenangkan dua rekannya. "Jadi... anting komunikasi tidak bisa berfungsi di sini? Oke... ayo kita bergerak di spot yang lain, jangan di sini."     

Sabrina dan Noir patuh. Kedua kucing besar kembali berjalan dan Jovano sudah menyuruh Noir untuk tidak berhenti di spot yang ada tanda air kencingnya seperti tadi.      

"Apakah di sini, Noir?" tanya Jovano ketika si Singa Petir berhenti berjalan. Noir mengangguk. "Oke, kita sekarang coba bersama-sama menghubungi mereka dengan anting komunikasi, semoga saja di sini bisa."      

Ketiga bocah itu pun segera menekan anting komunikasi mereka. Jovano berharap daerah ilusi itu memiliki celah yang bisa dimasuki sinyal. Dia sengaja meminta Noir untuk berhenti dan menandai area sambil mereka mencoba memakai anting komunikasi.      

Mereka sudah melakukan upaya ini sebanyak 3 kali dan belum membuahkan hasil.      

"Gimana, Jo?" Vargana terlihat putus asa menatap sepupunya.      

"Aku nggak bisa bayangin kalau kita tidak bisa ditemukan mereka..." Zevo juga putus asa.      

"Jangan berpikir buruk dulu, dong guys!" Jovano tetap berusaha menaikkan semangat mereka. "Kita harus terus mencoba mencari celah sinyal agar bisa menghubungi mereka. Aku yakin jika sampai larut malam kita tidak kembali, pasti mereka akan mencari kita."      

Vargana dan Zevo sama-sama mengangguk lemah. Sungguh-sungguh berharap metode pencarian sinyal seperti yang diperintahkan Jovano pada Noir, berhasil.      

Sekarang, adalah spot keempat yang belum mereka jajal. Noir sudah menadainya begitu berhenti di sana. Dan tiga bocah itu mulai menekan anting komunikasi mereka, sangat berharap bisa menjangkau koneksi dengan para orang dewasa di kawah.     

"Ada! Ada bunyi sambung!" teriak Zevo penuh gembira dan lega. "Halo? Halo?! Apakah kalian mendengarku?" tanyanya keras-keras.      

"Gimana, Zev? Ohh, tunggu... ada sahutan dari punyaku. Ma? Mama? Papa? Apa kalian bisa dengar aku?" Vargana berseru cukup keras.      

Tapi, hanya ada bunyi distorsi dari anting komunikasi.      

"Va-krsskkh! Mana-ksrrkkhh! Krssskkhh!" Jawaban Myren di seberang sana ditimpali oleh suara distorsi layaknya gangguan sinyal parah.      

Jovano juga mendapatkan jawaban terputus-putus dari ibunya. "Mom, ini aku! Kami tersesat! Ayolah, Mom! Dengar baik-baik dan kumpulkan suara putus-putusku ini! Kami tersesat! Kami tersesat! Kami... arghh percuma!"     

Geram dengan gangguan koneksi yang terjadi, Jovano pun melonjak ke angkasa dan kembali menekan anting komunikasi. "Mom!"      

"Jo! Jo kamu di mana? Kenapa belum pulang?!" Suara Andrea di seberang kini bisa jernih begitu Jovano melayang lumayan tinggi di angkasa.      

Rupanya sinyal bisa lebih baik setelah Jovano naik ke atas melebihi tingginya pucuk pohon di sana. "Mom, kami sepertinya tersesat di suatu tempat ilusi!"      

"Jangan ngawur! Tempat ilusi apaan?!" Andrea makin panik setelah Jovano menyebut mengenai ilusi. Jika bocah-bocah itu tersesat normal, akan mudah dicari. Tetapi jika berkaitan dengan area ilusi, itu akan menyusahkan.      

Karena di antara tiga bocah itu hanya Jovano yang bisa terbang, hanya dia yang bisa berkomunikasi menggunakan anting komunikasi. "Mom, yang penting, temukan kami, segera! Aku khawatir kalau ada pihak yang sengaja memerangkap kami di sini!"      

"Jo!" Kini terdengar suara Myren. "Jo, katakan, di tempat seperti apa kalian saat ini? Jelaskan dengan detil!"      

Jovano pun lekas berikan penjelasan lengkap mengenai area dan ciri fisik hutan yang dia ingat.      

"Oke, Jo. Kalian, tetaplah di sana!" perintah Myren melalui anting komunikasi. "Aku dan beberapa orang akan segera mencari kalian. Jangan lakukan tindakan sembrono apapun, mengerti?"     

"Mengerti, Jenderal." Jovano menyahut dan mulai turun untuk mengabarkan ke yang lain mengenai pembicaraan dia dan Myren.      

"Jadi... mereka pasti akan mencari kita malam ini, kan Jo?" Vargana mulai terlihat bersemangat.      

Jovano mengangguk. "Kita diminta untuk menunggu di sini saja dan tidak melakukan tindakan konyol apapun yang bisa membahayakan diri kita."      

"Kita akan selamat! Kita pasti akan selamat!" Zevo terkekeh girang. "Jo, bisakah kau menghubungi kakekmu?"     

"Opa?" Jovano miringkan kepalanya, heran. "Kenapa harus hubungi Opa?"      

"Karena alam ini adalah alam milik dia. Tentu saja sebagai pemilik, dia pasti tau sesuatu mengenai area aneh ini, iya kan?" Zevo memaparkan pemikirannya.      

"Ohh, baiklah, aku akan mencoba menghubungi Opa. Entah bisa atau tidak, ini patut dicoba." Jovano kembali melonjak di angkasa dan diam melayang melebihi pucuk tertinggi pohon di sana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.