Devil's Fruit (21+)

Klien Rewel



Klien Rewel

0Fruit 452: Klien Rewel     
0

Paginya, Andrea terbangun tepat ketika Shelly masuk kamar untuk mengurus Jovano.     

Andrea memeriksa pakaian tidurnya. Komplit. Tapi ia tau ia tidak bermimpi. Ia sungguh diperkosa berkali-kali tadi malam meski saat itu ia ditelanjangi bulat-bulat.     

Turun dari ranjang dengan wajah kusut muram, ia langsung ke kamar mandi. Menangis di bawah kucuran shower karena merasa hina disentuh pria lain selain Dante.     

Kenapa dia tak bisa berkutik? Kekuatan apa yang dimiliki makhluk itu hingga Andrea seperti kerbau dicocok hidung?     

Usai mandi dan berpakaian, ia pun turun ke bawah, bergabung dengan tiga orang di ruang makan.     

"Ndre, kok mukamu kusut?" Shelly merasa heran. Ia sodorkan piring nasi ke sahabatnya. "Ada apa? Kamu... habis nangis?"     

Andrea mendongak ke Shelly. "Hah?" Heran, apakah matanya terlihat sembab? Sangat kentara kah?     

Shelly segera mendekat dan peluk sang sohib. "Ada apa, Ndre. Ngomong ke aku, jangan ragu-ragu."     

Andrea benar-benar dilema. Sungguh simalakama jika dia mengungkapkan pemerkosaan bertubi-tubi yang dia terima. Akan heboh pastinya. Dan sangat amat memalukan!     

"Gue... gue cuma... mimpi jelek semalem. Iya, cuma mimpi jelek." Alasan itupun diberikan. Andrea tak punya pilihan terbaik selain itu untuk saat ini. Dia belum siap.     

Shelly mengelus lembut puncak rambut Andrea. Jovano juga turut mendekat dan memeluk ibunya. Andrea ingin menangis keras, tapi akan terlihat konyol.     

Akhirnya Andrea melepaskan pelukan Shelly dan Jovano diiringi senyum. "Sori, bikin kalian kuatir." Ia usap pipi anaknya agar Jovano tidak menangis.     

"Hari ini mungkin aku akan cari lokasi untuk kafe kita, beb." Andrea segera alihkan pembicaraan. Ia tak mau berlama-lama memikirkan kejadian pahit itu.     

"Oke, Ndre. Semoga dapat yang strategis, yah!"     

"Hu'um."      

Usai sarapan, Andrea jalan menuju mobilnya. Namun, baru saja ia akan menekan tombol garasinya, sebuah mobil berhenti di halaman depan town house-nya.     

"Lu ngapain ke sini, kampret?" Ia tatap Giorge yang langsung bukakan pintu mobil untuknya sembari tersenyum simpatik.     

"Ayok, berangkat bersama, Rea. Ini tugasku sebagai sekretaris."     

Andrea putar bola matanya. "Alesan basi, pret! Ogah! Gue pake mobil sendiri!" Ia kembali berjalan untuk keluarkan mobil dari garasi.     

"Kita ini langsung ke klien, Rea. Makanya aku menjemput kamu."     

"Langsung ke klien?" beo Andrea. Giorge mengangguk. Tak bisa mengelak, Andrea pun masuk ke mobil tuan Vampir.     

"Kamu sudah sarapan?"     

"Udah." Andrea segera memakai sabuk pengaman. "Klien mana? Kok gue yang turun tangan? Bagian marketing kenapa?"     

"Klien yang ini rewel walaupun berani beli banyak. Tim marketing sudah beberapa kali bicara pada dia tapi dia minta kamu langsung yang memberikan ulasan dan membuat dia percaya properti kita bagus."     

"Songong amat tuh orang. Kayak kita yang butuh aja."     

"Ya, memang kita yang butuh uang mereka, kan Rea."     

Andrea terdiam. Benar kata Giorge. Perusahaan yang butuh klien agar profit terus diterima. Menghembuskan nafas berat, Andrea pun menyetujui.     

Mereka tiba di sebuah kawasan elit yang dijual Zean Prop. Di salah satu rumah besar, kedua orang itu masuk untuk menemui klien yang sudah menunggu.     

"Nah! Akhirnya turun gunung juga Bu Direktur Utama."     

Andrea melotot. "Kancut! Ternyata kalian!"     

"Eh! Berani menghina klien? Bisa kami batalkan, loh! Lalu kami akan sebarkan pemilik Zean Prop sangat kasar."     

"Halah, dodol! Gak usah sok-sok ngancam, dasar kardus indomi!" Andrea tarik rambut pirang kliennya.     

"Aduh, sialan! Dasar Cambion brengsek gak punya tata krama!"     

"Sudah, sudah. Ya ampun, kalian ini kenapa kalau ketemu selalu berkelahi? Bisakah kalian begitu di ranjang, agar aku tonton?"     

Revka mendelik gahar ke suaminya. "Berani ngucap seperti itu lagi, jangan harap dapat jatah sebulan!"     

"Aduh, kitty sayank, jangan kejam begitu. Iya, iya, aku simpan angan-angan tadi dalam benak saja. Hehe..." Pangeran Djanh terkekeh.     

Ternyata klien yang ngotot minta bertemu Andrea adalah Revka dan Djanh. Tak heran kalau Giorge paham harus menghadirkan Andrea setelah tim marketing nyaris menyerah dengan kerewelan Revka.     

Kini keempat makhluk beda ras itu sudah duduk mengitari meja kafe.     

"Kalian kalo mo ketemu gue kagak usah ngerepotin pegawai gue, napa?!"     

"Eh, enak aja ngerepotin," bantah Revka. "Justru ini menguji anak buahmu, sampai dimana kemampuan mereka meyakinkan kami. Dan nyatanya... payah."     

Andrea putar bola mata. "Ya iyalah mereka nyerah kalo ngadepin babon macem elu, nek!"     

"Eh, Cambion bedebah, berani hina aku?!"     

"Hilih, udahlah, nek, kagak usah caper. Noh, diliatin orang-orang. Malu-maluin ras aja."     

Kalau tidak karena orang-orang di situ menatap Revka dan Andrea, pasti Nyonya Nephilim sudah meneruskan cecaran pedasnya ke Andrea.     

"Kita berencana pindah ke sini, sweetie..." Djanh melerai keduanya dengan menghadirkan topik bahasan yang lebih berfaedah.     

"Gak usah manggil dia sweetie!"     

"Iya, kitty sayank, oke enggak manggil sweetie lagi ke Andrea."     

"Kintilmu, nek! Ama gue aja lu cemboker? Pfftt!"     

Dan dua pria di situ memilih membiarkan dua wanita tersebut saling lempar kicauan pedas satu sama lain selama seperempat jam.     

Setelahnya kedua perempuan pun sama-sama diam. Mungkin kelelahan.     

"Kalian kenapa pindah ke sini? Emangnya Underworld kagak nyaman lagi? Udah penuh ama sperma kalian berdua?" Andrea memulai pecahkan hening.     

Djanh menggeleng. "Bukan itu. Kami... hanya ingin suasana baru. Revka kitty juga terus merengek ingin tinggal dekat denganmu." Ia lirik nakal ke istrinya.     

Revka mendelik seram. "Kapan aku merengek macam itu?! Najis bianglala!"     

"Yang benar, najis tralala, kitty sayank."     

"Eh, suka-suka mulut aku, dong! Masbuloh?" Revka tak mau kalah.     

Pangeran Djanh terkikik. Ia mendapatkan hiburan tersendiri jika bisa membuat Revka mengomel tak karuan. Apalagi jika di atas ranjang.     

"Mau ambil berapa? Katanya banyak?"     

"Rencananya, aku dan beberapa kerabatku akan menetap di sini untuk waktu entahlah. Kalau kami bosan, kami bisa jual atau sewakan ke orang lain." Djanh menyahut.     

"Butuh berapa?"     

"Perusahaanmu jangkauannya luas, kan?"     

"Iya."     

"Lima di Roppongi. Dua di Shibuya, enam di Hokkaido, dan empat di Kyoto," papar Djanh.     

"Hastaga!" Andrea takjub. "Transmigrasi bedol desa, yak?"     

"Itu mungkin akan bertambah," imbuh Djanh.     

"Widiihh... rekening gue bisa gendut, nih! Asek!" Andrea tersenyum lebar membayangkan berapa nominal yang akan dia terima nantinya. Keluarga besar Pangeran Djanh bukan receh semata di Underworld. Semuanya kaya.     

"Makanya kau harus ngomong yang sopan ke aku, monyet!" Revka menyambung.     

"Hilih, tutup salep nyelonong aja!" ledek Andrea sambil terbahak.     

"Aku bisa batalin, loh!" ancam Revka.     

"Iya, deh, iya ibu kitty. Sendika dhawuh..." Andrea berlagak haturkan hormat ke Revka. Djanh sampai menahan tawa.     

"Gak ada yang boleh manggil kitty ke aku kecuali monyong satu ini!" Revka menuding ke suaminya.     

Andrea terbahak singkat. Lalu mulai serius. "Kenapa keluarga besar Pangeran pindah ke sini?"     

"Karena mereka sedang hobi nonton anime."     

"HAH?!" Andrea sampai terkaget-kaget mengetahui hobi baru keluarga besar Pangeran Incubus tersebut. "Anime apa?"     

"Anime hentai." Pangeran Djanh menjawab kalem.     

"HUAPPAAHH?!"     

-0-0-0-0-0-     

Usai menemui Revka dan Djanh, Andrea sibuk mencari sesuatu di ponselnya. Lalu ia menoleh ke Giorge. "Pret, cariin gue lokasi untuk kafe gue. Pokoknya musti strategis dan lumayan luas."     

"Ada, Rea."     

"Di mana?"     

"Izumi Garden Tower."     

"Halah, kampret lu!"     

"Memang ada, kok. Di lantai 17 masih ada lahan luas bekas restoran sushi. Kamu bisa sewa atau beli. Dan bisa dibilang menguntungkan karena lokasi strategis, sering dilewati banyak orang karena itu tempat berbelanja dan wisata kuliner, kan?"     

"Saingan banyak, dong!"     

Giorge menoleh ke bosnya. "Enggak, Rea. Asalkan kamu paham celah untuk bisa lebih maju dari mereka. Enggak ada yang perlu ditakutkan menjadi pesaing."     

Andrea termenung akan kalimat sekretarisnya. "Coba kita tinjau dulu gimana tempatnya."     

Ternyata tempat yang dimaksud Giorge benar bekas restoran sushi modern. Luas dan sudah rapi tanpa perlu renovasi.     

"Kira-kira mahal, gak yak?" Andrea ketuk-ketukkan jari ke dagu.     

Begitu mereka menghubungi pemilik kios, Andrea melongo mendengar uang sewa per tahun.     

"Anjir, mahal!"     

"Apa budgetmu kurang dari itu, Rea?"     

Andrea terdiam. Tak perlu Giorge tau detil berapa budget yang ia punya.     

"Kayaknya gue perlu ketemu daddy's longlegs gue, nih!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.