Devil's Fruit (21+)

What The—



What The—

0Fruit 450: What The—     
0

Namun, rupanya pria itu belum mau berhenti. Ia membalikkan tubuh Andrea dan tenggelamkan lagi penisnya di vagina setelah Andrea berhasil ia posisikan menungging.     

Kembali Andrea hanya bisa pasrah, berharap ini lekas usai. Dan sangat berharap ini hanya mimpi buruknya saja. Jangan sampai ini sebuah kenyataan.     

Tapi, maaf, Andrea... ini kenyataan. Memang benar-benar ada sosok yang menggagahimu malam ini. Kau bukan sedang bermimpi.     

Sosok pria misterius ini sekarang berani menggauli dirimu saat kau masih sadar. Biasanya dia melakukan kebejatannya ketika kau lelap. Kini tidak lagi.     

"Hakh! Hakh!" Andrea tersentak maju mundur. Jarinya kuat meremas seprei tanpa bisa bergerak lebih banyak dari itu. Tak bisa berkutik ketika dua payudaranya diremas kuat saat disetubuhi secara doggy-style.     

Begitu terdengar suara tertahan sosok itu, Andrea merasakan ada sesuatu yang hangat di dalam rahimnya.     

Ia ingin menjerit kuat-kuat karena panik pria itu menyemburkan sperma ke dalam dirinya. Andrea tak mau hamil selain dengan Dante! Ia tak sudi dihamili pria tak jelas!     

Andrea pun ambruk ke kasur dan tak bisa bergerak lagi. Pingsan.     

-0-0-0-0-0-     

"Ermh~" Perlahan, Andrea membuka matanya. Itu karena sinar matahari menerpa kelopak mata melalui celah gorden.     

Mata terbuka sedikit, ia lantas teringat kejadian semalam. Buru-buru ia bangun duduk.     

Betapa kaget dia saat mendapatkan semua pakaian tidurnya masih melekat di tubuh.     

"Ah, syukurlah ternyata mimpi doang. Sialan. Gue udah was-was aja!" lirihnya.     

Ia menengok ke kasur anaknya. Sudah kosong. Pasti Shelly sudah membawa keluar Jovano. Mungkin mereka sedang sarapan di bawah.     

Andrea mengacak rambut ikalnya, lalu turun. Anehnya, ia seperti habis lari marathon. Lelah luar biasa.     

"Aneh, kan itu cuma di mimpi. Kenapa berasanya kayak beneran?" Ia miringkan kepala saking herannya.     

Ia pun milih langsung mandi agar segar dan penat bisa hilang. Terutama bagian pangkal paha. Terasa pegal seperti habis dipentang lebar dalam waktu lama.     

Usai mandi, ia segera berpakaian. Hari ini bukan weekend. Ia musti kerja.     

Setelah memilih pakaian kerja, ia menyisir rambut seadanya dan membubuhkan make up ala kadarnya juga. Kemudian menyambar tas dan bergegas turun ke lantai bawah.     

"Halo jagoan Mama," sapa Andrea ke sang anak.     

"Mama sudah cantik!" seru si bocah sembari pamerkan senyum imutnya.     

Andrea melangkah mendekat. "Tentu aja Mama cantik selalu, dong. Kan Mamanya Jo." Lalu duduk di samping Jovano.     

Shelly mengangsurkan piring berisi nasi putih ke sahabatnya. "Hari ini aku masak ikan bumbu kuning. Kemarin kamu kepingin itu, kan?"     

Senyum lebar Andrea terkembang. "Kamu emang bini gue yang terbaik, beb."     

"Dih, enak aja. Aku bininya Kenzo. Gak ada yang boleh klaim selain Kenzo!" tegas Shelly membuat suaminya nyaris tersedak.     

Sang sahabat malah terkekeh. "Bwahaha! Sekarang gue dilepeh, nih? Mentang-mentang yang semalam udah asik-asik."     

Muka Shelly langsung merah padam malu. Ia tak bisa menjawab.     

"Mama, bini itu apa?" tanya Jovano seraya tatap lekat ibunya.     

'Mampus! Gue ngomong ngaco di depan anak gue! Begok! Begok!' batin Andrea merutuki diri sendiri. "A-anu... bini itu... emm... sahabat dekat."     

Jovano termenung sejenak. Lalu berujar, "Aku juga ingin punya bini kalau sudah sekolah!"     

'MAMPUS!' jerit batin Andrea. Shelly dan Kenzo terkikik tertahan.     

"Bini itu orang yang spesial, Jovano ganteng." Akhirnya Shelly menengahi sebelum sahabatnya mati kutu karena omongan sendiri.     

"Spesial?" tanya Jovano. Anak ini meski belum 3 tahun, namun sudah terlihat cerdas dan cepat menangkap jika diajak bicara.     

"Iya, spesial dan istimewa." Sekarang Kenzo ikut menjawab. "Jo akan menemukannya kalau sudah besar."     

Jovano menganggukkan kepala. "Oke, Jo akan cari bini kalau sudah besar."     

Andrea patut bernafas lega dan berterima kasih pada duo di depannya. Ia meski jenius di bidang akademis, tapi tak berkutik jika di luar itu.     

Satu jam berikutnya, Andrea sudah ada di dalam Izumi Tower. Ia bertemu dengan Giorge di lift. Mereka berdua saja di dalam.     

"Kau terlihat lelah, Rea."     

"Heh, kan gue dah bilang, panggil gue—"     

"Kalau hanya ada kita berdua, aku akan panggil Rea."     

Andrea sudah ingin protes, namun denting lift membuyarkan keinginan dia. Lift terbuka meski belum mencapai lantai yang dituju Andrea, masuk tiga orang ke dalamnya dan naik kembali.     

Tiba di lantai tempat kantor Zean Property, Andrea lekas ke ruangannya. Giorge membuntut di belakang. Para pegawai saling menyapa dengannya.     

Begitu di ruangan, Andrea henyakkan pantat di kursi. Ia sungguh letih. Terus saja bertanya-tanya, kenapa hanya sekedar mimpi tapi bisa menguras energinya?     

Dikarenakan heran, ia banyak melamun. Sekaligus menebak apa yang sedang terjadi pada dirinya.     

"Rea..."     

"Anjret lu kampret!" seru Andrea saking kagetnya karena lengan ditempeli benda dingin.     

Giorge terkekeh. "Habisnya... kamu melamun terus dari tadi. Ada apa?" Ia sodorkan kaleng dingin cola ke bosnya.     

Andrea mendengus sebal. "Bukan urusan elu, pret!" Menerima kaleng itu dan langsung membukanya. Setelah meneguk dua kali, ia mendesah nikmat karena kerongkongan terasa segar.     

"Makan di luar, yuk!" ajak Giorge.     

"Ogah."     

"Ayolah. Sekalian aku akan tunjukkan tempat yang menarik."     

"Apaan?"     

"Kau masih berniat buka restoran atau kafe?"     

Andrea terdiam. Ia hampir lupa tentang rencana itu. "Ya, lalu?"     

"Ikut aku, nanti akan tau apa yang ingin aku tunjukkan. Toh ini sudah hampir jam makan siang. Ayo." Giorge menggerakkan tangan mengisyaratkan ajakan.     

Dikarenakan penasaran pada tutur sang sekretaris mengenai sesuatu yang berhubungan dengan bisnis yang akan dia jalankan, ia pun bersedia ikut.     

Giorge memaksa mereka makan siang dulu sebelum ke lokasi yang ia janjikan.     

Keduanya makan siang di sebuah kafe. Tempatnya nyaman meski kecil. Pencahayaan tidak terlalu terang, juga tidak temaram. Terasa pas dan cozy dengan kursi empuk berbentuk aneh namun nyentrik.     

"Kemarin dulu aku menemukan kafe ini. Siapa tau kau terinspirasi untuk membuat kafemu sendiri nantinya. Pelajari saja." Giorge mengucap seraya memotong steak yang kali ini matang. Ia menghargai Andrea.     

Andrea melihat sekeliling. Tak dipungkiri, kafe ini memang terkesan manis, nyaman, dan unik dengan beberapa perabot yang tak lazim bentuknya.     

Nyonya Dirut menatap ke cangkir kopi berbentuk hati di genggaman tangannya. "Iya, pengen juga punya kafe macem ini. Semoga gue bisa cari tempat yang oke. En bisa kelola."     

Sesudah makan siang, Giorge jalankan mobil ke arah sebuah daerah yang sepertinya kampung pengrajin.     

Andrea masih bingung, jika dia tidak diperlihatkan sebuah toko mebel oleh Giorge.     

"Coba lihat itu. Kursinya bagus dan unik, kan?" Giorge menunjuk sebuah kursi berbentuk semangka, jeruk, dan pisang yang tampak nyaman dan empuk.     

Andrea terpana. "Unyu banget, sialan!" Ia kini terpesona. Mendekat ke kursi tersebut dan menjajal duduk di atasnya.     

Tak lama, seorang pria paruh baya menghampiri. "Anda suka kursi seperti itu, nona?"     

Andrea menatap bapak itu, kemudian mengangguk. "Ini sangat empuk dan nyaman, Pak."     

Bapak itu terkekeh. "Tentu saja. Buatan kami takkan mengecewakan."     

Wanita Cambion menoleh ke tuan Vampir. "Ini pasti bisa dipesen, ya kan?"     

Bapak penjual itu tampak tak mengerti ucapan Andrea.     

"Ah, maaf! Saya hanya bertanya ke teman saya apakah bisa memesan yang seperti ini?" Andrea jadi tak enak sendiri dan menjelaskan apa yang dia maksud.     

Si bapak mengangguk. "Mochiron! (Tentu saja!)" Ia sunggingkan senyum. "Anda bisa memesan bentuk apapun di sini. Kursi, meja, lemari dengan bentuk apapun yang anda mau."     

Mata Andrea bagai berbinar. Inikah namanya cinta?!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.