Devil's Fruit (21+)

Kenangan Akan Dirimu



Kenangan Akan Dirimu

0Fruit 472: Kenangan Akan Dirimu     
0

Shelly terus menunggui 24 jam. Meski Andrea sudah meminta agar Shelly pulang mengurus Gavin, tapi sang sahabat kukuh tetap di rumah sakit, menemani Andrea.     

Untunglah putra mereka, Gavin sudah agak besar dan sudah bisa jalan, maka cukup sang ayah yang mengurus, maka tak ada masalah.     

Urusan antar jemput Jovano, sudah dilimpahkan ke Zardakh. Namun jika sang kakek sibuk, dia akan menyuruh Giorge yang mengurus cucunya.     

Tentu saja tuan vampir senang. Selain bisa lebih dekat dengan Jovano, juga bisa sesekali melihat Andrea jika Jovano minta diantar menjenguk ibunya.     

Seperti sore ini usai sekolah, Jovano diantar Giorge sudah ada di rumah sakit.     

Beruntung sekali mereka datang setelah jam besuk lewat, karena pembesuk Andrea bisa dikatakan selalu ramai karena dia pebisnis sukses dan anak konglomerat berpengaruh pula.     

"Mommy, cepat sembuh, yah! Dua minggu lagi aku ulang tahun." Jovano duduk di tepi ranjang sang ibu. "Tapi nanti digabung dengan ulang tahun Gavin juga, boleh? Jaraknya kan berdekatan."     

Perasaan Andrea seolah diiris-iris. Apalagi anaknya yang berujar. Dia hanya sanggup mengangguk sembari mengulum kuat bibirnya, menahan tangis. Ia tak mau jatuhkan air mata di depan sang anak.     

"Jadi ada Daddy, kan Mom?" tanya Jovano lagi dengan wajah lugu.     

Andrea tak kuat. Ia langsung balik badan memunggungi anaknya sambil naikkan selimut hingga kepala. "Ma-Mama capek, Jo. Ngantuk juga. Jo... pulang, gih."     

Giorge yang sedari tadi sebagai pendengar sekaligus pengamat, tau persis betapa bergetar suara Andrea, menahan tangis.     

Tangannya terkepal erat, ingin merengkuh Andrea tapi apa daya. Dia tau Andrea sedang ada masalah berat, meski tak tau persis apa masalah tersebut.     

Jika menilik reaksi Andrea usai Jovano menyebut ayahnya, Giorge hanya bisa berspekulasi ada hubungannya dengan suami Andrea. 'Apa suaminya kabur?' pikir Giorge.     

"Oh, Mommy capek, yah?" Jovano sudah akan tarik bahu Andrea agar menghadap ke arahnya.     

Namun, Giorge lebih gesit, menahan tangan si bocah, karena tau Andrea sedang terisak lirih di balik selimut. "Yuk, kita keluar. Biarkan Mommy istirahat. Besok kita ke sini lagi, jagoan."     

Jovano tatap Giorge. "Oke, Om. Mom, aku pulang dulu. Mommy istirahat saja, yah, fokus untuk sembuh, jangan berpikir terlalu berat, karena kata penelitian, sebagian besar penyakit timbul dari stress."     

"Jo, ayo." Giorge hentikan Jovano sebelum melantur berlama-lama.     

Setelah keduanya keluar dari ruangan, Shelly kembali masuk. Andrea tumpahkan air matanya tanpa ragu. Shelly memeluk iba, pun ikut menangis. Ia jelas takkan kuat jika itu menimpa Kenzo.      

Shelly biarkan Andrea meluapkan semua tangis dan sesak hati.     

Setelahnya, ia memberi banyak kalimat penguat jiwa agar Andrea terus melangkah dan tegar demi diri sendiri dan Jovano. "Yakinlah semua akan baik-baik aja, yah Ndre. Jangan sedih terus, nanti malah susah sembuh, loh."     

"Mungkin mati justru lebih baik, beb."     

"Huss! Nggak boleh ngomong gitu! Kalo kamu mikir soal mati, kamu jahat."     

"Kok jahat?"     

"Iya, kamu gak kasian ama para penderita kanker yang berjuang mati-matian demi terus memiliki nyawa? Kamu gak kasian ama para korban pembunuhan, korban kecelakaan. Mereka berharap mereka punya nyawa dan memilih hidup, Ndre. Maka kamu jahat kalo kamu malah pengen mati. Juga jahat ke Jovano. Plis, jangan mikir soal mati lagi, Ndre. Jangan." Shelly kembali terisak.     

Andrea merenungkan kalimat Shelly. Yah, bunuh diri atau mengharap mati bukanlah tindakan bijaksana. Siapapun akan mengutuk dan menghujat, karena membuang-buang karunia terbesar, yaitu nyawa.     

Atas permintaan Andrea, dia ingin Shelly pulang malam ini agar bisa berkumpul dengan Gavin. Shelly menolak, tapi Andrea lebih tegas hingga akhirnya Shelly pun kalah.     

Jam tujuh, Kenzo sudah datang. Gavin diajak. Bocah itu sudah mulai berlari-lari lincah meski usianya baru menginjak setahun.     

"Aku pulang dulu, Ndre." Shelly kecup dahi sang sahabat.     

Andrea mengangguk. "Jaga Gavin dan nitip Jovano sekalian, yah! Sori gue ngerepotin mulu."     

"Jangan ngomong gitu, ah! Gak ada yang ngerasa direpotin, kok!" bantah Shelly sebelum keluar ruangan bersama suami dan anak.     

Kini Andrea sendirian. Dia sengaja ingin begini, karena ingin mengenang Dante tanpa ada siapapun di dekatnya.     

Setiap teringat Dante, dia selalu menangis. Dia sudah hampir dibawa ke unit psikiatri karena kedapatan selalu menangis oleh suster. Untung ayahnya meyakinkan kalau Andrea hanya sedang lelah dan sedih biasa.     

Dante.     

Antara menangis dan tersenyum, Andrea memunculkan memori itu lagi. Pertemuan awal dengan pria yang pertamanya sungguh arogan dan penuh kesumat di hadapan Andrea.     

"Lihat saja, aku akan membunuhmu, anak Iblis terkutuk! Kau makhluk menjijikkan!"     

Andrea ingin tertawa jika mengingat bagaimana Dante tadinya begitu membenci dia. Namun, setelah kejadian di alam buatan Pangeran Djanh, sikapnya berubah drastis.     

"Andrea, tolong, ijinkan aku ikut menjagamu! Bagaimanapun aku ini ayah dari anak yang kau kandung!"     

Atau ketika pertama Andrea mengutuk Dante usai memperkosanya.     

"Maaf. Maafkan aku, Andrea." Begitu ucap Dante usai kejadian itu.     

Dan selanjutnya Andrea bagai memiliki kesempatan untuk memojokkan sang pria Nephilim dengan kata-kata pedas. Saat itu Dante sampai memohon agar Andrea berhenti menyudutkan dia.     

"Hah? Maaf? Gampang sekali, yah! Memang semua lelaki bajingan! Iblis berdaging!"     

"Andrea."     

"Bagus sekali, kan? Kau memperkosaku, lalu akan membunuhku, dan voila! Kau bisa naik ke Surga impianmu! Alangkah sucinya ras kalian!"     

"Tolong jangan bicara begitu."     

"Lalu kau berharap aku bicara apa, heh?!"     

"Iya, aku tau aku salah. Sangat salah. Perbuatanku memang gila dan bejat. Oke, aku terima itu, aku akui itu."     

Disela tangisnya, Andrea tersenyum. Baru kali itu Dante untuk yang pertama kalinya mau menyatakan salah dan kalah, sebelum tadinya bersikap sangat arogan dengan napsu membunuh.     

Dan dia juga ingat betapa Dante kuatir ketika tau Andrea sakit dan sedang hamil Jovano. Nephilim itu sampai nekat terbang kembali ke dunia manusia menaiki raven-unipeg kesayangan yang dipacu maksimal hingga hewan mitos tersebut ambruk tak bernapas lagi usai mendarat di depan balkon kamar Andrea.     

"Andrea! Aku ingin bertemu Andrea! Kumohon, Kenzo, jangan halangi aku!" Itu pun pertama kalinya Dante mengucap permohonan tulus ke Kenzo yang sebelumnya ia musuhi secara sengit.      

Dan ketika Kenzo membombandir sang Nephylim dengan serangan bola energi, Dante terus mengelak, tak membalas. "Iblis bodoh! Aku ke sini karena ingin tau kondisi Andrea yang hamil! Dia hamil anakku, demi Tuhan! Hentikan seranganmu, Kenzo!"     

Dan akhirnya Oma yang melerai mereka. Bahkan Oma juga yang menyuruh Dante masuk melihat Andrea walau harus diusir Nyonya Cambion yang marah.     

Pun begitu, Dante tak mundur. Tetap maju ingin mendekat ke Andrea meski berkali-kali diusir secara ketus oleh sang Cambion.     

Demikian pula saat Andrea memulai perjalanan mencari pintu menuju Underworld, Dante ngotot ikut meski tau dia akan lemah di sana karena perbedaan ambang batas udara Underworld dengan Antediluvian. Dante tetap kukuh ikut pergi.     

Bahkan saat Andrea nyaris diperkosa lima pria usai melewati portal, Dante begitu lembut menyembuhkan trauma itu melalui sentuhannya yang menenangkan. Hingga akhirnya Andrea taklukkan egonya untuk diam-diam mengakui dia jatuh cinta pada tuan Nephilim.     

Perjuangan mereka di Hutan Kegelapan, juga saat hidup berdua di pondok sebelum Nivria datang. Dante begitu menjaga Andrea. Begitu melayani istrinya. Menundukkan ego dan superioritas dia sebagai lelaki demi cinta begitu besar pada sang istri.     

Lihat, lihatlah semua kenangan itu, Andrea. Suamimu begitu menyayangimu pada akhirnya. Dia teramat mencintaimu sejak membuang ambisi gilanya untuk menjadi Angel. Jiwa Dante akhirnya hanya berisi Andrea dan Jovano saja.      

Dante tiada pernah menyerah meyakinkan Andrea akan perasaan cintanya.     

Namun, kini semua bagai siluet-siluet percuma yang kian menggurat tajam hati Andrea.     

Andrea sudah membasahi bantal yang dia gunakan untuk menutupi wajah ketika meluapkan tangis sekeras mungkin.     

Hatinya terus bertanya-tanya, kenapa tragedi bom itu harus terjadi di saat suaminya akan menyelesaikan masa tahanan? Bukankah itu sungguh ironis?     

Terlalu ironis.     

"Bisakah kau tumpahkan sedihmu padaku, Rea?"     

Andrea tercekat kaget mendengar suara di ambang jendela yang sengaja dia buka. Ia masih saja berharap bayangan hitam Dante datang seperti biasa.     

Namun kali ini...     

"Giorge!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.