Devil's Fruit (21+)

Ide Baru



Ide Baru

0Fruit 447: Ide Baru     
0

Andrea seketika tersenyum lebar. "Kak Myren!" Ia bangkit dari duduk dan menyongsong kakaknya. Keduanya segera saling memeluk.     

Mereka pun duduk berdampingan di sofa ruangan. Myren memandang sekelilingnya. "Hebat juga kantormu, Andrea."     

"Haih, ini kan bisanya Babeh aja. Kak Myren juga tambah hebat sekarang."     

Myren miringkan kepala menanggapi pujian adiknya. "Hebat gimana?"     

"Kata Babeh, Kakak nangani perusahaan ritel Babeh, kan?" Andrea menatap menyelidik.     

"Oh!" Myren senyum lebar, mengangguk kecil. "Iya. Dia bilang lagi malas mengelola, makanya memaksa aku turun tangan dengan alasan agar anaknya belajar bisnis. Cih, alasan dia saja untuk lepas tanggung jawab."     

Andrea terkikik. Urusan galak pada sang ayah, Myren jagonya. "Kakak tinggal di Roppongi juga?"     

"Aku di Shibuya. Karena aku juga buka butik di sana." Myren senyum bangga.     

"Wah! Tuh kan hebat. Kakak gue, geto!" Andrea menatap takjub.     

"Kamu harus datang ke butikku. Ntar Kakak kasi diskon spesial buatmu. Aku ogah kalau bajumu kumuh, bisa turun gengsi aku sebagai kakak."     

"Haih, Kak Myren gitu, ish!" Andrea mencubit kecil pinggang kakaknya. "Iya, ntar kapan-kapan kalo waktu luang, aku ajak semua main ke Shibuya. Kak Myren harus siapin tempat dan musti jadi pemandu wisata, loh!"     

Myren terbahak mendengar celoteh adiknya. "Tenang saja." Kemudian tatapan Myren berpindah ke sudut ruangan. Matanya langsung tajam dengan raut serius. "Heh?! Bukannya itu--"     

"Iya." Andrea paham apa yang dimaksud kakaknya. "Babeh koplak kita yang jadiin dia sekretaris gue. Kan kancut banget, ya kan Kak?"     

Myren kerutkan dahi. "Babehmu itu kadang ngaco otaknya."     

"Lah, dia juga babeh kamu, Kak."     

Keduanya pun terkekeh bersama.     

"Kamu gak bosen di kantor kayak gini?" tanya Myren pada sang adik.     

"Bosen, sih. Rasanya kerjaan cuma secuil doang, banyakan nganggur." Andrea jadi serasa curhat.     

"Kenapa nggak cari usaha lain? Kayak aku ini, loh! Bos ritel tapi juga punya butik." Myren seolah menyulut solusi bagi kebosanan Andrea.     

"Apa, yah enaknya? Usaha apa, yah Kak?"     

"Lah kamu harus temukan sendiri apa yang kira-kira sesuai dengan passion kamu."     

Andrea manggut-manggut sambil berpikir. "Coba nanti aku diskusikan ama Shelly. Biasanya dia jago ama ide-ide keren."     

"Kamu nih..." Myren mendorong lembut dahi adiknya. "Apa-apa selalu saja Shelly. Jangan terlalu ketergantungan begitu. Gak baik."     

Andrea mengusap dahi yang di'tunyel' kakaknya. "Abisnya... aku sering buntu kalo untuk mikir yang bukan hal-hal akademis, Kak."     

"Mulai kurangi manjamu ke Shelly. Soal dandan dan milih baju pun masih Shelly, kan? Ngaku, deh!" Myren menatap menyelidik.     

Adiknya meringis. "Hehe..."     

"Nyengir aja bisamu." Myren mengolok. "Ya udah, aku balik lagi ke butik. Jangan lupa main ke Shibuya kalau libur, yah! Toh kau kan bisa bebas mengatur waktu karena bos di sini."     

Keduanya sama-sama bangkit dari sofa. "Iya, Kak. Nanti aku pilih hari yang cocok. Sesuai primbon."     

"Hah?!"     

"Hilih! Becanda, Kak!"     

"Kirain kamu dah jadi dukun sekarang."     

Myren pun keluar dari kantor diantar Andrea. Semua mata memandang dua wanita muda yang sangat menarik perhatian itu.     

Kembali ke ruangannya, Andrea melirik ke Giorge yang asik dengan komputernya. Ia tak menggubris ketika si vampir menyinggung senyum ke arahnya.     

Andrea berjalan ke ruang kloset. Ia menatap sekeliling ruangan yang terletak di sudut lain ruangannya. Bersebelahan dengan kamar mandi. Tentu saja berbatas tembok. "Kayaknya di sini kalo kasih kasur enak juga, nih! Kalo gue suntuk, gue bisa molor santai di sini."     

Akhirnya ia memutuskan akan menambah kasur di ruang berukuran 3x4 meter tersebut. Ia menuliskan itu di agenda.     

Duduk di meja menghadap ke kota, ia berpikir akan usul Myren mengenai usaha lain tadi. Satu tangan menopang dagu, otak bekerja memilih apa yang sekiranya ingin dia kerjakan untuk bisnis sampingan.     

"Jualan baju kayak Kak Myren?" tanyanya pada diri sendiri. "Gue kagak gablek soal fashion." Jawaban pun diberikan sendiri.     

"Ada yang mengganggu pikiranmu, Rea?" Tiba-tiba Giorge sudah ada di seberang meja, duduk menghadap ke Nyonya bos.     

Andrea seketika memutar kursinya sehingga bisa berhadapan langsung dengan si sekretaris. "Bukan urusan elu, kampret."     

Giorge senyum simpul. "Mari kubantu mencari solusinya."     

"Dih, sotoy banget." sindir Andrea. "Tukang nguping."     

"Hahaha. Mau gimana lagi kalau telinga vampirku bisa mendengar jelas bunyi selirih apapun."     

"Tsk! Kasian semut kalo gitu, gak bisa gosipan gegara makluk kayak elu." Andrea menatap remeh ke Giorge.     

Pria itu tidak menggubris olokan kasar Andrea. "Kalau kau tidak punya passion ke fashion, coba yang lain. Misalkan... kuliner. Atau barang kerajinan."     

Andrea miringkan kepala sembari kerutkan dahi. "Kuliner?"     

"Apakah kau punya passion di kuliner?" tanya tuan vampir.     

"Auk, dah!" Ia ketuk-ketukkan penanya ke meja.     

Malamnya, ia memikirkan saran Giorge. Ia sudah menyampaikan pada Shelly mengenai ide kuliner. Shelly bersemangat mendengarnya.     

Tapi Andrea belum yakin sepenuhnya. Ia pun menghubungi suaminya.     

"Gimana menurut kamu, Dan?"     

"Kuliner, ya? Humm, kupikir tak ada salahnya mencoba."     

"Bener?"     

"Iya, sayank. Coba aja buka restoran atau cafe yang menunya unik."     

"Menu unik, yah?"     

"Atau bisa juga pakai menu khas Indonesia. Belum banyak di tempat kamu, kan yank?"     

Andrea manggut-manggut. "Iya, sih. Rada susah nyari makanan Indonesia di sini. Di gedungku ada tapi terbatas hanya masakan daerah Bali doang."     

"Nah, coba kamu bikin yang ada menu daerah lain. Syukur-syukur berbagai makanan daerah Indonesia."     

"Oke, nanti aku omongin ini ke Shelly. Dia sekarang jago masak. Siapa tau minat." Andrea senyum lega.     

Kini ia sudah menemukan apa bisnis yang akan dia garap. Setidaknya dia ingin memiliki bisnis sendiri seperti kakaknya, Myren.     

Malam itu Andrea mengobrol banyak dengan Dante. Namun tanpa menyebut mengenai insiden kantor terdahulu ataupun Giorge. Ia tak mau membebani pikiran suaminya.     

Atau tak mau dicemburui?     

Keesokannya, ia mantap ke kantor dengan ide bisnis kuliner yang akan dia jalankan.     

Sesampai di kantor, ia langsung memeriksa semua file yang disodorkan Rioko. Tak butuh waktu lama.     

Kemudian Giorge mengingatkan akan ada rapat direksi jam 10 pagi.     

Di ruang rapat, semua direksi tampak kagum pada Andrea yang cerdas dan berwibawa meski masih muda.     

"Jadi, problem kita hanya perusahaan itu?" tanya Andrea ke Direktur Pemasaran.     

"Haik, benar begitu, Andrea-sama." Direktur Pemasaran mengangguk tegas.     

Andrea menatap pria usia 50-an itu. "Baiklah. Aku yang akan maju."     

Semua Direktur terkejut.     

"Apakah... tidak mengapa, Ibu Dirut?" tanya salah satu Direktur.     

Andrea berikan senyuman tipis. "Aku dengan senang hati melakukannya. Karena aku punya urusan dengan Bos perusahaan saingan kita."     

Siang itu, ditemani Giorge, Andrea meluncur ke sebuah restoran elit, guna menemui klien penting yang sedang diperebutkan dengan kantor lama Andrea.     

Begitu dia melangkah ke restoran, Bos lama Andrea terkesiap mengetahui siapa saingan yang akan dihadapi. Tanaka-san menahan nafas begitu melihat Andrea.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.