Devil's Fruit (21+)

Berkubang Kabut Pilu



Berkubang Kabut Pilu

0Fruit 379: Berkubang Kabut Pilu     
0

Druana menggeleng. "Tak perduli siapa Iblis yang bercampur dengan manusia, tapi haruslah manusianya yang dibunuh. Misalkan ibumu yang Iblis dan ayahmu manusia, Anda tetap harus membunuh Ayahmu yang manusia. Begitu rumusnya. Itu Hamba temukan di naskah kuno yang ada di kamar Nyonya Nivria."     

Andrea lemas, sandarkan kepalanya ke kepala ranjang. "Kenapa Ibu tidak katakan soal itu padaku?"     

"Dugaanku... bila Beliau katakan itu pada Anda, Tuan Puteri takkan mau melakukan. Sedangkan Nyonya tau betapa inginnya Anda hilangkan darah Iblis dan juga menghabisi Paduka Zardakh."     

"Hiks!" Andrea kembali terisak menutupi muka dengan dua tangan.      

"Nyonya amat sangat menyayangi Anda, juga merasa bersalah karena melahirkan Anda dengan membiarkan darah Iblis mengalir di tubuh Puteri."     

Tangis Andrea kian mengalun keras. Druana tak bisa berkata apa-apa lagi.     

Sejak itu, Andrea lebih sering menangis dan meratap. Jarang mau makan, bahkan mengabaikan puteranya. Dante tentu saja sedih melihat kelakuan istrinya.      

"Sayank, makanlah sedikit."     

Andrea menggeleng.     

"Bagaimana kau bisa menyusui Jovano jika kau terus menolak makan?"     

Andrea tetap terdiam tak bergeming akan ucapan sang Suami.     

"Apakah kau sudah tak menyayangi anak kita?"     

"Tinggalin aku sendiri," lirih Andrea pada akhirnya.     

Di kesempatan lain, Dante membawa Jovano yang menangis ke dekat Andrea. "Lihat, anak kita kelaparan, sayank. Kumohon susui dia. Dia bisa sakit, Andrea."     

"Jangan ganggu aku."     

"Andrea, tidak bisakah kau menatap sebentar anakmu jika tak mau menggendongnya?!"     

"Jangan ganggu aku, Nephilim sialan!"     

Dante mengalah dan pergi membawa Jovano yang menangis keras karena lapar.     

Andrea telungkupkan wajah pada bantal, menangis lagi meski sejam lalu sudah membuat matanya sembab. Dirinya dipenuhi penyesalan. Merasa sebagai orang paling tolol di jagad raya ini.      

"Ibu... Ibu... hiks! Ibu... aku rindu kau..." isaknya.      

Mengingat bagaimana Nivria begitu dekat dan akrab dengannya saat di Hutan Kegelapan. Saat jari Andrea teriris pisau karena tak pernah memasak, Nivria panik dan sibuk mencari obat luka meski hanya goresan kecil saja.     

Sewaktu ada monster mendekat ke mereka, Nivria pernah nekat menghalau monster tersebut meski Andrea hanya tertawa karena dia tau monster itu takkan mencelakainya. "Kak, tenang saja. Monsternya baik, kok!" Begitu ucapan Andrea menahan geli melihat Nivria nekat kibas-kibaskan dahan pohon untuk mengusir monster di depan mereka.     

"Jangan ragu bicara apapun padaku, Andrea. Janji, yah! Aku sangat menyayangimu..." kata Nivria ketika suatu malam mereka akan tidur di pondok Hutan Kegelapan.     

"Kak Via ini.. aku jadi kayak punya keluarga beneran ini..." Andrea memeluk manja Nivria sambil tersenyum lebar. "Aku juga sayang Kak Via. Janji jangan tinggalin aku, yah!"     

Bantal pun bertambah basah akan air mata Andrea.     

Keesokannya, Dante kembali mendatangi Andrea yang tengah tertidur. Ia datang bersama Druana dan Kenz, membawa Jovano yang demam. "Andrea, bangun. Anak kita tubuhnya panas."     

"Tuan Puteri, aku tak berhasil menurunkan demam bayi Anda. Mungkin harus dengan ASI Anda." Druana menambahkan.     

Andrea terbangun lalu duduk di ranjang dengan mata sembab parah. "Pergilah ke dokter atau apa. Kepalaku sakit."     

"Andrea, tolong perduli dengan anakmu." Dante dekatkan Baby Jovano yang merengek gelisah dalam gendongan ayahnya. "Dia sakit, sayank. Kumohon."     

"Tidak bisakah kalian tidak menggangguku?" Andrea memijit pelipisnya. "Aku migren dan mataku sakit sekali."     

"Itu karena kau kebanyakan menangis, Andrea. Coba kau lihat anak kita, sayank. Dari semalam dia gelisah karena demamnya tak juga turun meski Druana-"     

"Itu gara-gara kau! Kau yang menyebabkan dia ada di dunia ini, Dante!"     

PLAKK!     

Druana memekik tertahan ketika Dante menampar keras istrinya. Kenzo sudah akan maju ke Dante, namun Druana mencegah, menggeleng ke sang Panglima.     

"Mau sampai kapan kau berduka, hah?!" hardik Dante.     

Andrea menyentuh area yang tertampar, menunduk.     

"Kau... Iya, aku tau kau berduka karena kematian Ibumu. Kau menyesali perbuatanmu yang mengakibatkan Ibumu mati. Tapi apakah kau akan menambah jumlah kematian di sini? Anakmu! Anakmu bisa mati kalau kau terus-menerus begini, Andrea! Kau ingin juga membunuh anakmu secara tidak langsung, heh?!"     

Andrea mendongak, menatap tajam pada suaminya.      

"Jangan sia-siakan pengorbanan Nivria. Apa gunanya dia berbuat begitu jika pada akhirnya kau membunuh anakmu dan juga membunuh dirimu sendiri? Tak mau makan, menolak menyusui, mengurung diri terus di kamar. Untuk apa Nivria nekat begini dan begitu jika kau malah menyia-nyiakan pengorbanan Ibumu?! Kau pikir dia akan senang melihatmu begini?! Apa kau sanggup menemui dia di akherat jika kelakuanmu seperti ini?!" Dante sampai terengah-engah meluapkan apa yang ia tahan-tahan sedari kemarin.     

Andrea terisak. "Maaf... hiks! Maaf..."     

Dante lekas merengkuh kepala istrinya dan letakkan di dadanya. "Sayank..." Dante melembutkan suara. "Aku percaya kau wanita kuat. Andrea-ku itu kuat dan gigih. Maka... bangkitlah kembali dan berjuang untuk dirimu serta anakmu."     

Nyonya Cambion menatap Jovano dalam gendongan Dante, lalu perlahan ia ambil bayinya dari sang Suami. Sambil terisak, ia berucap pada Jovano, "Sayank... maafkan mamamu, yah." Ia dekap anaknya dan segera ia susui.     

Druana menepuk lengan Kenz, mengisyaratkan agar pergi meninggalkan keluarga kecil itu. Kenzo paham dan mengekor Druana keluar kamar.     

Di kamar, Dante memeluk istri yang sedang menyusui anaknya. Baby Jovano menyesap kuat-kuat ASI. Andrea meringis. "Dia benar-benar lapar."      

"Ummchh!" Satu kecupan diberikan Dante ke kening istrinya. "Setelah anak kita selesai menyusu, kau harus makan. Yah?"     

Andrea mengangguk. Dante memang benar, Nivria sudah berkorban begitu rupa, begitu besar. Maka tak pantas jika itu disia-siakan. Andrea musti berjuang hidup bersama anaknya, apapun yang terjadi.      

Ia tatap lembut Baby Jovano dalam dekapannya. Kemudian dikecup penuh sayang kening bocah tersebut sembari bisikkan kalimat, "Maafkan Mama, yah. Mama sayang, kok ama kamu, Nak. Ayo kita berjuang bersama."     

-0-0-0-0-0-     

Bagai sebuah keajaiban, usai menyusu pada ibunya, demam sang Bayi berangsur turun. Tidurnya juga lebih tenang dan damai. Kedua orang tuanya tersenyum lega. Ternyata sihir pengobatan manapun tak mempan kecuali kasih sayang sang Ibunda.      

"Untung saja dia cepat mendapatkan ASI, yank..." Dante memeluk pinggang istrinya dari belakang ketika mereka mengamati Jovano lelap tertidur di boksnya.     

Andrea tak menoleh, namun senyum bahagia tertoreh di wajah. Ia sedang asik mengamati wajah manis anaknya. "Ya, syukurlah tidak terlambat." Lalu ia mulai menengok ke Dante. "Makasih, yah udah nyadarin aku."     

"Itulah gunanya ada suami..." bisik Dante di belakang telinga Andrea, membuat sang Cambion bergidik geli.      

"Dulu dia waktu masih di perut, dia cerewetnya minta ampun. Sekarang setelah brojol keluar, dia malah bisanya nangis doang, hihi..." Andrea terkikik membayangkan masa kehamilannya.     

"Sebentar lagi juga dia akan mencerewetimu agar selalu menyayangi aku..." bisik Dante.     

"Daaann~" Nyonya muda mengernyit ke arah suaminya.      

"Heemm? Kenapa?" Tangan Dante malah merayap ke atas.     

Andrea mencubit tangan nakal sang Suami. "Jangan binal, napa?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.