Devil's Fruit (21+)

'Video Call' Spesial (17+)



'Video Call' Spesial (17+)

0Fruit 412: 'Video Call' Spesial (17+)     
0

Semenjak tau cara berkomunikasi dengan Dante, Andrea jadi rajin memakai gelang pemberian sang ayah ketika mereka pulang dari Antediluvian.     

Kini, kapan pun ada waktu luang, Andrea selalu sempatkan diri berbincang dengan suaminya. Meski ia masih berusaha profesional pada pekerjaan sebagai Dokter Hewan.     

Setiap menjelang malam, sesudah makan, ia selalu ke kamarnya dengan Jovano dan asik menghubungi Dante. Ia sudah malas menonton televisi atau apapun. Setiap waktu senggang selalu ia gunakan untuk berbincang dengan Dante.     

Kadang Shelly menggodanya. "Duuhh... yang lagi kasmaran, yang lagi sakit rindu. Dulu aja ogah ketemu, ogah ngobrol."     

"Ya itu kan dulu!" sergah Andrea tak mau kalah. Shelly biasanya terbahak senang sahabatnya sudah mulai ceria lagi.     

Malam ini seperti biasa, dia sudah berkubang di kasurnya bersama Jovano. Batu hijau diusap, lalu tak lama muncul kilatan sinar dari batu dan kemudian tampaklah wajah Dante.     

"Sudah makan?"     

"Udah, barusan. Kamu juga udah makan di sono?"     

"Iya, sudah."     

"Kamu keliatan kurus gitu, Dan."     

"Oh ya? Entah, mungkin karena jauh dari kamu, yank."     

"Bah! Gombalmu," gelak Andrea tersipu. "Hei, nih Jovano. Ngomong gih ke dia. Tapi jangan yang aneh-aneh." Andrea arahkan tangan ke anaknya agar Dante bisa bertatapan dengan Jovano.     

"Daa-daa..." Suara lucu Jovano keluar.     

Dante terbelalak tak percaya. "Hei! Dia manggil aku! Anakku manggil aku Dada! Lihat, dia ingin panggil aku Daddy, yank!"     

"Gak! Gak boleh Daddy! Kebagusan, dih! Babeh! Jo, ikuti Mama... Ba-beh. Baaa...behh!"     

"Sayank, please..." Dante Nampak nelangsa di sana.     

Jovano malah tatap bingung ibunya. "Daadaa..."     

Dante tergelak. "Lihat, tuh! Dia lebih suka manggil aku Dada."     

"Daadaa~" ucap Jovano lagi sambil tunjuk ke Dante.     

"Iya, Jovano sayank," sahut sang ayah. "Dada Mamamu memang lezat. Papa juga suka sekali. Kita berbagi, yah! Deal?"     

"Danteeee!" Andrea mengerang sebal. "Dibilangin jangan ngomong yang aneh-aneh ke Jo!"     

"Hahaha! Iya, iya, maaf, sayank. Saking kangennya ma kamu."     

"Udah, ah. Aku matiin aja nih holo-nya."     

"Eh, jangan! Aku masih kangen." Dante menolak.     

Begitulah yang kini sering dikerjakan Andrea saban malam. Berbincang dengan Dante hingga larut. Semoga saja pihak Nirwana tidak mengetahui tentang gelang tersebut. Bisa-bisa hukuman Dante ditambah dua puluh lima tahun sungguhan nantinya.     

-0-0-0-0-0-     

Malam ini tak ada Jovano karena sedang dibawa sang kakek ke Underworld seperti biasa.     

"Mana Jo?" tanya Dante di proyeksi.     

"Lagi ke Underworld." Andrea berbaring telungkup sambil bertopang dagu memakai satu tangan menatap Dante.     

"Amankah?"     

"Semoga." Andrea menjawab asal. "Tenang aja, udah sering, kok diajak simbahnya ke sono. Ada Kak Myren juga yang jagain Jo di sono."     

Dante terlihat lega. "Oh, ya sudah kalau memang aman. Kamu juga aman saja di situ, kan yank?"     

"Iya lah. Siapa juga yang berani nekat ngusik gue kalo gak pengen ngerasain kepretan si Kencrut."     

Dante terbahak sejenak. Kemudian dia memasang tampang serius. "Yank... mau, dong..."     

Andrea kernyitkan alis. "Mau apaan?"     

"Mau lihat tubuh kamu, yank."     

"Hah?" Andrea makin bingung dibuatnya. "Lah ini kan udah liat."     

Dante menggeleng. "Bukan yang begitu."     

"Lalu?"     

"Yang tak pake baju."     

Andrea mendelik horror. Demi apa tiba-tiba suaminya minta seperti itu! "Ma-maksud lo?!" Ia jadi kembali menggunakan 'lo' ke Dante gara-gara kaget.     

"Aku kangen banget ama kamu. Telanjang dong, please. Biar kangenku bisa berkurang dikit dan perasaanku bisa tentram. Siapa tau besok aku mati. Setidaknya aku mati pu—."     

"STOP!" teriak Andrea sambil nunduk. Mukanya pasti sudah merona, sekaligus kesal. "Gue ogah banget denger soal mati gitu, yak! Jadi mendingan jangan nekat ngomong macem gitu lagi ke gue, deh!"     

"Iya, iya sayank, maaf. Maaf, yah. Jangan marah, please..."     

"Udah, ah! Mood gue mendadak anjlok!" Tanpa menunggu sahutan suaminya, Andrea pun matikan komunikasi.     

Dante di sana pasti menyesali ucapannya.     

Andrea mengganti posisi menjadi rebah telentang, pandangi langit-langit kamar. Dadanya berdegup kencang hanya karena ucapan Dante. Mukanya masih hangat akibat malu.     

Dante memintanya telanjang. Telanjang. Ya ampun, Andrea bisa pingsan karena malu jika melakukan itu. Meski mereka sudah berkali-kali melakukan hal-hal intim, namun ini sudah sangat lama sejak terakhir mereka bercinta.     

Andrea serasa kembali seperti perawan dusun.     

Jantungnya masih berdebar kencang. Mata dipejam, baju depan diremas, ludah berkali-kali diteguk.     

Suaminya minta telanjang karena siapa tau besok dia tak ada lagi di dunia. Andrea kesal, tak suka akan kata-kata itu. Namun, dia juga tidak bisa memprediksi masa depan. Mungkinkah Dante bakal mati besok?     

Cambion itu sudah pernah mengalami penyesalan sejenis itu. Pada Nivria, ibunya. Ia tak sempat mencurahkan rasa sayang dan rindu pada sang Ibu hanya karena ego dan amarahnya semata.     

Bagaimana bila ternyata besok Dante betulan—     

TIDAK! TIDAK BOLEH!     

Telapak tangan itu kembali mengusap pendant Malachite seraya membisikkan sebuah nama yang sering diucap akhir-akhir ini.     

"Sayank, maaf! Aku benar-benar minta ma—," serbu Dante begitu wajah Andrea muncul di proyeksi miliknya.     

"Sshhh! Diem, Dan," potong Andrea. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Mata terpejam sambil mengulum bibir, tampak berfikir keras. Kemudian mata itu membuka setelah hening beberapa saat. "Oke."     

"Oke kenapa, yank."     

"Oke ama mau elu, lah!" bentak Andrea, tertahan, agar pasangan satu atap dengannya tidak mendengar.     

"Ehh?"     

"Tapi janji dulu ke gue!"     

"Apa, yank?"     

"Gak boleh lagi ngomongin mati ke gue. Gue benci."     

"Oh, iya sayank, aku mengerti."     

"Bentar, gue siapin mental dulu. Jangan mikir gue biasa ngelakuin ini, yak! Baru elu yang gue setujui beginian." Andrea bukan gadis bego yang tak tau apa sebutan untuk yang akan dia lakukan ini. Banyak teman-teman sekolahnya dulu yang melakukan itu dengan berbagai alasan yang melatar-belakangi. Alasan butuh uang, alasan sayang ke pacar, alasan pamer bodi, dan banyak lagi.     

"Iya, sayank. Aku percaya, kok... kamu begitu cuma ke aku."     

"Good kalo gitu." Andrea mengangguk. Lalu dia diam, persiapkan nyali. Benaknya terus menyeru : gakpapa buat Dante! Daripada nyesel ntar! Gakpapa!     

Dengan tangan gemetar, dia meraih kancing piyamanya, mengurai satu persatu secara pelan dan agak ragu. Namun, suara di otaknya terus berteriak siapa tau besok Dante benar mati.     

'No regret! Pokoknya gak boleh ada penyesalan! No regret!' begitu benak Andrea terus menyeru sebagai semangat. 'Toh ini gue ngelakuin untuk lakik gue sendiri, kok! Kami udah sah! Pastinya boleh dong, beginian! Oke!'     

Dante tetap diam menunggu tanpa sekelumitpun menyuara karena kuatir Andrea memutuskan komunikasi lagi seperti tadi.     

Dua kancing atas sudah terurai, kini kancing ketiga. Dante meneguk ludah menyaksikan apa yang tersaji di proyektor mini di tangannya. Dadanya bergemuruh begitu kancing keempat sudah lepas dan piyama itu disibak. Darahnya seketika berdesir hebat. Sudah terlalu lama dia tidak melihat benda kesukaannya.     

Muka Andrea mirip udang saus sambal saking merahnya karena malu. Ia tak mau menatap Dante. Ia hanya biarkan dadanya terbuka setelah piyama bagian atas disibak.     

"Yank, bra-nya..."     

"I-iya, tau! Cerewet!" sentak Andrea saking malunya. Satu tangannya ragu-ragu terarah ke kait bra di punggung. Dante sabar menunggu dalam diam setelah dibentak barusan. Kuatir Andrea berubah pikiran.     

Tekk!     

Kait itu pun terurai, dan selanjutnya, Andrea menurunkan tali bra sehingga kini Nampak keseluruhan wujud payudara montok kesukaan Dante.     

"Orrghh... indah sekali, sayank. Indah sekali..." bisik Dante usai meneguk ludah. Jakunnya naik-turun, sedangkan sesuatu di selatan sana mulai menggeliat tak tenang.     

Andrea masih arahkan layar hologram ke arah dadanya. Ia malu luar biasa, tapi ini demi Dante, dan demi tak ada penyesalan.     

"Yank..."     

"A-apa?" Andrea masih enggan menatap layar.     

"Boleh diremes, dong."     

"Bawel!" bentak Andrea lagi. Bukan karena marah, tapi malu tingkat tinggi.     

"O-oke, yank. Gak usah diremas tak apa. Yang penting ka—,"     

Kalo Dante besok mati, gimana?     

"Di-diem, bawel!" seru Andrea, kemudian tangan kanannya mulai mengarah ke payudara kirinya, lalu meremas pelan.     

"Orrghh... luar biasa, yank. Errmmghh..." Dante tanpa ragu-ragu bebaskan penisnya dari celana. Batang itu sudah tegang mengacung penuh arogansi. "Yaank... lihat nih gara-gara dada indah kamu." Ia arahkan penis ke depan layar sambil diusap-usap.     

Andrea terpekik tertahan. Meski jarak kamar dia dan kamar Kenzo-Shelly, tapi kan jangan sampai terlalu keras kalau bersuara.     

"Kenapa, yank?"     

"Mesum!" seru tertahan Andrea usai menyaksikan penis suaminya. Otaknya seketika memutar ulang adegan-adegan erotis tentang bagaimana penis itu berkali-kali menyodok beringas vaginanya, bahkan penis besar itu sering ia lomoti menggunakan mulut pula meski terkadang membuat pipinya kebas kewalahan.     

Dante terkekeh, tak menyurutkan tindakannya. Terus mengelus sang penis yang masih juga tegak tak mau surut. "Yank..."     

"A-apa lagi?"     

"Mau lihat yang bawah juga, dong."     

"HEH?!" Andrea sampai memekik, lalu cepat membekap mulutnya, teringat ada pasangan lain di rumah tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.