Devil's Fruit (21+)

Seorang Kakak



Seorang Kakak

Fruit 363: Seorang Kakak     

Di alam lain, Ruenn masih heran akan tingkah aneh Kenzo yang lari melesat secepat kilat. Ia berpikir, apakah panglima itu sungguh-sungguh tak mau lagi menerima dia? Tapi bukankah tadi Kenzo masih mau berintim-intim dengannya meski tak jadi penetrasi.     

Masih diliputi keheranan, Ruenn memilih memakai lagi bajunya dan bangkit. Ia ada misi khusus selain menjumpai Kenzo.     

Kaki jenjangnya melangkah gontai memasuki hutan yang paling ditakuti para Iblis.     

-0-0-0-0-     

"Anda... Anda siapa?" tanya Andrea saat melihat ada perempuan di sekitar pondok kayunya tampak kebingungan.     

"Ohhh, halo!" Perempuan cantik tersebut menoleh ke Andrea. Pandangannya terpana sejenak, namun lekas kembali menormalkan sikap. "Aku... Via."     

Andrea mengangguk pelan menerima jabat tangan perempuan asing bernama Via. "Hai, Via. Apa yang bisa kubantu?"     

"Unghh... aku..." Perempuan itu tampak menatap sekeliling dengan pandangan bingung.     

"Ada apa?" Andrea jadi penasaran. "Apakah kau tersesat? Perlu kuantar keluar hutan?"     

Via segera menggerakkan tangan, menolak tawaran Andrea. "Tidak! Tidak! Aku tidak tersesat! Aku... mencari..." Ia menjeda ucapannya. Andrea kian penasaran. "... mencari... emmhh... kucingku. Iya! Kucingku!"     

"Kucing Anda?" ulang Andrea. "Kucing seperti apa?"     

"Emmhh... kucing... kucing... warna hitam! Yah! Warna hitam yang sangat cantik dan mulus."     

"Warna hitam, cantik dan mulus." Andrea kembali membeo. "Anda yakin mencari kucing, Via? Bukan orang?"     

"Itu... kucing milik majikanku. Kalau sampai aku tidak menemukan dia, nyawaku taruhannya." Via memasang tampang memelas. "Kulihat tadi dia berlari ke arah sini."     

"Baiklah... aku akan membantumu, Via."     

"Eh, tunggu!" Via memegang tangan Andrea, seakan mencegah. "Aku... ermmhh..." Via tampak bingung memburai kalimat yang tepat. "Apakah kau punya makanan ekstra?"     

"Hah?"     

Dua puluh menit berikutnya, Via sudah ada di meja makan pondok Andrea. Makan lahap sajian yang ada. Andrea duduk diam menyaksikan Via makan. Sedangkan Dante duduk di sofa ruang tengah.     

"Apa dia suamimu?" Via setengah berbisik sembari jarinya menunjukan ke Dante.     

Andrea menggeleng. "Bukan. Erhh... hubungan kami... sedikit kompleks."     

Via melirik ke perut Andrea yang mulai membuncit. "Dia yang membuatmu hamil?"     

Kali ini Andrea mengangguk. "Iya. Tapi bukan atas kemauanku."     

Via kian tertarik ingin tau. "Maksudnya... kau... dipaksa? Diperkosa?"      

Sekali lagi Andrea mengangguk meski lemah. Ia tertunduk seolah malu pada kenyataan hidupnya. Sedangkan Via menghela napas dengan pikiran tak menentu mendengar tutur Andrea.     

Tamu itu lekas sandarkan punggung ke kursinya. "Tak kuduga berulang. Tsk!"     

"Hah? Apa? Apanya yang berulang?" tanya Andrea heran pada respon ucapan Via.     

"Ahh, tidak! Lupakan saja apa yang barusan kubilang. Itu hanya ucapan ngawur." Kemudian Via melanjutkan makan hingga habiskan seluruh makanan yang ada di piringnya, lalu meneguk jus buah dingin penuh nikmat.     

"Apakah Anda akan mencari kucing itu sekarang?" Andrea memandang penuh selidik.     

Via kibaskan tangan dengan gerakan santai. "Ahh, biar saja. Tidak perlu. Aku tak yakin kucing itu masih ada. Kau tau sendiri reputasi hutan ini, kan?"     

Andrea terpaksa mengangguk. Meski tak begitu paham maksud Via. "Lalu? Anda akan pulang? Aku bisa mengantar sampai gerbang dep--"     

"Tidak. Aku tak ingin pulang dalam kurun waktu ini. Aku tak mau dipenggal majikanku karena gagal membawa kucing kesayangan dia kembali. Lebih baik aku tinggal dulu di sini. Siapa tau tiba-tiba kucing sialan itu muncul," papar Via panjang lebar.     

Lagi-lagi Andrea mengangguk-angguk tanpa bisa dicegah. "Anda... akan tinggal di sini?"     

Kali ini Via yang mengangguk. Mantap dan tegas. "Ya! Tentu! Tak mengapa, kan?" Ia melirik ke arah Dante yang masih asik menonton siaran televisi. Jangan dikira dunia Iblis itu terbelakang dibandingkan dunia manusia. Justru lebih maju dan canggih kehidupan di dunia Iblis. "Toh dia bukan suamimu, ya kan?"     

"Eh? Umm... bukan." Andrea malah menyetujui tuduhan Via. "Hanya terpaksa hidup bersama karena keadaan saja."     

"Ahh, baiklah kalau begitu." Senyum Via terkembang. "Tentu kau tak keberatan kalau aku tidur satu kamar denganmu, kan? Andrea?"     

"Hei!" Dante kontan menoleh ke ruang makan tempat Via dan Andrea sedang mengobrol. Meski beda ruangan, tapi Dante tetap bisa menguping pembicaraan dua perempuan itu. "Kenapa kalian harus satu kamar?!" Ia berdiri dan melangkah ke ruang makan.     

"Dengar, Tuan. Anda bukan suami Andrea. Dia sudah menegaskan itu padaku. Maka alangkah tepatnya kalau kalian tidak tidur bersama. Itu tidak baik. Maka... Andrea harus tidur denganku. Bagian mana yang kau tak mengerti?" Via menatap Dante seolah menantang. Andrea sampai menahan tawa.     

"Tentu saja aku suami Andrea!" Dante tak terima. "Dia hamil anakku!"     

"Tapi itu karena paksaanmu, kan? Dan juga... kalian belum meresmikan hubungan suami istri, kan?" Via menohok tepat di hati Dante. Pria Nephilim itu pun terdiam.     

"Pfftt!" Andrea tak tahan untuk tidak mendengus geli.     

"Sudahlah, Tuan. Terima saja saranku. Karena yang aku sarankan tadi lebih memuat moralitas yang baik. Aku yakin itu."     

Sementara di balik dinding pondok, sepasang mata mengerjap seraya menguping pembicaraan orang-orang yang ada di dalam. Gadis berambut merah muda itu memasang tampang datar, lalu melangkah menjauh meninggalkan pondok tersebut.     

Dia adalah Ruenn.     

"Mama sudah bertemu anaknya..." gumam lirih Ruenn saat berjalan menuju gerbang hutan.     

Sejak itu, Via... alias Nivria menetap di pondok Andrea. Gadis itu senang punya teman ngobrol. Selama ini bersama Dante tak bisa nyaman mengobrol. Justru kesal saja bawaannya.     

Dante menatap curiga pada Nivria. Baginya... Nivria bagaikan Pebinor (Perebut Bini Orang). Ia tak menyukai kehadiran tamu aneh yang tiba-tiba bagai jatuh dari langit dan memaksa tinggal di pondok bersama keduanya.     

"Sayank..." Suatu hari Dante mengajak bicara Andrea. "Sebaiknya kau berhati-hati pada perempuan itu."     

"Namanya Via, tauk!" balas 'istrinya'. "Lagian aku seneng, kok kalo ada Via di sini. Kagak kesepian. Ada temen menggosip. En yang pastinya... kau tak bisa seenaknya main tindih aku lagi!" Kemudian Andrea melenggang meninggalkan Dante.     

Itulah sebabnya Dante kian tak menyukai Nivria. Sama seperti Nivria yang juga tidak menyukai Dante. Baginya, Dante sama saja dengan Zardakh. Tukang pemaksa. Egois. Tak punya perasaan.     

Semakin Dante mengingatkan Andrea untuk berhati-hati pada Nivria, semakin Andrea menganggap pria Nephilim itu menyebalkan.     

"Dann... kalo kau masih aja ngoceh macem tu, aku bisa murka loh! Mau aku murka? Lalu menendang pantatmu keluar dari Underworld?"     

Dante tak berkutik atas ancaman istrinya. "Aku hanya mencemaskan kau, yank."     

"Tak perlu! Aku bisa jaga diri. Aku kuat. Bahkan anakku pun mampu membantuku jika aku membutuhkan tenaga."     

"Mama..."     

"Ada apa?"     

"Aku juga merasakan keheranan yang sama seperti Papa," celetuk sang anak di dalam perut.     

"Maksudmu, Nak?"     

"Cuma merasa aneh saja dia tiba-tiba datang dengan alasan kucing, dan malah meminta numpang hidup di sini. Sangat aneh."     

"Nah kan, yank... Anak kita saja setuju dengan pemikiranku."     

"Shut up kalian berdua!" seru nona Cambion. "Aku tau apa yang aku lakukan. Jangan meremehkan aku, paham?!"     

Dante terdiam.     

"Kalau kau gak mau liat aku murka, lekas ubah pondok ini jadi lebih besar sedikit."     

Tuan Nephilim patuh. Ia menyulap pondok itu jadi lebih luas dan besar.     

Andrea tersenyum puas menyaksikan kepatuhan Dante.     

Sesuai kesepakatan, Andrea tidur bersama Nivria, tanpa gadis itu menyadari sosok yang rebah di sampingnya adalah orang yang dia rindukan. Keduanya asik mengobrol bagai teman lama bertemu kembali.     

"Aku senang kau di sini, Via. Rasanya aku seperti punya kakak."     

"Apa kau tak punya kakak, Andrea?"     

"Tidak. Aku anak tunggal."     

"Bukankah enak jadi anak tunggal?"     

"Tidak juga. Aku sering kesepian bila di rumah. Tapi aku punya sahabat, namanya Shelly."     

"Lalu... Shelly di mana?"     

Andrea bingung menjawabnya. Apakah dia musti mengungkap jati dirinya sebagai manusia setengah Iblis di hadapan tamu yang baru dia kenal hampir seminggu ini? "Shelly... sedang pergi."     

"Ohhh..." Hanya itu yang mencuat keluar dari mulut Nivria menanggapi ucapan Andrea.     

Dua minggu tak terasa dengan hadirnya Nivria di pondok sederhana Andrea dan Dante. Mereka kian akrab bagai saudara kandung.     

Hingga muncul gadis berambut merah muda di depan pondok ketika Andrea sedang duduk bersantai dengan Nivria di sore itu sembari menikmati secangkir susu hangat buatan Dante.     

"Halo, Kakak..." sapa Ruenn pada Andrea.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.