Devil's Fruit (21+)

Menceritakan Kisah



Menceritakan Kisah

0Fruit 374: Menceritakan Kisah     
0

"Kau suka bunga, Nak?" tanya Nivria malam itu ketika Andrea muncul di taman belakang.     

Sang putri menggosok tengkuk, gugup. "Aku... ummh... sedikit."     

"Lihat, mawar biru dan kuning sudah berbunga." Telunjuk Nivria terarah pada bunga yang disebut. "Cantik, kan?"     

Pandangan Andrea mengikuti ke sudut barat taman, dimana terhampar rumpun mawar yang menguarkan aroma manis. "Hu-um."     

"Ayo, duduk. Agar kau tidak kecapean." Nivria membimbing anaknya ke sebuah bangku taman bercat putih.     

Andrea tak menolak. Mereka pun hempaskan pantat ke bangku tersebut.     

"Bagaimana kondisimu, Nak? Sudah lebih baik dari sebelumnya?" tanya Nivria, mencoba membuka obrolan.     

Andrea masih belum alihkan pandangan dari rumpun mawar tadi. "Sudah."     

Nivria tersenyum lega jawaban Andrea sudah tidak seketus sebelumnya. "Ibu senang mendengarnya. Kau tau, waktu kau pingsan hari itu, Ibu bagai kehilangan setengah nyawa Ibu. Untunglah Dante bisa menyembuhkan kau dengan cepat."     

Andrea meringis singkat. "Ironis, kan?"     

"Ironis?" Nivria tak paham.     

"Ya, ironis. Pria yang membuatku menderita seperti ini justru yang bisa menyembuhkan tiap aku kesakitan." Andrea akhirnya mau menoleh ke ibundanya.     

Nivria lekas raih tangan anaknya, remas lembut. "Tidak, Nak. Jangan anggap itu sebagai ironisme hidupmu. Kau tetap harus mensyukuri adanya anakmu." Tangan sang bunda mengelus perut Andrea.     

"Seperti kau mensyukuri lahirnya aku?"     

"Ya, sama seperti aku mensyukuri adanya kau, Andrea."     

"Meski kau dulu... dipaksa Zardakh? Tetap mensyukuri?"     

Nivria tarik nafas terlebih dahulu sebelum menjawab putrinya. "Pertamanya memang aku benci kenyataan saat perutku membesar akibat ulah ayahmu. Namun seiring waktu, Ibu mulai mensyukuri."     

"Hn..." Andrea masih saja mengamati rumpun mawar yang menampakkan keindahannya satu demi satu.     

"Apapun dirimu, bagaimana pun wujudmu, Ibu selalu mensyukuri itu semua, karena kau adalah yang tersayang milik Ibu, tidak bisa tergantikan oleh apapun, oleh siapapun." Nivria menatap lama ke Andrea yang masih belum mau menoleh ke arahnya.     

"Lalu kenapa kau meninggalkanku?" tanya Andrea pelan, namun tersimpan bara amarah di nada perlahan tersebut.     

Nivria hela nafas sebentar. Lalu mulai bercerita. "Saat Ibu hamil dirimu, banyak warga desa yang menggunjingkan Ibu. Beberapa orang juga terkadang melempar batu ke arah Ibu jika Ibu sedang di luar rumah. Semua orang mengira Ibu membawa malu dan petaka di desa saja."     

Andrea mendengar penuh seksama. Ia biarkan tangannya digenggam ibunya. "Lalu?"     

"Meski waktu itu Ibu membenci perbuatan ayahmu, namun Ibu menyayangi kau sedari di perut. Hingga Ibu melahirkan, Ibu bahagia atas kemunculan dirimu ke dunia. Kau cantik sekali sejak bayi, sayank..." Tangan Nivria mengelus pipi Andrea.     

"Tapi kenapa..."     

"Saat Ibu berjalan ke sungai ingin membersihkan diri, muncul beberapa pemuda desa dan mereka ingin mencelakai Ibu. Ayahmu melihat dan membunuh mereka. Ibu syok."     

"Kenapa tidak kembali ke rumah untuk mengurusku?" Kini, sang Cambion sudah mulai sudi untuk menoleh ke ibunya. Namun, sorot matanya tajam, sedang menghakimi.     

"Ayahmu ingin Ibu ikut dengannya ke Underworld. Ibu menolak. Namun ayahmu berkata akan bunuh seluruh penduduk desa jika Ibu tidak bersedia ikut." Nivria terpaksa membeberkan hal pahit itu di depan anaknya.     

Andrea lemparkan pandangan ke arah lain sembari tampakkan wajah kesal. "Iblis laknat!"     

"Awalnya Ibu marah atas ancaman yang diberikan ayahmu. Namun demi kelangsungan hidup kau bersama Kakek Nenekmu dan juga penduduk desa, Ibu pun bersedia ikut."     

Andrea gantian menghela nafas sekarang. "Jadi... kini kau jadi... Iblis?"     

Nivria menggeleng pelan. "Tidak sepenuhnya. Hanya setengah. Ibu masih punya darah manusia di tubuh ini."     

"Sama seperti aku?"     

"Ya, seperti kamu, meski Ibu bukan Cambion."     

"Apakah kau puas dengan pilihanmu?" Andrea penasaran. Selama ini dia mengutuk adanya darah Iblis mengalir di tubuhnya. Apakah Nivria juga demikian?     

"Puas, karena ayahmu berjanji terus menjaga kau untukku. Bagi Ibu, keselamatanmu adalah segalanya."     

"Kenapa kau tidak pernah menengokku di dunia manusia?" Andrea merasa tidak bisa mengekang rasa penasaran dan amarahnya atas sikap sang ibunda yang seolah-olah menelantarkan dia.     

"Itu... Zardakh tidak mengijinkan. Ia akan hentikan perlindungannya padamu jika aku nekat ke dunia manusia." Nivria tertunduk. Kala itu, ia memang tidak memiliki pilihan lain selain patuh pada apapun kehendak King Zardakh.     

"Benar-benar Iblis keparat!" geram Andrea kesal hingga ke ubun-ubun.     

Nivria kembali meremas lembut tangan putrinya. "Jangan salahkan ayahmu. Dia hanya tak ingin Ibu celaka."     

"Tapi dia memisahkan aku denganmu!" protes Andrea.     

"Bukankah sekarang kita bisa bersama?" Nivria terus memandangi anaknya disertai senyum tak lepas membingkai wajah ayunya. Mereka berdua memang memiliki kecantikan yang menyenangkan siapapun yang menatap.     

Andrea terdiam akan jawaban Nivria. Memang, kini mereka sudah bisa berkumpul layaknya keluarga. "Tapi Opa dan Oma?"     

"Aku sedang membujuk ayahmu agar ijinkan mereka tinggal di sini bersama kita." Nivria menepuk-nepuk punggung tangan anaknya.     

Andrea menggeleng. "Aku yakin Opa dan Oma gak akan mau ke sini."     

"Ibu akan bujuk Zardakh untuk buatkan dunia untuk kita jika memang Oma dan Opamu tak bersedia tinggal di sini." Nivria berusaha meyakinkan sang putri agar mempercayainya, meski dia juga berusaha untuk mempercayai janji King Zardakh.     

"Dia bilang kalo dia bakalan membuatkan dunia untuk kita?" Mata Andrea menyipit. Ada rasa enggan percaya jika itu menyangkut King Zardakh. Sejak awal, dia sudah antipati dengan sang ayah.     

"Ya. Dunia khusus untuk kita tinggal. Yang Ibu tau, itu kekuatan pamungkas ayahmu, menciptakan sebuah dimensi dimana tak akan ada yang bisa menembus kecuali ayahmu sendiri yang membukanya." Nivria tatap penuh kehangatan pada sang anak yang masih saja memandangi dia dengan tatapan skeptis dan sinis.     

"Kenapa tidak sekarang saja kita ke dunia itu?" tanya Andrea, entah dia sedang memojokkan atau sedang mencoba menyadarkan sang ibu agar tidak terlalu mempercayai ucapan sang raja iblis Kerajaan Zranh.     

"Tidak semudah itu, Nak. Butuh kekuatan sangat besar dari ayahmu untuk menciptakan itu. Juga akan membahayakan nyawanya jika ia gegabah membuatnya."     

"Jangan lupa bahwa aku ingin ayah laknat itu mati."     

Nivria memandang sedih ke anaknya. "Kau masih berhasrat membunuh ayahmu?"     

Nona Cambion mengangguk. "Tentu. Aku berharap dengan membunuh dia, darah Iblis di tubuhku bisa lenyap, dan aku bisa hidup tenang tanpa dikejar-kejar lagi oleh makhluk-makhluk yang mengincar kekuatanku."     

Ibunya mengulum bibir, susah berkata-kata. "Baiklah."     

Andrea miringkan kepala ke Nivria. "Serius akan berikan aku cara membunuh dia?"     

Nivria tau akan percuma saja menentang keinginan Andrea. "Ya, Ibu tau caranya."     

"Kau tak apa jika aku bunuh Iblis kesayanganmu?"     

Helaan nafas terdengar kuat dari Nivria. "Jika memang kau menginginkan demikian, Ibu bisa apa?"     

"Baguslah." Andrea tersenyum puas. "Kuharap kau secepatnya berikan cara itu. Kuharap sebelum aku melahirkan, darah Iblis di tubuhku dan anakku bisa hilang dan kami bisa hidup normal."     

Nivria menelan saliva. "Iya."     

Nyonya Nivria tidak memiliki opsi lain untuk menolak kemauan Andrea, sang putri terkasih. Punya hak apa dia untuk menolak? Sedangkan semenjak Andrea bayi pun dia tidak bertanggung jawab merawat sang anak, dan meninggalkan begitu saja. Kini, ketika sang anak memiliki keinginan besar, bagaimana bisa Nivria tidak mengabulkannya? Meski itu menyakitkan.     

Ruenn meremas tangan, menggigit bibir bawahnya sendiri, terdiam di balik dinding taman mendengar percakapan antara Nivria dan Andrea.     

-0-0-0-0-0-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.