Devil's Fruit (21+)

Desiran Amarah



Desiran Amarah

0Fruit 314: Desiran Amarah     
0

"Ernnghh..."     

Sebuah erangan lolos begitu saja dari mulut terkatup milik Dante. Tubuhnya mulai bergerak. Tangan merayap ke samping, namun kosong. Ia masih terpejam sembari mengingat bahwa Andrea ada di sampingnya. Tapi kenapa ini tidak ada? Apakah Andrea sudah bangun lebih dulu?!     

Namun ada yang aneh. Tanahnya terasa empuk.     

"Haaghh!" Dante terbangun sembari duduk. Begitu ia membuka mata, Dante hanya melihat ruangan kamarnya saja.     

"Dante!" Dari arah pintu menghambur Revka yang langsung memeluk penuh syukur. "Akhirnya kau sadar juga!"     

Pria Nephilim itu kebingungan. Ia menatap Erefim yang sudah berdiri di dekat ranjangnya, lalu melirik Revka yang erat memeluk.     

Kemana Andrea?! Kenapa begitu bangun, ia justru ada di kamarnya?! Pertanyaan itu silih berganti berputar di otaknya.     

"Saya bawakan minuman penambah tenaga untuk Anda, Tuan." Erefim meletakkan segelas cairan berwarna hijau di meja nakas dekat ranjang.     

Dante terdiam. Ia masih linglung.     

"Sayank... apa ada yang sakit?" Revka akhirnya melepas pelukan, menatap Dante dengan pandangan cemas. Tangan lentik itu mengusap lembut pipi sang pria yang tetap saja diam. "Sayank? Kenapa? Kau bingung?"     

"Kenapa aku di sini?" Rasa penasaran pun tak bisa dibendung dan diungkap begitu jujur. Dante tatap Revka dan Erefim bergantian, mengharap jawaban.     

Revka tersenyum. "Iblis laknat bernama Djanh langsung mengembalikanmu ke sini. Kau tidak terluka, kan?"     

"Mana Andrea?" tanya Dante.     

Revka mengernyit, mendadak kesal. "Kenapa menanyakan dia? Mana aku tau."     

Dante bungkam.     

.     

.     

.     

Di tempat lain, Andrea baru saja menyesap susu hangat buatan Shelly. Mata sang sahabat sampai bengkak karena menangis, antara haru, senang, dan sedih.     

Andrea kembali dengan kondisi demam dan muka pucat.     

Kenzo rasanya ingin menghajar Pangeran Incubus Djanh, namun itu mustahil karena perbedaan status mereka.     

Untunglah setelah sehari di rumah, dan dirawat Shelly, kondisi Andrea lekas membaik. Sobatnya tak mau jauh dari gadis Cambion itu. Bahkan rela tak masuk sekolah demi menjaga Andrea.     

"Pulanglah, Shel... ada Kenzo dan yang lain di sini, kok."     

"Enggak! Aku enggak mau pulang! Pokoknya enggak!" Shelly memeluk sambil tersedu sehingga Andrea musti mengusap-usap rambut sang sahabat.     

Kenzo terus mengamati Tuan Puterinya. Seperti ada yang berbeda semenjak kepulangan Andrea. Gadis itu lebih pendiam. Dan murung.     

Ingin sekali bertanya ke Pangeran Djanh, namun Iblis itu malah menghilang begitu mengembalikan Andrea ke rumah.     

Seperti malam ini, begitu Shelly terlelap, Andrea menyusup ke balkon tanpa sepengetahuan Shelly. Lalu ia akan duduk memeluk lutut di sudut balkon dan memandang langit. Sudah malam ketiga sikap Andrea demikian.     

"Puteri..." Kenzo kali ini mendatangi Andrea, tak diam mengamati saja.     

Andrea menoleh ke panglima kepercayaan ayahnya. "Ada apa?"     

"Apakah ada yang mengganggu pikiran Anda, Puteri?"     

Tatapan Andrea pun kembali ke langit. "Tidak ada."     

"Tapi rasanya Anda-"     

"Aku ingin sendiri dulu, Ken."     

Kenzo tak bisa berkata-kata lagi. Ia menunduk hormat dan mundur masuk ke ruangan dalam, bergabung dengan para Soth.     

Andrea mengeratkan pelukannya pada lutut yang ia tekuk ke atas. Benaknya berkecamuk. Peristiwa naas dia bersama Dante terus menghantui memorinya. Ingin sekali bisa lupa kejadian menyakitkan itu, tapi bagaimana caranya?     

Dante telah menyentuhnya secara brutal. Menyakiti begitu dalam. Melecehkan sedemikian keji. Lalu... sebentar lagi mungkin ia akan diburu untuk dibunuh. Entah oleh Dante atau Nephilim lainnya.     

Seketika Andrea membenci hidupnya. Ia benci nasibnya. Benci akan takdir yang mengikatnya.     

Tangan kurus itu pun mengusap lelehan air mata yang mengalir tipis di pipi.     

.     

.     

.     

"Kau yakin ingin masuk sekolah?" Shelly sampai terbelalak tak percaya ketika Andrea mengungkapkan pagi itu dia ingin berangkat sekolah. Andrea sudah menghilang selama satu tahun penuh.     

Bahkan, kini mereka sudah menempati kelas tiga SMA. Apakah mungkin bagi Andrea untuk masuk begitu saja? Semoga bisa.     

Gadis Cambion pun mengangguk. "Aku udah bolos lama sekali, ya kan? Satu tahun. Lagipula, di rumah saja juga malah bosan dan bikin tambah tertekan." Ia sedang sibuk memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. "Nanti bantu aku temui Pak Kepsek untuk bolehin aku sekolah lagi, yah beb!"     

Shelly dan Kenzo saling bertatapan, seolah mereka sedang bertelepati apakah Andrea layak dibiarkan sekolah.     

"Ayolaahh..." erang Andrea, menyadari kalau dua orang di dekatnya sedang saling mengirim sinyal entah apa itu.     

"Baiklah, baiklah." Shelly mengalah dan tersenyum.     

Pagi itu mereka berangkat ke sekolah.     

"Puteri, ingat... Anda harus selalu tenang agar aroma spesial Anda tidak keluar." Kenzo mengingatkan sebelum Andrea masuk ke pelataran sekolah. Semalam Andrea sempat berbincang mengenai itu pada Kenzo.     

"Iya,  iya. Aku tau. Sudah, jangan kuatir. Toh ada kalian yang akan selalu di dekatku, ya kan?" Senyuman ditorehkan untuk Shelly dan Kenzo. Keduanya mengangguk yakin.     

Begitu sampai di kelas yang sama dengan Shelly, semua teman menyapa Andrea. Semua berebut menanyakan keadaan gadis itu. Andrea malah berikan jawaban santai sambil terkekeh.     

Namun begitu dia melihat ke arah deretan bangkunya...     

DEG!     

Ada Dante.     

Andrea mematung. Nafasnya mendadak terasa sesak. Dante pun tak kalah tegang. Wajahnya terarah ke Andrea, namun tidak bermuatan hawa membunuh.     

Tidak.     

Ini beda.     

Gadis Cambion itu pun balik badan dan menepuk pundak salah satu teman, "Yoana, kita tukeran tempat duduk, yah!" pinta Andrea pada siswi yang duduk di depan papan tulis.     

"Eh? Kenapa?" Yoana agak bingung. Tak biasanya Andrea ingin duduk di depan.     

"Biar lebih fokus. Ayolah, aku ini sudah banyak ketinggalan pelajaran. Please..." rayu Andrea dengan wajah penuh penghayatan.     

Yoana mengalah. "Baiklah."     

"Sekalian ama Shelly, yah. Hehe..."     

"Aiihh, Andrea..." Namun Yoana tak bisa menolak. Ia membiarkan bangku dia dan temannya diduduki Andrea dan Shelly.     

Ketika Andrea menjejakkan pantat di bangku depan, ia melirik sekilas ke belakang. Pasti Dante sedang memperhatikan dia. 'Sedang menyusun rencana untuk pembunuhan kah, tuan hebat?' batin Andrea.     

Sepanjang pelajaran, Andrea mati-matian berusaha tenang. Ia tak mau aromanya menguar atau keadaan bisa kacau. Ia terus mencoba mengalihkan pikiran ke hal lain. Apakah ke sekolah adalah keputusan yang salah?     

Tapi dia bisa gila jika terus mengurung diri di rumah.     

Jam rehat kedua, Andrea berjalan bersama Shelly dan Kenzo menuju ke kantin. Dante mengejar ketika tiga orang itu sedang jalan di samping aula dekat kantin.     

"Andrea-" Dante menggapai lengan Andrea.     

"Jangan sentuh aku!" teriak Andrea sembari mendorong tubuh Dante yang langsung terpental menghantam tembok. Untung saja tidak sampai rubuh.     

Kenzo sudah ancang-ancang menyerang.     

"Andrea, aku cuma ingin ta-"     

"Diam! Gak usah bicara apapun ama aku!" teriak Andrea tegas. Beberapa siswa sampai menoleh ingin tau.     

"Tuan Puteri... kendalikan-"     

"Aku tau, Ken. Aku tau!" Andrea mulai bernafas perlahan agar emosinya turun. Kemudian dia menatap Dante. "Jangan dekati aku atau bicara padaku. Cukup adalah cukup!"     

Andrea pun melanjutkan jalan diiringi Shelly dan Kenzo.     

Sepanjang jam makan siang di kantin, Andrea membisu. Shelly tau diri untuk tidak mengusik. Sedangkan Kenzo makin bertanya-tanya. Biasanya Andrea yang ketakutan kalau ada Dante, tapi kini malah berbeda. Dan... kenapa tatapan Dante lain? Tidak lagi sengit penuh kebencian.     

Teka-teki itu sangat membuat Kenzo frustrasi. Ingin menjambaki rambut Djanh agar Pangeran Iblis itu mengatakan apa saja yang terjadi di dimensi ciptaannya antara Andrea dan Dante. Tapi Djanh keparat itu seolah tau tengah dicari-cari, makanya menghilang seenaknya.     

Kini keadaan malah berbalik. Justru sekarang tatapan Andrea penuh kebencian pada Dante, dan pria Nephilim itu menatap penuh harap sekaligus putus asa ke Andrea.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.