Devil's Fruit (21+)

Jangan Sakiti Mereka!



Jangan Sakiti Mereka!

0Fruit 154: Jangan Sakiti Mereka!     
0

Belum selesai Andrea mencerna keterkejutan yang dia dapatkan, tiba-tiba Piton Raksasa telah maju dengan kekuatan secepat kilat ke arah Andrea.     

Sabrina dan Kuro yang tergeletak di tanah tak sempat menghalangi. Raut wajah mereka pias tanpa bisa lekas bergerak dan hanya berseru bersamaan.     

"Awaassss, Nonaaa!"     

"MAMAAAA!"     

Kepala piton yang berukuran sebesar tank perang itu menerjang ke Andrea. Sang gadis Cambion tak sempat menghindar karena kurangnya waktu untuk merespon. Dia hanya sempat silangkan tangan kiri ke depan dada.     

"SCUDO!" teriak Andrea pasrah sambil menutup mata. Ia bertanya-tanya, apakah ini adalah akhir dari kehidupan dia? Setelah semua perjuangan dan segala perih selama berbulan-bulan menempa diri di alam ini, apakah ini adalah akhir dari semuanya?     

Perisai cahaya berbentuk kristal Scudo segera mewujud di depan tubuh Andrea.     

DHUAAKK!     

Tabrakan keras antara terjangan kepala dan Scudo menyebabkan Andrea terpelanting, terbang ke belakang belasan meter dan punggungnya lekas menghantam batang pohon. Jika tak ada pohon tersebut, dia mungkin sudah berada dua puluh meter lebih hanya dari tubrukan kepala piton raksasa.     

"Uhuk!" Andrea batuk sekaligus mundur beberapa langkah seraya memuntahkan seteguk darah. Raut wajah cantiknya sudah seputih kertas HVS dengan mata masih tajam, lekat tertuju ke piton raksasa yang terlihat pongah.     

Jikalau tatapan bisa membunuh secara instan, maka piton raksasa arogan itu pasti sudah mati berkali-kali semenjak tadi.     

"Mama!" Kuro lekas terbang melesat ke Andrea dengan wajah sangat cemas.     

Sabrina geram. Dia ingin membalaskan untuk nonanya. Oleh karena itu, macan sabertooth itu segera bangkit dan meloncat sekuat tenaga untuk menyerang piton raksasa.     

Sayangnya, Sabrina benar-benar bukan lawan yang cocok untuk piton raksasa berusia ribuan tahun yang telah mengalami evolusi kekuatan elemen.     

PLAKK!     

Sekali lagi Sabrina terpelanting begitu ditampar oleh ekor piton.     

"Kau serangga kecil masih saja tak tau kemampuan lemahmu itu dan mencoba menyerang tuan hebat ini?" Mata ganas piton raksasa terarah ke Sabrina yang terkulai di tanah, kesusahan bangkit. Bahkan untuk bergerak saja terasa sulit.     

Rupanya kaki belakang Sabrina patah akibat hempasan kuat dari si piton tadi. Sabrina geram luar biasa. Ia merasa tak berdaya dan mengutuk lemahnya kekuatan dia sehingga gagal melindungi nonanya.     

"Bree!" Andrea berseru putus asa ketika melihat macan cantiknya tak berdaya ketika piton mendekat ke arahnya.     

"Groaarrghhh!" Tiba-tiba, Noir sudah melaju dan menancapkan kuku-kuku tajamnya pada tengkuk ular raksasa.     

Piton itu terkejut, tak mengira akan mendapatkan serangan dari belakang. Ia mencoba menggapai Noir yang masih bertahan di tengkuk si ular. Bahkan, dia kini sudah hujamkan taring-taring kuat dia menembus daging piton raksasa.     

Noir rela meninggalkan pertarungan dia bersama Dante demi melihat Sabrina dalam bahaya besar. Meski ukuran dia masih kalah dari si ular, Noir tidak peduli sama sekali. Baginya, keselamatan Sabrina lebih penting daripada hidupnya.     

Piton raksasa masih bergerak gelisah karena Noir masih di tengkuk dia tak mau menyerah dan melepaskan cengkeraman. Ia menggeliat keras ke sana dan kemari demi bisa membuang Noir dari tubuhnya.     

Sabrina menyaksikan itu dengan mata basah sambil lirih menyebut nama sang singa hitam. Ia susah payah bergerak bangkit, tertatih dengan tulang kaki yang patah.     

Andrea mulai tersulut emosi. Ia tidak menyukai siapapun yang dia sayangi mendapatkan penderitaan sekecil apapun.     

Ular piton pun menjatuhkan punggungnya ke sebuah bukit, dan itu berakibat lepasnya Noir dari dirinya, terhempas di bukit tersebut, tergeletak lemah.     

Noir menggeram kecil sambil memasrahkan diri jika memang takdirnya selesai di sini.     

Ular piton raksasa memandang marah ke Noir yang belum berhasil bangkit. "Kau berani membokong aku juga, makhluk lemah?! Apa kau sudah siap kujadikan kudapan ringanku hari ini?!" Mata si piton berkilat memandang Noir. Ia tidak keberatan menjadikan Noir makanannya karena bertubuh lebih besar ketimbang Sabrina maupun Andrea.     

"JANGAN SAKITI MEREKA!" seru Andrea penuh amarah. Tenaga Mossa-nya ia kerahkan secara maksimal ke tubuh ular yang ingin menelan Noir.     

Sayangnya, Mossa masih belum memberikan dampak besar. Kepala ular itu hanya bergeser beberapa inci dari posisi sebelumnya ketika diterjang Mossa.     

Andrea terkejut pada awalnya, namun ia tak mau menyerah. Meski bisa sedikit menjauhkan ular itu dari Noir, itu lebih baik daripada tidak sama sekali!     

Maka, Andrea terus kibaskan tangannya sambil terus keluarkan Mossa ke kepala ular. Piton raksasa pelan-pelan mulai terdorong ke samping sehingga Noir memiliki kesempatan untuk bangun dan menyingkir dari sana.     

Piton raksasa sudah hampir mendapatkan Noir, namun karena dorongan Mossa dari Andrea, menyebabkan mangsanya lepas dan lari. Ia palingkan kepala ke arah Andrea. Ia mengabaikan Noir yang mendekati Sabrina untuk melindungi macan betina itu.     

"Kau, cecunguk manusia gembel lemah!" teriak murka piton raksasa ribuan tahun. "Apa kau tidak pernah bisa mengeja kata menyerah dalam pelajaran yang kau dapat?"     

Andrea terkekeh. Ia menyeka kasar tepi bibirnya untuk menghapus darah di sana. "Heheh! Yang aku selalu eja dalam otakku justru kata sebaliknya. Aku justru hanya mengenal kata 'tidak pernah menyerah'!"     

Ular piton raksasa mendelik tak senang dengan kalimat Andrea yang terkesan memprovokasi dia. "Kau sungguh melebih-lebihkan dirimu sendiri, manusia bodoh yang lemah! Hari ini akan aku ajari kau apa itu kata 'menyerah'!!!"     

Wuusss!     

Ular itu menghambur ke arah Andrea secepat kilat. Gadis Cambion sudah siaga kali ini dan dia sudah mempersiapkan senjatanya.     

Tanpa mengenal rasa takut sedikitpun, Andrea berlari pula ke arah ular piton raksasa sambil membawa sesuatu. Ketika jarak mereka sangat dekat, Andrea lesatkan benda di tangannya menuju ke jantung piton raksasa.     

Crasssss!     

"Arrrghh!" Ular piton raksasa menjerit saat ia tertusuk benda dari Andrea. Rupanya itu sebuah lembing tajam yang terbuat dari dahan besar kayu dan dibungkus tanah padat.     

Andrea rupanya sudah membuat itu dan lekas menyimpannya di RingGo sembari menunggu kesempatan untuk melemparkannya ke ular raksasa. Dia sengaja mengeluarkan lembing itu ketika jarak mereka sudah sangat dekat, karena jika ditampakkan dari awal, piton akan berbalik dan Andrea akan gagal membidik jantung si ular.     

Akibat dari tusukan lembing bumi itu, ular piton meraung kesakitan. Elemen api dia memang lemah terhadap elemen bumi. Lembing bumi dari Andrea menancap di dada ular meski sedikit menyentuh jantung si ular, namun itu tidak sepenuhnya mematikan bagi piton.     

"Manusia tolol!!!" teriak ular begitu murka karena dia berhasil dilukai makhluk yang dia anggap rendah dan hina. Ia mulai bergerak maju menerjang Andrea seraya berseru lantang, "Kau bisa ucapkan selamat tinggal setelah ini!!!"     

Andrea tidak surut dan ia malah maju menerima si ular yang mulai membuka moncongnya, siap menelan bulat-bulat Andrea. "Yeah benar, aku emang harus ucapkan selamat tinggal... TAPI PADAMU, ULAR BEDEBAH! HIYAAAKHHH!"     

Berkelit sekali sebelum moncong lebar ular menjangkau tubuhnya, Andrea lekas keluarkan sesuatu dari RingGo.     

Tepat disaat piton raksasa merasa dirinya unggul dan sudah membayangkan kemenangan, titik lemahnya—tujuh inci di bawah leher—telah diterjang oleh tebasan cakar besar nan tajam yang digenggam erat Andrea. Itu adalah cakar dari elang raksasa yang pernah dikalahkan Andrea dan ia koleksi untuk senjata di saat darurat.     

Untaian benang merah mencuat begitu cakar elang raksasa yang dimiliki Andrea berhasil merobek leher piton tanpa ampun dan tanpa belas kasih.     

Air mancur pekat berwarna merah segera muncul dari luka sobek itu penuh keindahan bagai ledakan kembang api.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.