Devil's Fruit (21+)

Girls' Talk



Girls' Talk

0Fruit 160: Girls' Talk     
0

Maka, demikianlah yang terjadi. Andrea dan Sabrina selama beberapa hari ini diwajibkan untuk tetap tinggal di alam Cosmo agar memulihkan diri, sedangkan yang lainnya berburu inti kristal di luar.     

Karena tidak bisa lagi mengandalkan tenaga pelacak Sniffer Andrea, mereka meminta Rajawali Angin untuk membawa mereka mencari buruan. Untung saja itu hewan gigantic sehingga Noir bisa muat di punggungnya yang lebar.     

Sedangkan di alam Cosmo, Andrea dan Sabrina bersantai memanjakan diri.     

"Ayo kemon, Bree!" Andrea ayunkan tangannya dengan gestur mengajak Sabrina.     

Macan Sabertooth cantik itu patuh dan segera membuntuti Andrea. Mereka berjalan pelan ke sebuah tempat usai makan pagi dan setelah Dante and the genk keluar.     

"Di sini konon tempat favorit Dante." Andrea berdiri di depan kolam air panas misterius. Meski dia mengalami sensasi kolam ini hanya di mimpi, namun itu menetap sebagai memori untuk dia.     

Andrea mulai membuka handuk yang meliliti tubuh indahnya dan bersama Sabrina, keduanya perlahan-lahan turun ke kolam.     

"Urrff~ panas..." Andrea menahan rasa panas yang langsung menyengat di kakinya, namun dia tetap saja memasukkan tubuhnya.     

Sabrina juga menyetujui ucapan Andrea, bahwa kolam ini sungguh-sungguh panas. "Tapi anehnya, kenapa kolam sepanas ini tidak mengeluarkan uap, ya Nonaku?"     

Puteri Cambion mengangguk. "Mungkin ini alasan kenapa dinamai Kolam Panas Misterius ama si Dante. Tapi kata dia, ntar kita bakalan terbiasa ama panasnya, sih!"     

Tak berapa lama, mereka sudah berendam di tepi dangkal kolam. Kolam ini bukan seperti kolam renang yang memakai ubin di fisiknya. Ini benar-benar kolam alami dengan batuan di segala sisi.     

Panasnya air kolam terasa kontras dengan udara dingin yang bertiup di alam Cosmo. Tapi Andrea tidak mempermasalahkan itu. Justru hal ini terasa nyaman. Ia dan Sabrina mulai beradaptasi dengan air kolam.     

"Nonaku benar, airnya makin lama makin terasa hangat dan tidak sepanas pertama kali masuk," kata Sabrina mengakui ucapan Andrea beberapa saat lalu.     

"Hu-um, Dante emang gak bohong, ini beneran bisa bikin kita betah setelah beberapa menit." Ia duduk diam berendam memejamkan mata.     

"Sepertinya kolam seperti ini memiliki banyak khasiat, Nonaku." Sabrina duduk rileks tanpa kuatir kepalanya akan tenggelam karena meski dia duduk rebah di kolam, air kolam di bagian tepi hanya sebatas pertengahan lehernya saja. Itu karena dia besar.     

Sedangkan Andrea, dia duduk di kolam dan terendam hingga bahunya. Bisa dibayangkan perbedaan besar tubuh kedua makhluk beda ras tersebut.     

"Iya, kamu bener, Bree. Dante bilang khasiat kolam ini emang bejibun sesuai yang udah dia alami sendiri. Selain mengusir rasa dingin, juga untuk mengembalikan tenaga dan vitalitas. Ah, dia bilang juga untuk relaksasi. Dan tadi dia berani jamin kolam ini bagus untuk pemulihan tulang kita."     

"Kurasa itu karena kolam ini berada di alam Cosmo, Nonaku. Tak ada satupun hal di sini yang tidak bermanfaat." Sabrina ikut pejamkan mata dan menikmati energi kolam yang seakan membelai setiap aliran darah dan saraf-saraf di tubuhnya.     

"Hihi... iya juga, yah!" Andrea terkikik tanpa membuka matanya. Ia teringat ini adalah benda yang diberikan oleh Kenzo. Teringat Kenzo, ia jadi ingat seluruh teman dan keluarga terdekat dia yang ada di alam Bumi.     

Andrea mendesah pelan. Ia terjebak di dunia ciptaan Pangeran Djanh, entah sampai kapan. Ini sudah memasuki bulan ketujuh, tapi mereka masih saja berkutat di alam itu tanpa menemukan pintu keluar. Apakah Pangeran Djanh memang berkehendak agar Dante dan Andrea hidup di sana seterusnya selama-lamanya?     

"Bree... apakah kau menyukai Noir?" Tiba-tiba Andrea menanyakan hal itu.     

Sabrina langsung membuka matanya dengan raut terkejut. "Nona... Nonaku... kenapa menanyakan itu? Apakah... kentara?"     

Andrea ikut membuka matanya dan menoleh ke Macan Sabertooth cantik di samping kanannya. "Ternyata benar." Dia tersenyum sebelum menutup matanya lagi.     

Namun, Sabrina sudah kehilangan ketenangannya karena ucapan Andrea. "Nonaku, apakah... apakah itu sebuah masalah jika... jika..." Ia kehabisan kata-kata dan rasanya sulit meloloskan dari tenggorokannya.     

"Jika kalian berpacaran?" tebak Andrea secara lugas. Ia buka mata dan tatap Sabrina lagi. "Sama sekali bukan merupakan sebuah masalah bagiku. Dan aku yakin takkan ada yang menentang jika memang begitu kejadiannya."     

Nona Cambion julurkan tangan kanannya untuk meraih pipi Sabrina dan mengelus pipi penuh bulu tersebut. "Aku yakin itu bukan cinta sepihak, kan? Noir juga menyukaimu, benar gak tebakanku?"     

Sabrina tersenyum malu-malu dan menundukkan kepala. "I-iya, Nonaku. Dia juga. Um... kami... kami saling suka."     

"Pantas saja kalian sudah tak mau lagi tidur di pondok," ucap Andrea tersirat.     

Dulu, Sabrina selalu tidur menemani Andrea di kamarnya, dan demikian juga Noir tidur di kamar Dante, meski keduanya tidur di lantai.     

Namun sudah beberapa minggu ini keduanya menolak tidur di kamar para majikan mereka dengan berbagai alasan disampaikan sehingga Dante dan Andrea tidak bisa menolak keinginan mereka untuk tidur di luar pondok.     

"Ungh~ anu~ apakah... apakah itu sebuah hal salah, Nonaku?" Sabrina masih tertunduk malu. "Jika... jika itu salah di mata Nonaku, maka aku akan kembali menemani Nonaku setiap tidur!" Sabrina angkat kepalanya dan wajah malu-malu dia terlihat jelas.     

Andrea terkikik sebelum menjawab, "Hihi... santuy aja, Bree. Kalau kalian saling sayang saling suka dan bahkan udah saling cinta, kami pasti memaklumi kalau kalian butuh tempat privasi untuk mengeluarkan rasa sayang kalian satu sama lain..." Ia menepuk-nepuk lembut pipi Sabrina.     

Macan cantik itu terlihat lega karena ternyata majikannya tidak mempermasalahkan hal itu. "Nonaku, kenapa Nonaku dan Tuan Dante tidak tidur satu kamar? Bukankah kalian juga seperti aku dan Noir?"     

"Uhuk! Uhuk!" Andrea seketika terbatuk. Kalimat Sabrina bagai menyodok ginjalnya dan membuatnya terbatuk. Entah apa kaitannya.     

"Nonaku?" Sabrina jadi tak enak hati sendiri karena mengucapkan itu. "Maaf..."     

Andrea lekas kendalikan dirinya dan mengusap-usap pipi Sabrina. "Ehem! Jangan kuatir, Bree... aku gak mati karena batuk, kok!" Ia mengeluarkan tersenyum palsu. Hatinya berkecamuk beribu rasa yang saling tumpang tindih begitu acak.     

"Nonaku, jika hal itu tidak nyaman dibicarakan, maka lupakan saja, Nonaku. Tolong lupakan dan anggap aku tak pernah bicara itu!" Sabrina panik, takut membuat Andrea marah.     

"Santai aja, Bree. It's okay untuk bertanya tentang itu ke aku." Ia kalungkan lengan kanannya ke leher Sabrina meski tidak bisa sepenuhnya, dan ia tarik leher itu sehingga kepala kedua gadis itu saling beradu lembut. "Bagaimana menurut kamu soal aku dan Dante?"     

Andrea sudah menjauhkan kembali kepala mereka dan menatap Sabrina lekat-lekat, ingin tau penilaian dari macan kesayangannya.     

"Menurut aku..." Sabrina sepertinya ragu-ragu memberikan jawaban, takut menyinggung Andrea. Tapi melihat tatapan intens dari majikannya, ia tau ia tak punya pilihan selain bicara. "Mhh~ menurutku Nonaku dan Tuan Dante saling mencintai."     

"Begitukah?"     

Sabrina mengangguk. "Tapi... sikap yang kalian tunjukkan di luar sangat bertentangan dengan yang ada di hati kalian. Apakah dugaanku benar, Nonaku?"     

Andrea terkekeh. lalu tanpa melepaskan lengkungan lengan kanan di leher Sabrina, ia memandang ke depan sekaligus mendesah. "Aku sendiri gak tau sebenarnya apa hubungan kami bila disebutkan. Kami ini... kau tau, kami tadinya seperti musuh bebuyutan. Dante awal ketemu aku malah langsung pengen bunuh aku!"     

Sabrina terperangah kaget. "Tidak mungkin..." Ia tidak mempercayainya.     

Andrea mengangguk tegas. "Emang gitu, kok!" Kemudian dia menceritakan awal mula pertemuan dia dan Dante, dan alasan kenapa Dante begitu sengit padanya di awal itu.     

Sabrina dengan tenang mendengarkan semua kisah dari Andrea. Terkadang dia terkejut lalu berangsur-angsur tenang dan mendengarkan lagi. Seperti itu sampai semua cerita selesai.     

"Nonaku, kenapa kalian tidak saling ungkapkan perasaan masing-masing saja? Bukankah sangat melelahkan jika saling tidak mengakui begitu?"     

"Hghh~" Andrea mendesah. "Kadang ada hal-hal yang memang susah banget untuk diungkapin, Bree. Aku emang sayang ama dia, tapi... rasanya ada suatu penghalang yang bikin aku gak mau akui itu di depan dia."     

"Apakah Nonaku menunggu Tuan Dante yang lebih dulu mengakui perasaannya?"     

"Gak, gak, gak gitu, Bree. Dia udah beberapa kali nembak aku, entah di mimpi atau di luar mimpi. Tapi aku... aku seperti susah bilang iya ke dia..." Andrea jadi termangu sendiri. "Apa aku ini bebal, yah Bree?"     

"Mungkin Nonaku hanya kuatir akan tersakiti oleh cinta?"     

Andrea menatap Sabrina.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.