The Alchemists: Cinta Abadi

Salju Turun di Paris



Salju Turun di Paris

0

Apartemen Jean di Paris sama seperti apartemennya di Singapura, memiliki satu kamar tidur tetapi dengan ruang tamu dan dapur yang sedikit lebih besar. Finland langsung merasa kerasan saat masuk ke dalamnya.

0

Berbeda dengan apartemennya di Singapura yang terlihat lebih minimalis dan kaku, apartemen Jean di Paris lebih memiliki warna dan terlihat lebih hidup.

"Aku suka penataannya," puji Finland. "Seleramu selalu bagus."

"Terima kasih. Sedikit berantakan, aku belum sempat beres-beres... ahahaha."

Jean menyalakan pemanas ruangan lalu membawa koper Finland ke kamarnya dan menaruhnya di sudut. "Karena sekarang kamu sudah jadi istri orang, aku harus sedikit menjaga jarak. Kamu tidur di kamar, aku di sofa ya."

"Aduh, Jean... kan aku yang tamu, masa tuan rumah di sofa?" protes Finland.

"Aduh... sofaku enak banget kok. Kamu nggak usah kuatir," Jean tertawa. Ia lalu mengeluarkan sebotol baileys dari kulkas dan menuangkan masing-masing segelas untuk mereka. "Kita istirahat dulu menghangatkan diri. Nanti sore aku ajak jalan ke Sacre Coeur. Lumayan juga jalan nanjak ke sana, hitung-hitung olahraga...hahaha.."

Sacre Coeur adalah salah satu gereja tua di Paris yang sangat terkenal dan letaknya cukup tinggi. Pemandangan kota Paris dari sana sangat cantik dan membuat banyak turis berduyun-duyun mengunjunginya setiap saat.

Mereka duduk menikmati baileys sambil ngobrol tentang pekerjaan Jean dan kota Paris. Finland sangat kagum melihat begitu banyak majalah di apartemen Jean yang memuat fotonya.

Saat mereka berjalan kaki menuju apartemen tadi juga ia melihat beberapa orang menoleh dua kali ketika berpapasan dengan mereka, seolah mengenali Jean entah dari mana. Waktu mendarat di bandara Charles de Gaulle, Finland juga melihat wajah Jean di billboard iklan parfum.

"Billie memintaku untuk menjadi model di video klipnya yang baru nanti," kata Jean saat TV menampilkan musik Billie Yves. "Ngomong-ngomong, dia kirim salam..."

"Benarkah? Wahhhhh..." Finland seketika merasakan wajahnya panas. Idolanya ternyata masih ingat kepadanya. "Di mana dia sekarang?"

"Sudah pulang ke Amerika. Dia telah merampungkan album baru dan akan segera meluncurkannya. Video single perdana dari album barunya akan dibuat di Paris. Dia minta aku jadi bintang di video musiknya."

"Wahhh... keren sekali!! Aku nggak sabar melihat videonya."

"You'll be the first to see it," kata Jean senang. Baileys di gelasnya sudah habis dan ia mengambil jaketnya, "Ayo kita jalan-jalan."

Jean sudah membelikan kartu navigo untuk Finland sehingga mereka bisa naik metro dan bus kemana-mana. Ia memakai jaket tebal, sarung tangan, topi dan syal wool yang melindungi lehernya. Saat mereka sudah berjalan menuju stasiun metro ia baru melihat Finland tidak memakai sarung tangan dan topi wool. Ia tampak keheranan.

"Kamu nggak kedinginan? Kenapa tidak bawa beanie dan sarung tangan?" tanyanya.

Finland yang baru pertama kali ke Eropa memang hanya membawa jaket dan sweater serta syal tebal, tetapi tidak ada sarung tangan dan topi wool. Ia tidak mengerti bahwa suhu di musim dingin dan angin yang bertiup membuat seluruh tubuh akan sangat kedinginan kalau tangan dan telinga yang memiliki banyak saraf terkena udara dingin. Itu sebabnya banyak orang keluar rumah dengan memakai sarung tangan dan pelindung telinga atau topi wool.

"Aku nggak tahu kalau aku perlu beanie... aku pikir orang-orang pakai itu karena fashion," Finland mengaku dengan suara pelan.

"Beanie dan sarung tangan itu nggak modis...ahahaha, itu lebih karena perlu saja." Jean tertawa mendengarnya, "Kamu kan sudah lebih dari dua minggu di Eropa, kemarin gimana bertahan tanpa sarung tangan dan beanie?"

"Kami selalu di ruangan berpemanas, jarang keluar jalan kaki begini," Finland baru ingat ia dan Caspar tak pernah naik kendaraan umum dan sangat jarang berjalan kaki keluar ruangan, semuanya serba nyaman, "Kami keluar waktu di Spanyol dan Portugal dan suhunya tidak sedingin di Paris. Aku bisa jalan-jalan tanpa sarung tangan."

"Oh, pantesan." Jean membuka sarung tangannya dan memasangkannya ke tangan Finland, "Pakai punyaku saja, sedikit kebesaran tapi lebih baik daripada kedinginan. Nanti kalau ketemu toko aku beli yang baru."

Ia juga memasangkan topi woolnya ke kepala Finland.

"Terima kasih..." Finland tersenyum lebar dengan penuh terima kasih.

Mereka lalu berjalan bergandengan masuk ke dalam stasiun metro. Memang setelah memakai topi dan sarung tangan, Finland merasa jauh lebih hangat. Sebagai gadis dari daerah tropis ia harus membiasakan diri dengan musim dingin di Eropa karena sebelumnya ia tidak memiliki gambaran sama sekali. Untung ada Jean di sisinya sehingga ia tidak terlalu kelimpungan.

Metro di Paris sangat rumit untuk orang yang baru pertama kali datang. Ada begitu banyak jalur berbeda yang ditandai warna, lalu ada berbagai jenis kereta yang mengarah ke distrik berbeda dan kartu transportasi yang tersedia memiliki paket yang melayani hanya distrik tertentu atau semua distrik dengan harga berbeda juga.

Untuk orang yang tidak banyak menggunakan transportasi umum, membeli tiket metro eceran 10 buah sekaligus akan terasa lebih murah karena harganya didiskon menjadi 1,4 euro per tiket dari 1,8 dan bisa digunakan untuk sekali jalan, berapa pun jauhnya.

Ketika mereka sedang antri masuk melewati gerbang karcis, Finland kaget karena orang di depannya tiba-tiba melompati gerbang kecil tersebut dan tidak menempelkan kartu atau karcis di mesin pemindai.

"Itu orang ngapain?" tanyanya keheranan.

"Oh, itu orang yang nggak mau bayar tiket," kata Jean. "Mungkin dia tidak punya uang. Di Paris banyak orang miskin dan gelandangan."

"Oh..." Finland kaget mendengarnya. Ia tak menyangka di negara maju seperti Prancis masih ada gelandangan dan orang yang tidak membayar tiket. Di Singapura tidak akan ada yang berani naik MRT tanpa membayar, semuanya takut ditangkap polisi dan dikenai denda besar. "Memangnya mereka nggak takut sama polisi?"

"Di sini polisinya jarang patroli di stasiun metro. Kalau di Jerman, petugas sering patroli dan masuk ke gerbong kereta secara acak untuk memeriksa tiket, karena di sana tidak ada gerbang masuk seperti ini, siapa pun bisa naik kereta tanpa tiket, tapi kalau mereka tertangkap saat pemeriksaan acak tadi, dendanya besar sekali."

Finland belajar hal baru dari perjalanannya ke Eropa kali ini. Bila dibandingkan dengan Prancis dan Jerman, ternyata Singapura benar-benar sangat tertib dan teratur. Sungguh Singapura adalah negara maju yang tidak kalah dengan negara barat. Yang tidak dimiliki negara kecil itu mungkin hanyalah bangunan tua berusia ratusan tahun seperti di Eropa, karena sejarah Singapura yang masih muda.

Mereka ngobrol di sepanjang perjalanan dan Jean menceritakan sejarah tempat-tempat yang akan mereka kunjungi.

"Mau ke atas naik cable car atau jalan kaki?" tanya Jean saat mereka tiba di daerah Montmartre. Ini adalah wilayah tertinggi di Paris dan banyak orang berjalan ke atas bukit sekalian berolahraga menghangatkan tubuh. Karenanya Finland juga memutuskan untuk berjalan.

Ini adalah keputusan yang kemudian disesalinya.

"Uhm... kita kok belum nyampe juga ya..." keluhnya di tengah perjalanan. Bahkan perjalanan mendaki ke Park Guell tidak seberat ini, pikir Finland.

Tubuhnya memang menjadi lebih hangat, tetapi kakinya menolak bekerja setelah separuh pendakian. Ternyata ia tak terbiasa berjalan menanjak seperti ini, apalagi dalam cuaca sangat dingin. Di Singapura hampir seluruh negeri merupakan tanah datar. Naik turun yang dilakukannya hanyalah lewat eskalator di mall atau stasiun MRT.

"Sudah dekat kok," kata Jean menghibur. "Atau kita bisa turun lagi dan naik cable car. Berjalan turun akan lebih gampang."

"Uhm... tanggung, kita kan sudah dekat." Finland berhenti dan berpegangan pada tembok sambil mengatur napas. "Aduh, memalukan... Aku ini seperti nenek-nenek."

"Ahahaha.... baiklah, Nek. Kita lanjut ke atas biar kamu bisa melihat Paris dari ketinggian. Kalau nungguin kamu ngatur napas dan berhenti setiap 2 meter begini, kita baru sampai kalau sudah malam." Jean lalu duduk membungkuk di depan Finland dan menawarkan punggungnya, "Ayo naik. Kalau cuma menggendong kamu beberapa puluh meter ke atas aku masih sanggup deh."

"Ah, jangan dong, Jean. Nanti kamu capek," tukas Finland menolak.

"Sama saja capeknya, kok. Capek menggendong kamu atau capek nungguin kamu... Ayo naik." Jean tidak mau menerima penolakan Finland dan terus memberi tanda agar gadis itu naik ke punggungnya. "Kalau nggak, lebih baik kita turun dan naik cable car."

Finland tidak suka membatalkan sesuatu yang sudah dikerjakan setengah jalan karena berarti ia sudah membuang-buang energi dan waktu, maka turun ke bawah untuk ganti naik cable car adalah pilihan yang sangat tidak disukainya.

Akhirnya ia menyerah dan mau digendong.

"Kamu tambah berat ya," komentar Jean iseng saat Finland sudah ada di punggungnya. "Pasti tahun baru makannya banyak banget."

"Jeannn!!! Aku turun nih..." protes Finland lagi. "Kau yang memaksa menggendongku."

"Halah, bercanda kok... kamu kalau lagi gemuk jadi sensi ya," Jean terpingkal-pingkal melihat Finland yang protes. "Aku bercanda. Orang langsing dan cantik harusnya tahu kalau mereka dipanggil gemuk berarti itu hanya candaan. Aku pikir sekarang ini kepercayaan dirimu sudah pulih."

Finland mencubit telinga Jean.

"Kau kan tahu aku punya masalah kepercayaan diri karena bertahun-tahun dibully orang jahat."

"Aku tahu. Kamu itu kan pencinta uang banget, sampai jual sel telur segala untuk cari uang waktu itu. Tapi waktu aku ajak modeling, kamu benar-benar nggak bisa, walaupun bisa dapat uang banyak. Padahal kamu itu cantik, tapi kepercayaan dirinya rendah banget." Jean menggeleng-geleng, "Aku pikir sekarang karena kamu sudah bekerja sebagai marketing yang ketemu banyak orang, dan apalagi bisa dapat eligible bachelor paling keren di dunia, kamu sudah lebih percaya diri."

"Ini baru beberapa bulan, Jean. Luka selama bertahun-tahun nggak bisa hilang dalam hitungan bulan... Aku masih berusaha menyembuhkan diri."

"Aku mengerti."

Mereka terdiam beberapa saat lamanya. Jean lalu mengalihkan perhatian Finland dengan menceritakan sejarah Basilika Sacre Coeur yang akan mereka kunjungi. Ini adalah monumen kedua yang paling banyak dikunjungi di Paris dan merupakan sebuah gereja katolik yang masih dipakai untuk misa. Di Martinique, Prancis, ada versi Sacre Coeur yang lebih kecil, yang dulu didirikan untuk menampung pengungsi.

Orang-orang yang berpapasan dengan mereka atau melewati mereka dalam perjalanan ke atas banyak yang menatap keduanya dengan pandangan aneh. Hanya Jean yang menggendong perempuan di punggungnya dalam perjalanan mendaki Montmartre saat itu, dan penampilan keduanya yang rupawan membuat banyak orang diam-diam mengambil fotonya.

"Pasangan dari Asia memang romantis ya," komentar beberapa gadis yang melewati mereka. "Ini seperti menonton drama Korea betulan."

Finland hendak protes karena Caspar juga menggendongnya di Park Guell dan ia bukan orang Asia, tapi tentu saja akan terlihat aneh kalau Finland menghentikan orang asing untuk mengoreksi mereka. Akhirnya ia hanya bisa mengerucutkan bibir karena sebal.

"Tuh, kan... kita dikira pacaran," kata Finland, "Ayo turunkan aku."

"Biarkan saja. Toh mereka nggak kenal kita." Jean menggeleng tidak peduli. Ia sering 'dikenali' orang saat berada di tempat umum, tetapi tak ada orang yang benar-benar yakin bahwa ia terkenal karena wajah asli model ataupun aktor sering terlihat berbeda dari majalah dan TV.

Hanya beberapa kali ada orang yang meminta berfoto bersama dengannya dan mengonfirmasi apakah ia Jean. Malah ada yang meminta berfoto bersama dengannya karena mengira ia adalah aktor Ben Kimura yang blasteran Jepang. Maka ia sudah tidak terlalu kuatir dengan penampilannya di publik. Kalau ada gosip beredar ia kencan dengan model mana atau artis mana, dia tinggal membantah lewat agennya.

Akhirnya Finland menyerah. Ia sudah melihat kubah Sacre Coeur yang besar di depan mereka, dan ia berdecak kagum.

"Ini gereja atau istana? Kok bentuknya kayak istana begini?" tanyanya kagum.

"Ini gereja. Istana biasanya ada hiasan-hiasan emas begitu. Besok kita bisa ke istana Versailles, tempat tinggal Marie Antoinette, kamu bisa lihat istana raja Prancis itu jauuuuuuh lebih megah daripada gereja."

Tiba-tiba butiran-butiran putih melayang turun membuat Finland terkesiap.

"I... ini salju..." Ia terpaku. Ini adalah pengalaman kedua kalinya melihat salju turun dan Finland masih terpesona. "Cantik sekali."

Memang, serpihan salju kecil-kecil yang melayang turun tanpa henti membuat suasana tampak seperti pemandangan dalam kartu pos yang cantik sekali. Basilika Sacre Coeur yang megah, kota Paris yang dilihat dari bukit, dan gerimis salju yang tampak ajaib, membuat Finland kehilangan kata-kata.

"Ini momen yang layak dibekukan," kata Jean pelan, seolah pada diri sendiri. "Kalau kita begini terus aku tidak akan bisa menahan diri. Kamu sudah bisa turun."

Ia menurunkan Finland dan mengebas-ngebaskan tangannya yang sangat kedinginan.

"Heran deh, dari tadi nggak ada toko yang jual sarung tangan."

"Kamu mau pakai sarung tangan ini gantian?" tanya Finland kasihan.

"Nggak usah. Aku lebih terbiasa dengan suhu dingin dibandingkan kamu." Jean menunjuk ke arah sebuah kafe yang memasang papan pengumuman kecil, "Kita duduk di situ dulu menghangatkan diri minum glow wine, yuk, sambil melihat salju turun."

Mereka masuk ke dalam kafe dan mengambil kursi yang menghadap ke jalan untuk melihat pemandangan.

Glow wine adalah wine yang hanya dijual saat musim dingin dan disajikan dalam keadaan panas. Rasanya manis dan Finland sangat menyukainya.

"Ini indah sekali..." kata Finland kemudian. "Aku bisa duduk di sini berjam-jam minum glow wine sambil memandang salju turun."

Ia teringat saat melihat salju pertama di Jerman, Caspar membuatkan mereka teh dan memangkunya duduk di depan jendela untuk memandang salju turun turun. Tiba-tiba ia merasa sangat rindu kepada Caspar.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.