The Alchemists: Cinta Abadi

Kelahiran Aleksis



Kelahiran Aleksis

0Begitu manajernya tiba, Jean segera menceritakan apa yang didengarnya dari ibunya.     
0

"Maman bilang aku memang mempunyai sahabat bernama Finland. Mungkin dia adalah kuncinya, apa yang terjadi kepadaku sehingga aku sampai koma. Kau masih punya foto kemarin dan nomor teleponnya?" kata Jean cepat-cepat. Ia memegangi kepalanya yang masih terasa pusing.     

"Uhmm... nomornya sudah tidak bisa dihubungi." kata manajer Jean dengan suara tercekat. "Mungkin memang dia tahu apa yang terjadi denganmu. Waktu itu dia bilang ia mengenal penembakmu. Polisi pasti ingin menginvestigasinya..."     

"Jangan, jangan libatkan polisi." Jean menghela napas panjang, "Dia pasti ketakutan karena mengira polisi akan mengejarnya."     

"Kau tidak ingat sama sekali wajahnya dan ia tinggal di mana?" tanya manajernya lagi. "Dia kemarin telepon pakai nomor Amerika. Kalau dia orang yang sama, dia pernah meneleponku dari Singapura 6 bulan yang lalu, katanya ia akan pindah ke Amerika. Dia bilang kau membawanya ke Colmar dan menunjukkan makam ayahnya..."     

"Benarkah?" Jean tambah merasa tertarik. Ia tidak dapat membayangkan pergi ke tempat asing seperti Colmar dan mengunjungi makam seseorang. Ia mencoba mengerahkan segenap daya ingatnya untuk membayangkan wajah sahabatnya itu, tetapi tidak bisa. Ia hanya punya nama sekarang, tetapi ia tidak mampu mengingat seperti apakah Finland itu.     

"Ini aneh sekali... aku tak bisa ingat hal-hal yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Semuanya hanya terasa samar-samar..." keluhnya.     

"Sebaiknya kau jangan membebani dirimu dengan berbagai pikiran yang akan membuatmu stress. Lebih baik fokus untuk sembuh dan nanti baru kita pikirkan hal lain-lain..."     

Dengan muram akhirnya Jean mengangguk.     

***     

Finland berusaha mematuhi dokter dan beristirahat di rumah sakit agar kehamilannya tidak terpengaruh. Ia masih sangat stress, tetapi Anne dan Lucia menjenguknya setiap hari dan membuatnya merasa sedikit baikan. Tony bahkan mampir dua kali dan membawakan buah-buahan. Rory, yang kemarin hanyalah seorang asing bagi Finland mengambil posisi seperti kakaknya dan setiap hari datang menjagainya, membuat Finland tambah tidak enak karena merepotkan laki-laki yang baru dikenalnya itu.     

"Aku tidak mau mendengar kau bicara seperti itu lagi..." kata Rory akhirnya dengan kesal. "Aku menolongmu dengan tulus. Tidak bisakah kau menerimanya dan mengucapkan terima kasih?"     

"Maaf, aku tidak terbiasa..." Finland minta maaf untuk kesekian kalinya karena telah menyinggung Rory. Ia segera teringat bahwa Caspar pun selalu menolongnya dan menyuruhnya untuk belajar menerima kebaikan orang lain... Di saat seperti ini ia merasa rindu sekali kepada suaminya. Tetapi ia tak tahu bagaimana cara menghubungi Caspar. Finland telah mengatakan bahwa ia akan menghubungi Caspar jika Jean bangun dari koma, tetapi karena ponselnya hilang, ia juga tidak memiliki lagi nomor yang dapat dihubungi... Apakah ia harus ke Singapura dan mencarinya di Hotel Continental?     

"Apa yang kau pikirkan? Sepertinya dari tadi melamun terus..." kata Rory menggugah Finland dari lamunannya. "Kau lapar?"     

"Uhmm... iya, aku lapar."     

Rory mengambil sebuah apel dan pisau buah lalu mengupasnya untuk Finland. "Ini makanlah..."     

Dengan penuh terima kasih Finland menerima apel itu dan memakannya. Orang yang tak mengenal keduanya akan mengira Rory adalah seorang suami yang sedang menunggui istrinya yang sedang hamil tua dan siap melahirkan anak mereka. Ia tampak sangat telaten dan penuh perhatian.     

"Kau tidak perlu bekerja?" tanya Finland kemudian. Ia baru sadar bahwa selama seminggu ini Rory terus menemaninya.     

"Aku punya banyak uang, tidak perlu bekerja," jawab Rory acuh. "Aku sedang tidak ada kesibukan, jadi aku bisa menemanimu di sini."     

"Apa kau tidak bosan di rumah sakit terus?" tanya Finland kemudian. "Apa kau tidak mau jalan-jalan di luar menikmati udara segar?"     

Rory memandangnya dengan pandangan aneh, kemudian menjawab, "Akhir-akhir ini aku justru suka dengan rumah sakit. Bau kematian membuatku merasa senang."     

"Aneh sekali..." komentar Finland. "Kok ada orang yang senang dengan kematian."     

"Aku memang aneh." jawab Rory cuek, tetapi sesaat kemudian menarik napas panjang dan bersikap lebih serius. "Aku sudah bosan hidup."     

"Kenapa?" tanya Finland kemudian. Ia ikut sedih melihat pandangan Rory yang seperti dipenuhi oleh kesedihan.     

"Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku sudah hidup sendirian untuk waktu yang lama, dan saat ini aku merasa sudah tidak punya tujuan. Semua yang ingin kulakukan telah kulakukan. Aku tidak lagi punya bucket list atau daftar keinginan. Semua tempat yang ingin kudatangi telah kudatangi, semua makanan yang ingin kunikmati sudah pernah kurasakan, hidupku sudah lengkap. Sudah saatnya aku mati..."     

"Heii... kok bicara begitu?" tanya Finland kaget. "Kau masih sangat muda. Kau masih akan bertemu banyak orang. Kau akan jatuh cinta dan menemukan tujuan hidup baru..."     

Rory tersenyum sedikit dan mengangkat bahu.     

"Kau terlalu optimis."     

Finland hampir tertawa mendengarnya. Baru pertama kalinya ia disebut seorang yang optimis. Pada dasarnya Finland yang terbiasa hidup menderita adalah seorang yang pesimis, ia sulit percaya kepada orang lain dan cenderung menduga ada motif di balik pertolongan orang terhadapnya, hal itu yang membuat Caspar setengah mati berusaha membuka hatinya dan membuatnya menerima cinta. Ia tak mengira hari ini Rory menyebutnya terlalu optimis.     

Tiba-tiba Finland mengeluh kesakitan. Rory menjadi panik dan memegang tangannya.     

"Ada apa? Kau merasa kesakitan? Sakit di mana?" Ia segera memencet bel agar dokter segera datang.     

"Aahh.... sakit sekali....!!" Finland meringkuk memegangi perutnya yang barusan seperti dipukul kuat sekali. "Sepertinya aku akan melahirkan...."     

Rory berusaha menenangkan dirinya sendiri dan kemudian menenangkan Finland,     

"Tidak apa-apa, dokter segera kemari... kau tarik napas dulu..."     

Jeritan Finland segera pecah saat perutnya terasa diremas sekuat tenaga oleh sebuah tangan raksasa yang tidak kelihatan. Dokter segera tiba diikuti beberapa perawat. Ia memeriksa kondisi Finland dan segera mengambil keputusan.     

"Pasien sudah mengalami kontraksi untuk melahirkan... tetapi bukaannya masih kecil. Sebaiknya Anda temani dulu pasien di sini dan bantu menghitung jarak kontraksinya. Kemungkinan nanti malam bayinya akan keluar."     

"Apa...? Lama sekali... aduhh... sakit..." Finland tidak pernah membayangkan sakitnya akan demikian berat ketika perutnya sudah kontraksi untuk melahirkan, dan sekarang masih jam 2 siang.. Ia tak tahan bila harus menunggu sampai malam dengan rasa sakit seperti ini.     

"Kontraksinya memang terasa sakit tetapi hanya berlangsung sebentar-sebentar, jaraknya juga masih jauh. Nanti kalau kontraksinya sudah terjadi setiap dua menit, beri tahu saya, kita akan bawa ke ruang persalinan."     

"Baiklah, Dok. Saya akan menjaganya di sini." Rory kembali duduk di sebelah Finland dan berusaha menghiburnya. "Jangan takut, ada aku di sini..."     

Finland menangis sambil menahan rasa sakit. Di saat seperti ini ia sangat merindukan Caspar... ia sedikit menyesal karena menghilang tanpa memberi tahu Caspar tentang keberadaannya. Ia memang sangat marah atas apa yang terjadi kepada Jean, tetapi ia merasa sangat takut berada di rumah sakit sendirian dan harus melahirkan tanpa Caspar di sisinya...     

Rory sungguh seperti dewa penyelamat. Ia setia mendampingi Finland hingga tengah malam saat kontraksinya semakin sering dan semakin panjang. Menjelang tengah malam ketika jarak kontraksi Finland sudah dua menit ia segera memanggil dokter.     

Dokter kandungan dan beberapa perawat dengan sigap membawa Finland ke ruang persalinan. Rory yang berusaha ikut segera dicegah oleh mereka.     

"Anda suaminya?" tanya Dokter James.     

"Bukan, saya temannya..." jawab Rory. "Saya ingin menemaninya di dalam..."     

"Biarkan dia ikut.. aku perlu dia..." kata Finland dengan napas tersengal-sengal. Ia bergidik membayangkan berada di ruang persalinan tanpa seorang pun yang dikenalnya. Dalam hidupnya, ia belum pernah merasa serentan ini dan membutuhkan orang lain... Ia sangat ketakutan.     

Dokter akhirnya mengizinkan Rory masuk. Ia berdiri di samping Finland dan memegangi tangannya saat gadis itu mengejan dan menjerit tanpa henti.     

"Ahhhh... aaahhhhhhh... sakit sekali... ahhhh... Caspar aku benci kauuu!!!! Ya Tuhan... sakit sekaliii....!!!" Beberapa kali Finland menjerit mengumpat nama Caspar yang bertanggung jawab membuatnya hamil dan harus mengalami kesakitan saat melahirkan begini.     

Walaupun ia membenci Caspar, tetapi dalam lubuk hatinya yang terdalam ia sangat merindukan pemuda itu, dan hatinya semakin diliputi kesedihan karena di saat ia sangat membutuhkannya, Caspar tidak dapat dihubungi...     

Rory tampak terkejut ketika mendengar nama Caspar dan pegangannya terasa mengendur. Ia menatap Finland dengan pandangan aneh dan mulutnya terbuka seolah hendak menanyakan sesuatu, tetapi kemudian Finland meremas tangannya dan kembali menjerit, membuat perhatiannya teralih.     

"Bertahanlah... sedikit lagi..." kata dokter cepat.     

Dokter James memerintahkan Finland mengejan sekali lagi dan dengan satu jeritan terakhir Finland mengeluarkan bayinya. Dengan lemah kepalanya terkulai ke samping dan tidak sanggup bersuara lagi. Secercah tangis bayi segera terdengar membelah udara. Dokter buru-buru memotong pusar sang bayi dan membersihkannya, lalu menaruhnya di dada Finland.     

"Bayi Anda perempuan... Selamat ya."     

Selama itu pula Rory terlihat terpaku seperti tersihir. Ia tampak terpesona melihat proses kelahiran yang terjadi di depannya.     

"Kau mau menggendong bayinya?" tanya Dokter sambil menoleh kepada Rory. Pemuda itu tersentak dan tanpa sadar mengangguk. Dokter mengangkat bayi Finland dan membungkusnya dengan kain lalu ditaruh di tangan Rory. Rory menatap bayi itu dengan pandangan takjub. Saat melihat sepasang matanya, Rory tampak terpaku.     

"Bayi ini mengidap heterochromia juga..." kata dokter mengangguk. "Matanya abu-abu dan hijau. Nanti seiring dengan waktu warnanya masih bisa berubah."     

Finland terkejut mendengarnya. Heterochromia? Apa itu?     

"Apakah ini kelainan, Dok?"     

"Bukan. Ini hanya kelainan genetik saja. Tidak ada yang salah. Bisa jadi keturunan." Dokter James menatap Rory yang juga memiliki mata heterochromia, "Kau bisa dikira ayahnya sepintas lalu..."     

Rory tersenyum mendengarnya. Ia menatap bayi perempuan dalam gendongannya dengan pandangan kagum. Ia masih tak percaya apa yang terjadi malam ini. Semua terasa seperti mimpi, dan tiba-tiba saja bayi ini sudah lahir dan sekarang ada di dalam gendongannya.     

"Siapa namanya? Kau sudah punya nama?" tanyanya kepada Finland.     

Finland mengangguk.     

"Namanya Aleksis..."     

"Nama yang bagus." komentar Rory. "Aku pernah punya teman bernama Aleksis. Aku baru ingat, dia juga punya mata sepertiku.... hahaha, dunia ini kecil sekali ya..."     

"Aleksis adalah nama ayahku." kata Finland.     

"Oh..." Rory mengangguk. "Ayahmu pasti bangga."     

"Terima kasih." Finland tersenyum. Ia sangat bersyukur ada Rory di dekatnya di saat paling menakutkan dalam hidupnya. Ia berhutang budi selamanya kepada Rory.     

"Pasien akan menyusui bayinya, sebaiknya Anda tunggu di luar," kata Dokter menggugah lamunannya.     

Rory tersentak dan mengangguk. Ia menyerahkan Aleksis kepada Finland dan menepuk-nepuk punggung bayi itu dengan penuh kasih sayang, "Aku tunggu di luar. Selamat atas kelahiran anakmu..."     

Mata Finland masih berkabut karena air mata, "Terima kasih, Rory... terima kasih..."     

Rory mengangguk.     

"Namaku sebenarnya Lauriel," bisiknya pelan.     

"Apa katamu?" Finland bertanya. Ia seperti mendengar Rory mengucapkan sesuatu.     

"Aku bilang aku lapar."     

"Oh..."     

Rory keluar meninggalkan Finland. Sepasang mata hijau birunya tampak dipenuhi berbagai emosi. Ia berjalan meninggalkan rumah sakit dan menuju ke sebuah coffee shop yang buka 24 jam. Ia sangat lelah setelah menunggui Finland dan kini membutuhkan satu gelas kopi untuk menjernihkan pikirannya.     

Seperti yang dikatakannya kepada Finland tadi siang, Rory atau Lauriel sebenarnya sudah bosan hidup, dan bau rumah sakit membuatnya ingin mati. Tetapi saat ia menyaksikan kelahiran Aleksis, seolah-olah hidupnya terlahir kembali dan ia tak dapat menahan jatuh cinta pada bayi itu.     

Suatu perasaan hangat yang sudah lama tidak dirasakannya menghinggapi dadanya. Tiba-tiba saja ia tidak lagi menginginkan kematian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.