The Alchemists: Cinta Abadi

Kembali Ke Prancis



Kembali Ke Prancis

0

Finland tidak menyangka ia akan sangat menikmati kehidupan di seputar Amazon. Cuaca yang hangat dan selalu cerah, ditambah dengan keindahan alam di sekitarnya yang memukau, dan berbagai pengalaman unik yang dialaminya bersama Aleksis dan Lauriel membuatnya hampir tak ingin pulang kembali ke San Francisco yang dingin.

0

Mereka sudah melihat berbagai lumba-lumba pink, kukang, berbagai jenis burung eksotis, dan berbagai primata, bahkan buaya dan ular. Lauriel bahkan melihat puma dalam perjalanannya ke pedalaman dan sempat mengambil fotonya sebelum hewan itu menghilang.

Bukan hanya keindahan alam, di Manaus juga ada rumah opera tempat mereka menonton pertunjukan teater dan tarian serta miniatur Paris yang cantik. Finland menjadi mengerti mengapa tempat itu menjadi salah satu tempat favorit Lauriel. Kekurangannya hanya satu, sinyal sulit didapat dan internet di pinggir hutan itu hampir tidak bekerja.

Finland tidak terlalu terganggu karena ia juga hanya menggunakan internet untuk bekerja dan saat ini ia telah mendapatkan keringanan untuk bekerja hanya dua hari dalam seminggu. Setiap mereka turun ke kota untuk jalan-jalan atau bertemu teman Lauriel, Finland akan memanfaatkannya untuk membaca dan mengirim email pekerjaan. Merasakan kehidupan tanpa sedikit-sedikit mengandalkan internet ternyata cukup menyenangkan karena ia bisa fokus pada Aleksis dan alam di sekitar mereka.

Siang itu Lauriel baru kembali dari perjalanannya selama seminggu ke pedalaman dan ia membawakan satu tas penuh berisi buah-buahan yang belum pernah dilihat Finland sebelumnya.

"Aku perlu mengeringkan sebagian buah-buahan ini untuk mengawetkannya. Ini akan sangat bermanfaat di masa depan," kata Lauriel. "Kau sedang apa?"

"Aku sedang mengatur wawancara beberapa pemilik usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia dengan peneliti dari perusahaan investasi yang ingin mengetahui perkembangan pasar di industri itu," jawab Finland sambil menunjukkan telepon di tangannya. "Untung ada telepon satelit ini, aku tetap bisa berhubungan dengan klien dan melakukan pekerjaanku. Memang biayanya mahal sekali... tapi kenikmatan hidup bersama alam seperti ini sungguh tak ternilai harganya."

"Aku senang kau menyukainya." Lauriel tersenyum. "Tugasku hampir selesai. Seminggu lagi setelah buah-buahan ini kering dan aku mendapatkan kiriman beberapa jamur dari Belem, semua bahan obat yang kubutuhkan akan lengkap. Kita bisa pulang."

"Oh... aku senang sekali mendengarnya." Finland tanpa sadar memeluk Lauriel. Ia tak mengira Jean akan dapat disembuhkan, dan kini harapan itu membuatnya sangat terharu. Lauriel menepuk-nepuk punggungnya pelan.

"Aku senang bisa membantumu," kata Lauriel.

Finland segera tersadar dan melepaskan pelukannya.

"Maaf, aku terlalu antusias," katanya dengan rikuh.

Lauriel hanya tertawa dan tidak menanggapi lagi. Ia mengeluarkan Swiss knives-nya dan mengupas buah-buahan yang ia bawa dan dipotong kecil-kecil, lalu ditaruh di nampan. Ia mengerjakannya dengan tekun, sambil sekali-sekali menepuk tangan nakal Aleksis yang berusaha mengambil buah yang sudah dikupasnya. "Sshh... ini bukan untuk anak kecil, Sayang..."

Ia memberikan sebatang seledri agar Aleksis tidak merasa sedih. Dengan senang Aleksis berceloteh sendiri sambil mempermainkan seledrinya.

"Ada yang bisa kubantu?" tanya Finland.

"Tidak usah. Aku senang mengerjakan ini. Kau bisa lanjutkan menelepon klienmu..." jawab Aleksis.

"Uhm... baiklah."

Demikianlah ketiganya kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Lauriel mengupas buah-buahan hutan untuk dikeringkan, Finland mengatur jadwal wawancara riset klien LTX, dan Aleksis mempermainkan seledrinya dan sesekali mengganggu Lauriel yang sedang bekerja.

Ketika sore tiba Lauriel mengajak Finland dan Aleksis untuk turun makan malam ke kota. Ia ingin membeli wine istimewa karena setelah satu minggu di hutan ia tidak minum wine sama sekali. Mereka jalan-jalan sebentar di Paris kecil dan kemudian makan malam di sebuah restoran Portugis.

Keduanya baru saja duduk dan meneliti menu ketika tiba-tiba ponsel Lauriel yang baru mendapat sinyal berbunyi beberapa kali dengan pesan yang masuk.

"Hmm... " Ia membuka ponselnya dan meneliti SMS-SMS yang masuk.

[Cek email.]

Ia mengerutkan keningnya dan membuka email di ponselnya. Beberapa saat kemudian ia memberikan ponselnya kepada Finland.

"Temanmu itu... namanya Jean Pierre Wang?" tanyanya.

Finland terkesiap, ia mengangguk.

"Benar. Ada apa?"

"Caspar mengirimiku beberapa berita tentang Jean Pierre Wang dan anak yang sedang mengalami leukemia. Email ini sudah masuk seminggu yang lalu, tapi karena aku di dalam hutan aku tak menerimanya."

Finland membuka email yang dimaksud dan mengklik beberapa tautan yang ada di sana. Hatinya sebenarnya sakit karena Caspar sama sekali tidak menghubunginya, melainkan Lauriel bahkan untuk urusan yang menyangkut diri Finland. Tetapi rasa sakit hatinya segera terhapus oleh berita dan video dari konferensi pers Jean dan tim dokter RS di Hotel Continental, tertanggal bulan lalu. Ia sangat terkejut.

Ponsel Lauriel hampir jatuh ketika tangan Finland yang gemetar mengusap matanya yang basah. Cepat-cepat Lauriel menerima ponselnya kembali dan menyerahkan sapu tangannya kepada Finland.

"Jean mencariku...." bisik Finland dengan suara bergetar. "Ia belum mengingatku tetapi ia sudah mencariku... Dan anak itu, anak itu akan mati kalau tidak ditemukan donor yang cocok...."

"Kau mau ke Singapura?" tanya Lauriel. "Di Brasilia juga bisa dilakukan tes untuk melihat kecocokan kalian, nanti hasilnya bisa dikirimkan ke Singapura untuk dibandingkan."

"Ti... tidak, aku harus bertemu Jean. Kalau ia ada di Singapura aku harus ke sana."

"Belum tentu sekarang Jean masih di Singapura. Berita itu sudah sebulan yang lalu. Lagipula, kalau kau ke Singapura dan ternyata hasilnya tidak cocok, sama saja dengan sia-sia datang ke sana..." Lauriel menggenggam tangan Finland dan berusaha menenangkannya, "Kalau kau ingin bertemu Jean, aku bisa mencari keberadaannya untukmu."

"Kau bisa melakukannya?" tanya Finland penuh harap. Lauriel mengangguk.

"Setelah kau mengetahui keberadaannya, baru kita putuskan apa yang harus dilakukan. Sekarang kita makan malam dulu."

Lauriel menelepon seseorang sebentar lalu melanjutkan memesan makan malam mereka. Finland sudah tidak selera makan dan hanya memesan salad.

Sebelum mereka keluar dari restoran untuk pulang ke penginapan, Lauriel telah mendapatkan informasi keberadaan Jean dan menemukan bahwa ia sedang syuting film di Prancis. Karena Prancis ada di tengah-tengah antara Brasil dan Singapura, Finland memutuskan untuk menemui Jean di Prancis dan kemudian langsung melanjutkan perjalanan ke Singapura untuk menjalani tes donor.

"Aku masih perlu seminggu di Brasil. Kau mau berangkat sendiri dengan Aleksis?" tanya Lauriel. "Aku juga bisa mengurus Aleksis sendiri supaya kau bisa berangkat tanpa gangguan ke Prancis. Anak kecil sebaiknya memang jangan dibawa ke rumah sakit karena di sana mereka rentan terjangkit penyakit."

Finland merasa gamang. Ia tak sanggup meninggalkan Aleksis bersama Lauriel, tetapi pemuda itu benar dengan mengatakan bahwa membawa Aleksis akan membuatnya kerepotan saat harus bolak-balik ke rumah sakit karena tidak ada yang membantunya di Prancis maupun Singapura.

"Apa harus seminggu? Tidak bisa dipercepat?" tanyanya resah.

"Hmm.. paling cepat 5 hari. Besok sekalian mengantarmu ke bandara, aku bisa langsung melanjutkan perjalanan ke Belem," jawab Lauriel.

Setelah dua tahun bersama, Finland tahu ia bisa mempercayakan nyawanya dan nyawa Aleksis kepada Lauriel. Ia lebih takut kalau Aleksis tertular penyakit di rumah sakit kalau ia nekat membawanya. Akhirnya dengan berat hati ia setuju.

Finland segera membeli tiket ke Prancis. Karena ini merupakan urusannya sendiri, ia menolak saat Lauriel ingin membelikannya tiket pesawat. Karena ia membeli tiket penerbangan secepat mungkin, harga tiket ekonomi sudah hampir sama mahalnya dengan bisnis, sehingga akhirnya Finland terpaksa membeli tiket bisnis dan mengeluarkan hampir 4000 dolar. Namun pikiran bahwa ia akan segera bertemu Jean, dan sebentar lagi ingatannya bisa dipulihkan, rasanya sepadan dengan semua uang yang dikeluarkannya.

"Tolong secepatnya menyusulku..." pinta Finland ketika Lauriel dan Aleksis mengantarnya ke bandara keesokan paginya.

"Jangan kuatir. Minggu depan semuanya akan beres. Kami akan ke Singapura begitu selesai di sini," kata Lauriel menenangkan. Ia memberikan Aleksis untuk dicium terakhir kalinya oleh Finland sebelum gadis itu memasuki security check bandara dan bergegas naik ke penerbangannya.

Finland merasa tenang meninggalkan Aleksis dengan Lauriel. Saat naik ke pesawat ia sudah merindukan mereka. Ia tak sabar menunggu keduanya menyusulnya ke Singapura.

"Baiklah, Tuan Putri, sekarang kita berangkat ke Belem dan berlayar sebentar ya... Paman Rory masih harus bertemu seorang kawan lama." ajak Lauriel sambil menuntun Aleksis berjalan kembali ke parkiran mobil. Seperti biasa, keduanya menarik perhatian sangat banyak orang. Selain keduanya berwajah rupawan dan memiliki sepasang mata yang berwarna unik, keduanya hari ini mengenakan pakaian berbahan khaki yang matching, membuat keduanya terlihat seperti duo petualang yang keren sekali.

***

Saat mendarat di bandara Charles De Gaulle, seketika Finland merasakan dadanya sesak. Sudah hampir tiga tahun sejak peristiwa penembakan Jean dan ia belum pernah kembali ke Paris. Kota ini meninggalkan sangat banyak kenangan pahit dan manis untuknya. Sudah bulan Oktober dan musim gugur terasa cukup dingin di Paris. Finland yang hanya membawa pakaian tipis dari Brasil segera mengingatkan dirinya untuk keluar membeli jaket dan mantel setelah ia check in di hotel.

Tanpa sadarnya Finland telah memberikan alamat Hotel Nobel kepada supir taksi dan ia baru tergugah saat sudah tiba di lobi. Ia baru sadar bahwa dirinya berada di hotel milik Caspar ketika manager on duty mengenalinya.

"Selamat siang, Nyonya. Anda hanya membawa satu tas ini?" Manager on duty bertanya dengan hormat. Karena Finland tidak menjawab, dengan sopan ia mengambil tas tangan dari pegangan Finland dan memandunya ke arah lift. "Tuan dan Nyonya pasti sibuk sekali sampai tidak pernah datang kemari."

Finland tertegun mendengarnya, tetapi tanpa sadar ia sudah berjalan mengikuti manager itu dan masuk ke dalam lift. Mereka naik ke lantai paling atas, menuju penthouse. Setelah menaruh tas Finland di meja, manager on duty permisi keluar.

"Seperti biasa, Anda silakan telepon ke bawah kalau membutuhkan apa pun," katanya sebelum pergi.

Finland berdiri mematung selama beberapa saat, ketika ia menyadari bahwa penthouse itu sama sekali tidak berubah. Walaupun mereka hanya tinggal beberapa hari di penthouse ini, tempat ini menyimpan banyak kenangannya bersama Caspar, dan rupanya sejak peristiwa itu Caspar pun tidak pernah kembali kemari.

Ia melihat pakaian-pakaiannya masih tergantung rapi di lemari, dan ada banyak mantel mahal yang dulu dibelikan Caspar untuknya, sehingga sekarang ia tak perlu belanja lagi.

Kelelahan akibat terbang untuk waktu yang lama, dan tekanan batin selama beberapa tahun ini akhirnya membuat Finland tak tahan lagi. Ia segera meringkuk di tempat tidur dan menangis tersedu-sedu.

Selama ini ia tak pernah sendirian, ada Aleksis di sampingnya, sehingga ia tak berani menangis. Ia hanya bisa menahan semua kesedihannya sendiri. Kini, saat Aleksis bersama Lauriel, akhirnya untuk pertama kalinya dalam dua tahun Finland bisa menangis sesenggukan hingga air matanya habis.

***

Jean sedang menghapalkan skrip untuk adegan berikutnya yang akan diambil sore ini. Ia sedang mengerjakan film berlatar belakang perang dunia 2 yang sangat menarik dan syutingnya dilakukan di Normandy. Ia sudah kembali bekerja sejak dua minggu lalu karena tidak juga mendapatkan kabar tentang keberadaan Finland. Ia cemas memikirkan nasib Finland. Tidak mungkin ada manusia yang bisa menghilang begitu saja kan? Dia kuatir sesuatu yang buruk telah terjadi pada gadis itu.

"Hai Jean, mau kopi? Aku bawakan ekstra untukmu," Lily De Vries, lawan mainnya dalam film ini membuka pintu trailernya setelah mengetuk dua kali. Ia menyerahkan secangkir kopi kepada Jean yang sedang membaca skrip lalu duduk di sebelahnya. "Hari ini ada lagi perempuan yang datang mengaku sebagai temanmu. Huh... perempuan-perempuan itu menghalalkan segala cara hanya agar bisa bertemu denganmu."

"Hmm..." Jean mengangguk lelah. Sejak konferensi pers waktu itu, ada banyak sekali telepon dan perempuan yang berusaha menemuinya, dan mengaku sebagai Finland. Setelah beberapa puluh orang yang menipunya, ia akhirnya hampir putus asa dan tak berharap lagi bisa bertemu dengan Finland.

"Tapi setidaknya yang ini tidak sebrutal gadis-gadis yang dulu. Orangnya sopan dan ia memberimu hadiah." Lily mengeluarkan sebuah kotak dari saku mantelnya, "Kotak musiknya bagus. Kalau kau tidak suka, kasih aku saja ya..."

Jean menerima kotak musik itu dengan kening berkerut. Ia membukanya dan pelan-pelan mengalunlah denting-denting musik La Vien Rose. Ia terpaku, kotak musik ini rasanya familiar sekali.

"Di mana orang yang memberimu kotak musik ini?" tanyanya cepat.

"Tadi aku ketemu di depan. Ia sudah menunggu berjam-jam katanya, tidak ada yang mau menerimanya, karena itu begitu melihatku datang ia segera mencegatku. Aku bilang aku akan menyampaikan hadiahnya kepadamu." Lily menatap Jean keheranan. "Kenapa?"

Jean segera berlari keluar trailer mencari Finland.

Ia merasa kenal sekali dengan kotak musik ini. Pasti orang yang datang itu adalah Finland yang ditunggu-tunggunya....

Seketika dadanya terasa sesak oleh perasaan tegang dan kegembiraan yang berpadu menjadi satu.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.