JURAGAN ARJUNA

Bab 15



Bab 15

0Sepanjang perjalanan, aku dam Manis saling diam. Anganku untuk menggodanya agar dia bisa berbicara denganku pun sirna. Semua semangatku menguap entah ke mana.     
0

"Sudah sampai," kubilang. Sambil masih duduk di balik kemudi.     

Manis ndhak merespon apa pun. Dia langsung keluar mobil, kemudian kususul. Masuk ke salah satu pasar terbesar di sini, kemudian mulai mencari apa saja yang dibutuhkan oleh Biung.     

"Ndhuk, butuh kain yang seperti apa?" tanya salah satu Bulik penjual kain. Tubuhnya kurus, memakai daster warna cokelat saat ini.     

"Sebentar, Bulik. Aku tak lihat-lihat dulu, toh," jawab Manis.     

Aku memilih berdiri agak menjauh, melihat-lihat jenis kain lainnya. Sambil bersedekap, mataku menyelusuri setiap helai kan yang ada di sana.     

"Pengantin baru, ya?" tanya Bulik itu yang berhasil membuatku, dan Manis langsung memandang ke arahnya.     

Aku melirik Manis sekilas, kemudian kembali sibuk dengan kain-kain yang ada di depanku. Entah mengapa, aku menjadi salah tingkah dibuatnya.     

"Atau calon manten? Sungguh, kalian pasangan yang serasi sekali," kata Bulik itu lagi.     

Aku mau berujar, tapi masih kutahan. Sebab, hatiku rasanya masih ndhak enak, mendengar ucapan Minto tadi.     

"Endhak, Bulik...," jawab Manis. Kemudian, dia mengambil salah satu kain yang ada di sana. "Ini ndhak ada warna yang lain, Bulik?"     

"Oh, ini... adanya warna biru, dan kuning, Ndhuk. Sama cokelat ini," jawab Bulik itu.     

Manis tampak masih menimbang-nimbang, sepertinya dia cukup bingung dengan warna apa yang kiranya Biung suka.     

"Kuning, Biung suka warna kuning," kataku pada akhirnya.     

Manis memandangku sejenak, kemudian dia mengambil warna kuning. Sementara aku mengambil beberapa, dan kuberikan kepada Manis.     

"Untuk apa?" tanyanya kepadaku pada akhirnya.     

"Untukmu," kubilang.     

Belum sempat ia menjawab, aku langsung pergi. Toh, dia yang membawa uangnya. Biarlah dia yang membayar sendiri nanti kuganti.     

Setelah membeli beberapa keperluan, aku pun mengajak Manis pergi di kediaman Biung yang lain di kota. Memberikan sepucuk surat, kemudian salah satu abdi dalem itu buru-buru mencarikan sesuatu.     

Kulirik Manis yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Sungguh, kami seperti dua orang yang baru kenal. Dan, aku ndhak menyukai ini.     

"Jika kemalaman, apa kamu ndhak dimarahi calon suamimu itu? Kamu pergi denganku," kubilang. Kulirik Manis yang memandangku, kemudiam dia kembali sibuk dengan kain-kain yang ada di kantong plastik.     

"Ndhak," jawabnya.     

Tumben benar dia mau menjawab pertanyaanku.     

"Kapan pernikahanmu akan berlangsung?" tanyaku lagi.     

"Enam bulan lagi,"     

Aku memekik.     

Lama benar perkawinan itu berlangsung. Bukankah, kata Biung jika pihak laki-laki ingin mempercepat kelangsungan perkawinan? Bahkan jika bisa, satu atau dua minggu pun akan dilaksanakan.     

"Harinya baiknya itu?" tanyaku hati-hati. Manis tampak menggeleng.     

"Aku mintanya seperti itu," dia jawab.     

Aku ndhak berani bertanya apa-apa lagi, sebab bukanlah urusanku. Akan tetapi, dia memilih waktu yang lumayan lama adalah salah satu hal yang mengganggu pikiranku.     

"Nanti, kamu mau makan apa? Biar aku carikan," kataku lagi. Tapi, Manis menggeleng.     

"Nanti jika kemalaman, aku ikut saja cari makan,"     

Aku mengangguk lagi, kemudian kami saling diam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing.     

Manis tampak begitu senang dengan kain-kain yang dibelinya tadi. Terlebih, tatkala ia memegang kain yang kupilihkan untuknya. Entahlah, seperti binar matanya tampak nyata. Meski aku ndhak berani menyimpulkan jika dia bahagia atas pemberianku itu.     

"Bagaimana kalau kita cari makan sekarang? Mbah Tiyem akan lama mencari barang yang diinginkan Biung, di dapur juga ndhak ada makanan. Kalau kita di sini terus, pasti akan kelaparan,"     

"Cari makan seperti biasa?" tanyanya.     

Kuembuskan napasku kemudian kujawab, "ya, ya... kesukaanmu, kan, pecel pincuk. Makan denganmu seminggu, pulang2 wajahku berubah menjadi pecel pincuk,"     

Manis tertawa kemudian ia menarik-narik tanganku. Menggandengnya, buru-buru menyuruhku berjalan menuju penjual pecel pincuk.     

Memang, rumah ini ndhak terlalu jauh dari warung pecel pincuk yang bukanya hampir dua puluh jam. Pecel pincuk satu-satunya, yang katanya sudah diwariskan secara turun-temurun.     

"Lho, putranya Juragan Nathan, toh, ini?" tanya Bulik penjual saat aku masuk ke dalam warungnya.     

"Hayow, tebak, aku anak siapa?" godaku. Bulik itu malah tertawa.     

"Ya jelas putra Juragan Nathan, toh, wajahmu ini, lho, mirip benar sama romomu. Lebih-lebih, ndhak ada yang memiliki wajah khas seperti Juragan, dan Juragan Nathan,"     

"Bulik hafal benar dengan romoku, hayow, ada apa?" godaku lagi.     

Bulik itu kembali tertawa, kemudian mengibas-kibaskan daun jatinya ke arahku.     

"Cerita cinta romo, dan biungmu itu, fenomenal, toh. Ndhak akan bisa dilupakan warga sini. Lebih-lebih, romomu itu jan, buaguusnya ndhak ketulungan," jawabnya dengan wajah yang memerah.     

Gusti, pandai benar romoku memikat para perempuan. Sampai-sampai terpesona seperti ini.     

"Lho, ya jelas. Romo siapa dulu?" kataku percaya diri.     

Manis langsung menyikutku, kemudian dia melotot. Sepertinya, dia ndhak terima benar kalau aku disanjung orang.     

"Apa? Ndhak terima aku dibilang bagus? Wong takdir!" sombongku.     

"Eh, kalau sama pasangan ndhak boleh bertengkar, lho," Bulik itu menengahi sebelum Manis menjawab ucapanku.     

"Biasa, Bulik. Istriku tercinta ini memang cemburuan, ndhak pernah terima kalau aku dibilang bagus sama perempuan lain. Meski perempuan itu sudah tua,"     

"Arjuna!" marah Manis, dan itu membuatku ingin tertawa.     

"Kang Mas, Ndhuk. Bagaimana, toh, lha manggil suami, kok, ya, nama itu, lho...," marah Bulik itu.     

Lihatlah, betapa merah padam wajah Manis karena ulahku.     

"Omong-omong, kapan Ndoro Larasati, dan Juragan Nathan mantu? Kok, ya, ndhak ada woro-woro, toh?" tanya Bulik itu.     

Kurangkul Manis yang terus meronta ingin dilepas, tapi ndhak aku hiraukan.     

"Pestanya nanti-nanti saja, Bulik. Sekalian menunggu empat bulanan anak hamilnya istriku tercinta ini," kujawab.     

Manis langsung mencubit pingganggangku, membuatku kesakitan.     

"Kang Mas, sepertinya ini masih siang. Kenapa Kang Mas gemar benar bermimpi di siang hari?"     

"Jelas gemar. Lha, wong, bermimpinya sama kamu,"     

Manis diam sejenak mendengar ucapanku. Mungkin saja, dia berpikir jika apa yang kuucapkan adalah dusta. Padahal, itu adalah apa yang saat ini kurasa.     

"Dasar pembual ulung. Sudah-sudah, makan dulu, nanti bali," katanya mengalihkan pembicaraan.     

"Benar, Juragan. Makan, keburu hujan," kini Bulik ikut menengahi. "Musim di sini ndhak jelas, Juragan. Padahal seharusnya memasuki musim kemarau, tapi hujan masih saja tiba-tiba datang."     

Aku hanya senyum saja mendengar ucapan Bulik ini. Ada-ada saja, toh, dia itu. Tapi memang benar, melihat tanah yang masih tampak basah di sepanjang jalan, sepertinya habis diguyur hujan.     

Setelah selesai makan dan bercakap sebentar dengan Bulik penjual pecel pincuk, kami pun kembali. Tapi sayang, Budhe yang menjadi abdi dalem di sini masih saja belum kembali. Entah, amanah apa yang Biung berikan sampai sesore ini. Padahal kata Biung tadi, barang-barang ini mendesak untuk digunakan, dan disuruh untuk cepat-cepat pulang.     

"Sepertinya benar, hujan enggan pergi, mengusir kemarau yang hendak bertandang. Lihatlah mendung itu, berarak-arakan serempak untuk mengepak ribuan air hujan," kubilang.     

Sekarang ini, aku sedang berada di kebun belakang rumah ini, melihat tumbuhan tomat, wortel, mentimun, dan singkong yang membentang rapi. Duduk di gubug bersama dengan Manis, sambil menikmati pemandangan alam yang tampak murung.     

"Bahasamu, berat benar. Seperti orang pintar saja...," celetuk Manis. Dia sedang mengupas singkong. Katanya ingin merebusnya dengan gula merah ditambah garam.     

"Apa itu caramu merayu Mbakyu Arni sampai ia melepaskan suaminya? Dengan mulut lamismu itu?" tany Manis lagi. Rasanya, sesak benar dia mengatakan hal itu dengan lancang.     

"Mbakyu, tumben benar kamu bersikap manis? Dari caramu menyindirku, sepertinya kamu mendengar ucapan salah kaprah orang-orang tentangku, dan Arni. Iya, toh?" selidikku. Manis tersenyum.     

"Dengar, Manis, aku denganmu saja ndhak berani melakukan itu. Apalagi dengan Arni, perempuan bersuami. Apa aku tipikal laki-laki seberengsek itu?" tanyaku lagi. Lagi-lagi, Manis hanya diam.     

"Jujur, memang benar aku mengutarakan ketertarikanku kepadanya secara gamblang, sebab setelah melihat bagaimana Muri memperlakukannya dengan begitu kasar. Namun demikian, aku ndhak pernah sekalipun menyuruhnya untuk meninggalkan Muri agar bersamaku. Bahkan, jika dia ndhak memilihku, aku terima. Dan, entah mulut busuk siapa yang menyebarkan berita jika aku telah tidur dengan Arni. Yang jelas, orang itu pantas untuk mati," jelasku. Yang aku sendiri ndhak tahu, kenapa aku harus panjang lebar menjelaskan ini dengan Manis agar dia ndhak salah paham.     

"Hujan," desisnya yang berhasil membuatku menoleh. Hujan turun cukup lebat, bahkan kilat tampak saling bersahut-sahutan. Seolah, meriakkan amarah yang telah lama mereka pendam.     

"Ayo masuk rumah," ajakku. Manis mengangguk, sambil memasukkan singkongnya ke dalam bakul dengan gugup.     

Kugenggam tangannya erat, sambil kuajak dia berjalan agar ndhak jatuh. Dan entah kenapa, dengan begini saja hatiku terasa bahagia.     

"Arjuna!" teriaknya, saat suara petir mulai menyambar.     

Dia langsung memeluk tubuhku dengan erat. Dan mengabaikan singkong-singkongnya yang berjatuhan dari bakul. Menggelinding masuk ke dalam genangan air hujan.     

"Kalau mau meluk, di kamar. Jangan di sini, malu," godaku. Dia menginjak kakiku. Seolah menyuruhku untuk diam.     

"Ndhak usah besar kepala, siapa juga yang ingin memelukmu. Kanu tahu, toh, aku takut dengan petir. Sekarang, ini bagaimana!" teriaknya.     

Matanya merem, menampilkan bulu-bulu mata lentiknya yang basah.     

"Ya lepas dulu, kita jalan ke rumah," kubilang. Dia menggeleng kuat.     

"Ndhak mau. Aku takut!"     

"Kalau ndhak mau, ya, ndhak apa-apa. Toh, aku juga bahagia, merasakan dadamu yang kenyal-kenyal itu nempel ke dadaku."     

PLAK!     

"Ndhak sopan!" marahnya setelah menamparku. Matany melotot. Benar-benar seperti emak-emak galak . Tapi, aku ndhak takut.     

"Aku bicara apa adanya. Lalu, kusebut apa dada besarmu itu? Apa aku harus bilang, kalau semangka kembarmu itu mendesak dadaku yang mungil ini?" cibirku. Manis tampak semakin marah.     

"Arjuna!"     

"Ya sudah, tak ganti. Balon. Balon raksasa."     

"Arjuna, berhenti kamu!"     

"Hahaha!"     

Aku berlari mendahuluinya, dia pun masih dengan amarahnya terus mengejarku. Tatkala ada petir lagi datang menyambar. Dia melompat, kemudian terpeleset. Membuatku tertawa semakin keras. Aku yakin, pantatnya akan sakit dibuat duduk selama seminggu. Percayalah.     

*****     

Malam ini, aku sudah berkumpul dengan Paklik Junet, dan Paklik Sobirin. Keduanya, tampak bersemangat membahas Wati. Salah satu perawan kampung yang menurut merkena paling bahenol. Menurut kabar, Wati itu pernah berpacaran dengan Paklik Junet. Dan entah, kabar itu benar atau bohong belaka.     

"Goyangan Wati, paling manteb. Memang rasanya beda. Mengigit, legit!" seru Paklik Junet.     

Kuembuskan lagi napasku mendengar ucapan dari Paklik Junet. Sambil membayangkan bagian ternikmat duniawi ini. Ah, rasanya aku juga ingin merasakannya juga. Tapi, dengan siapa? Bahkan kambing betina pun, sepertinya ndhak akan bersedia.     

Jika kalian para perempuan ingin tahu, apa bahasan laki-laki yang sedang berkumpul santai. Kurang lebih seperti ini. Kalau ndhak bahas perempuan, ya bahas hobi, atau pun kendaraan kecintaan mereka. Ndhak seperti perempuan, yang ketika berkumpul yang dibahas adalah orang-orang yang mereka ndhak suka. Kemudian menyebar keburukan, dan kekurangannya. Bahkan, di depan tampak berkawan pun, di belakang berbeda.     

"Kawin lagi sana, lho. Nanti Wati hamil tahu rasa, kamu!" marah Paklik Sobirin.     

Bagaimana Paklik Junet mau menikah dengan Wati. Sementara yang ditiduri saja bukan cuma Wati.     

"Ah, rasa perempuan memang luar biasa. Aku sudah merasakan semua!" sombongnya. Kemudian, dia melirik ke arahku. "Ndhak seperti laki-laki di sampingku ini, usia hampir 30 tahun tapi masih perjaka. Hey, Juna. Di usiamu dulu, Paklikmu ini sudah mengangkangi tiga perempuan, lho. Cepat kawin, kamu. Keburu kerismu itu karatan!" ejeknya lagi.     

Gusti, benar-benar laki-laki berhidung besar ini. Paling pandai memancing emosi.     

"Meski karatan, akan banyak perempuan yang antre, Paklik. Sebab, kerisnya ndhak keris sembarangan. Pandenya saja dari luar negeri. Kerise Londo, ini!" sombongku.     

"Percuma keris dari Londo. Tapi ndhak ada pengalaman. Ketinggalan zaman!"     

Paklik Sobirin terkekeh mendengar celotehan dari Paklik Junet. Membuatku melotot memandang ke arahnya. Dasar, aku dipecundangi oleh dua lelaki bau terasi ini!     

"Maaf, Juragan. Saya kok lupa bilang. Ada tamu Ndoro Larasati yang hendak bertemu dengan Juragan. Penting, katanya," kata Paklik Sobirin akhirnya.     

"Siapa?" tanyaku. Sebab, aku ndhak begitu mengenal tamu-tamu yang Biung undang kesini. Lebih-lebih, tamu itu ingin bertemu denganku.     

"Sudah, sana, Juna. Siapa tahu ayu. Mumpung sepi, sikat! Buat latihan mengasah keris!"     

"Bicara lagi tak potong lidahmu, Paklik!" marahku.     

Sambil menebas hemku, aku pun langsung pergi. Menuju ruang kerja untuk bertemu dengan orang yang membuatku penasaran.     

PLAK!     

Belum sempat aku menyapa, rupanya tamu agung dari Biung langsung mendaratkan tamparan tepat di pipiku. Sepasang bola mata kecilnya tampak nanar. Memandangku penuh dengan kemarahan.     

"Keterlaluan kamu, Juragan!" sentaknya dengan suara serak.     

Aku masih diam, bingung harus berkata seperti apa.     

"Kamu sendiri yang mengulurkan tangan kepadaku. Dan, saat aku membalas uluran tanganmu, kemudian melepaskan tangan yang lain, kamu langsung mengabaikanku begitu saja. Keterlaluan, kamu!" marahnya lagi.     

"Aku--"     

"Aku melepaskan Kang Muri. Berharap jika apa yang kamu ucapkan kepadaku adalah benar. Tapi, nyatanya. Aku menunggumu berhari-hari, Juragan. Menerima penderitaan yang amat pedih. Tapi, kamu malah lupa, dan bersenang-senang dengan perempuan lain. Keterlaluan, kamu!" Arni langsung pergi, setelah mengatakan semua itu kepadaku.     

Sementara aku, masih saja diam membisu. Ndhak tahu apa yang harus aku lakukan. Sebab mengejar pun, adalah hal yang percuma.     

Terlebih, di sisi lain. Hatiku semakin terbebani oleh ini semua. Tanggung jawab atas apa yang kuperbuat seolah mendesakku untuk cepat mengambil langkah. Tapi, apa? Gusti, aku benar-benar dilema.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.