JURAGAN ARJUNA

Bab 13



Bab 13

0Beberapa hari setelah kejadian itu, Manis seolah menghindariku. Bahkan, Rianti sempat bertanya kepadaku perihal tingkah Manis yang aneh. Tapi pelan-pelan, sembari aku jarang bertemu denganny karena mengurus kuliahku, hubungan kami mulai akrab kembali. Manis mulai bisa berceloteh seperti biasanya dengan gaya lugunya itu.     
0

Hingga saat aku mulai kuliah, permintaan kedua Manis aku penuhi. Mengajaknya ikut serta ke kota bersama dengan orangtuaku, dan rombongan. Tentu, Bulik Sari ikut. Sebab itu adalah alasan Manis biar dapat izin dadi simbahnya. Selama kurang lebih lima hari, Manis akan ada di rumahku yang berada di Purwokerto.     

"Jadi kalian sudah jalan-jalan ke mana saja?" tanya Biung penasaran.     

Manis bercerita banyak, bahkan diimbuhi juga dengan Rianti. Mereka tampak seperti saudara yang bercakap dengan orangtuanya. Dan itu benar-benar tampak begitu lucu.     

"Ohya, Biung, nanti kawanku yang dari Jambi akan kesini. Rencananya mereka akan tinggal denganku di sini saat kuliah nanti," kubilang. Lupa mau mengatakan itu sedari tadi.     

Biung mengangguk semangat, kemudian dia memanggil Bulik Sari, dan Bulik Amah.     

"Amah, Sari... kawan Arjuna mau berkunjung. Apakah makanan yang kita bawa dari Kemuning masih ada?" tanyanya. Biung memang selalu seperti itu. Setiap ada tamu siapa pun itu, pasti dia adalah orang pertama yang memastikan apakah makanan di rumah cukup, apakah tempat istirahatnya nyaman, jikalau mereka menginap. Bahkan dengan orang gila pun, Biung ndhak segan menyapa untuk sekadar memberi makanan, dan pakaian. Ya, itulah Biung.     

"Walah, Ndoro, habis. Semua dihabiskan sama Sobirin," kata Bulik Sari.     

Biung tampak menggeleng, kemudian dia membuka dompet dan mengambil beberapa lembar uang.     

"Pergilah ke pasar sebentar, belikan beberapa makanan untuk tamu kita."     

"Tapi, Kang Sobirin sedang pergi, Ndoro. Pasar tempatnya jauh. Saya ndhak berani berangkat sendirian." kini Bulik Amah yang menjawab.     

Biung tampak menimbang-nimbang, kemudian dia pun berdiri sambil merapikan kebaya beserta sanggulnya.     

"Ya sudah, Amah ayo ikut aku ke pasar. Mumpung Kangmas Nathan ndhak ada kerjaan."     

"Aku ikut!" teriak kompak Manis, dan Rianti. Mereka itu, seperti anak kecil yang minta dibelikan permen oleh biungnya saja.     

"Kalau kalian ikut, lantas yang menemani Kangmas Arjuna siapa kalau nanti tamunya datang? Bulik Sari pasti kualahan," kata Biung melarang.     

Rianti dan Manis cemberut. Membuat Biung mengelus rambut mereka.     

"Manis, tinggallah di sini. Bantu Bulik mengupas kulit jagung, ya, Ndhuk."     

"Tapi--"     

"Nanti, aku akan membawakan oleh-oleh buatmu, ya, Ndhuk. Mau apa? Rok kembarang sama Rianti, ya? Seperti biasa." kali ini Biung yang merayu.     

Manis mengangguk dengan senyum merekahnya. Aku yakin, di berusaha menutupi rasa kecewanya. Tapi, aku diam saja. Biarkan dia di sini, menemaniku duduk sambil membaca buku.     

Biung, Amah, dan Rianti langsung pergi. Mereka menghilang di balik pintu. Sementara Manis, sudah sibuk membantu Bulik Sari di belakang.     

Ndhak berapa lama, kawan-kawanku dari Jambi pun datang. Mereka masuk dengan gelak tawanya. Ada tiga teman, Wawan, Andik, dan Juli. Mereka kawab baikku saat di Jambi.     

"Tak pikir kalian datang malam," kubilang.     

Andik duduk, sambil merebahkan tubuhnya pada dipan.     

"Duh, Jun. Aku ndhak kuat naik kapal. Aku mabuk, perutku rasanya seperti diaduk-aduk."     

Mendengar perkataan Andik, kawabku yang lain tertawa. Seolah apa yang dikatakan Andik adalah hal lucu.     

"Dasad ndeso, Ndik! Baru naik kapal saja sudah mabuk!" timpal Juli. "Jun, aku minta air. Haus," imbuhnya.     

Aku ingat jika di rumah masih ada Bulik Sari. Segera aku masuk ke dalam dapur dan meminta Bulik Sari menyiapkan minuman beserta dengan cemilan ringan. Barangkali kawan-kawanku ini lapar. Sebab telah melakukan perjalanan yang melelahkan. Lagi, aku kembali kepada mereka. Ikut berkumpul, dan bercerita tentang segalanya.     

Ndhak butuh waktu lama, Manis keluar dari dapur. Sambil membawa nampan beserta isiannya. Kawan-kawanku semua menoleh. Tapi, tatapan mereka bukan tertuju pada nampan itu. Melainkan pada wajah Manis yang ayu itu.     

Sial, kenapa aku jadi naik darah ketika kawanku memandang Manis penuh minat? Seolah aku ndhak rela jika bagian terkecil dari dirinya dipandang oleh laki-laki lain dengan tatapan laparnya itu.     

"Dia siapa, Jun?" tanya Juli setelah Manis pergi.     

"Gusti, cantik benar, toh, dia itu. Dia bukan Rianti, toh? Sebab wajah Rianti itu khasnya wajah Londo," Andik menimpali.     

"Langsung berahi aku melihat perempuan ayu itu," tambah Wawan dengan gelak tawanya.     

"Jangan ganggu dia, dia bukan perempuan murahan seperti yang kalian kira. Jauhi dia," peringatku.     

Mereka malah tertawa mendengar ucapanku itu.     

"Memangnya kamu ini siapanya, Juna? Bapaknya? Atau Kangmasnya?" kata Andik setengah mencemooh.     

Ingin sekali kutimpali ucapan itu. Tapi apa jawaban yang pantas untuk mereka? Sebab mereka benar adanya, aku bukanlah Bapak pun Kangmas dari Manis.     

"Wajah-wajah kalian itu, ndhak pantas merayu Manis. Wajah-wajah seperti landak kejebur got saja bangga," setelah mengucapkan itu, aku segera pergi. Meninggalkan ketiganya yang memandangku dengan tatapan aneh mereka.     

Malam minggu, adalah rencana kawan-kawanku untuk mendapatkan Manis. Kata mereka, barang siapa yang berhasil menyentuh Manis terlebih dulu dialah yang memiliki hak atas Manis. Sementara yang lainnya, harus rela mengalah.     

Ndhak ada yang keberatan dengan tantangan itu. Mengingat beberapa hari ini mereka berusaha mati-matian agar dapat bercakap dengan Manis gagal. Dan, rencana itulah satu-satunya yang mereka punya. Rencana terakhir sebagai senjata pamungkas.     

"Ndhuk, apa kamu ndhak ingin pulang?" tanyaku.     

Sore ini aku sengaja mengajak Manis berbincang. Mumpung belum malam. Aku bisa saja mengantarnya pulanh jika dia setuju.     

"Bukankah waktuku pulang hari ssnin? Kok ya Juragan Arjuna menyuruhku pulang sekarang, toh," jawab Manis. Masih sibuk dengan beras yang dicucinya.     

"Di sini sedang gawat. Lebih baik kamu pulang awal, biar Paklik Sobirin yang mengantar. Atau kalau kamu keberatan, aku akan mengantarmu untuk pulang," bujukku lagi.     

Tapi, Manis menggeleng. Setengah membanting beras yang ada di bak, dia pun melihat ke arahku dengan jengkel.     

"Juragan ini mengusirku? Bukannya kemarin, Juragan sudah setuju dengan permintaanku ini, jikalau aku ikut ke kota untuk melihat Universitasnya Juragan Arjuna,"     

"Oalah, Ndhuk, Ndhuk. Keras kepala benar kamu ini. Ini semua demi kamu, lho. Kamu ndhak tahu, tiga kawanku itu naksir sama kamu. Dan mereka tengah merencanakan sesuatu yang jahat malam ini untuk mendapatkanmu," kubilang.     

Tapi, Manis malah cekikikan. Seperti suaranya merdu saja, toh.     

"Ya sudah, naksir, kan, urusan mereka. Kalau aku ndhak sudi, ndhak peduli, mereka mau apa, toh? Biarkan saja," ucapnya enteng.     

Memang benar, perempuan ini ndhak peka sama sekali, rupanya.     

"Lagi pula kata Simbah, kalau ada laki-laki macam-macam kepadaku, tinggal pukul, dan tendang saja burungnya. Biar mereka kalah, beres!" serunya kemudian.     

Dan, entah kenapa aku malah tertawa dibuatnya. Jika laki-laki semudah itu ditaklukan, ndhak ada ceritanya, para perempuan yang menikah karena dipaksa akan hamil juga.     

"Ya sudah, nanti malam datanglah ke kamarku. Rianti akan pergi bersama Romo, dan Biung berkunjung ke rumah kawannya. Jadi, aku yang akan menjagamu. Apa kamu paham?"     

"Paham grak!" dia langsung memberi hormat. Membuatku mau ndhak mau mengacak rambutnya sekilas kemudian pergi.     

Ndhak terasa malam sudah mulai merayap. Dari sela-sela cakrawala yang gelap. Manis sudah duduk di sini sedari lima belas menit yang lalu, membaca beberapa buku yang kuberikan dengan sangat tenang.     

Kudengar samar-samar suara berisik terdengar dari luar. Mereka pasti akan mengumpat-umpat. Sebab, selepas kepergian Rianti, dan orangtuaku, Bulik Amah, dan Bulik Sari kusuruh untuk tidur di kamar yang biasa di tempati oleh Rianti, dan Manis.     

"Kenapa tertawa, Juragan?" tanya Manis yang mungkin melihatku terkekeh sendiri.     

"Ada cicak kejebak dengan perempuan-perempuan tua," jawabku. Manis malah tertawa. Aku yakin, jika sekarang tiga kawanku itu mendengar tawa Manis, dan bergegas kesini semua.     

"Cicak apa yang seperti itu. Yang ada cicaknya gepeng, dipukul sama perempuan-perempuan tua itu," katanya di sela tawa. Aku hanya manggut-manggut saja.     

Manis meletakkan bukunya, meregangkan otot-ototnya yang mungkin pegal, sebab sudah terlalu kelelahan membaca buku.     

"Ndhak terasa sudah hampir tengB malam. Aku mengantuk, Juragan, ingin tidur," kata Manis pada akhrnya.     

Kulirik sekilas arah luar, bayangan tiga kawanku itu pun tertangkap dengan mataku samar-samar. Kuembuskan napasku, kemudian mencari cara lainnya untuk menahan Manis sedikit lebih lama. Agar tiga kawanku itu pergi.     

"Tolong, ambilkan buku itu," perintahku.     

Manis berdiri, mengambil sebuah buku yang kutunjuk. Dia pun bertanya, "ini?"     

Tapi, aku menggeleng. "yang satunya," kubilang.     

Manis mencari lagi, kakinya menjinjit, sementara tangannya meraih buku yang kutunjuk. Jelas bear rok yang dipakai semakin naik ke atas. Dan menampilkan paha belakangnya dengan nyata. Dan aku yakin, ketiga kawanku melihat kejadian itu.     

Buru-buru aku mendekat ke arah Manis. Membantunya mengambil buku yang kumaksud. Berdiri tepat di belakangnya, membuatnya berhenti menjinjit, dan meraihnya. Tubuhnya diputar, menghadap ke arahku.     

"Tinggi, aku ndhak sampai," dia bilang. Aku mengangguki ucapannya.     

"Kamu, kan, cebol. Mana mungkin sampai, iya, toh?" ejekku.     

Dia cemberut, dan itu terlihat sangat lucu. Sedikit mendorong tubuhku, dia seolah ingin aku agar menjauh. Supaya dia bisa kembali untuk duduk. Tapi, aku ndhak melakukan apa perintahnya. Aku malah melakukan hal sebaliknya. Tubunya kuhimpit, sampai dia ndhak bisa bergerak ke mana pun.     

"Juragan, aku mau duduk," katanya yang mulai kesal.     

"Ndhak bisa, kamu sudah kutangkap. Kalau mau keluar, harus ada upah," kujawab.     

Mata beningnya memandang ke arahku. Jenis tatapan jengkel yang di mataku itu sangat lucu. Mata indah yang selalu saja berhasil menghipnotisku. Menghilangkan semua kewarasan, dan berganti dengan kegilaan.     

Kupeluk tubuhnya yang hendak lari dariku, kemudian kulepaskan pelan-pelan. Manis diam, ndhak mengatakan apa pun. Ndhak berniat pergi, atau pun bertanya apa pun kepadaku.     

"Manis, aku ndhak suka kamu memakai rok seperti ini, aku juga ndhak suka kamu menggerai rambutmu seperti ini," kubilang.     

"Kenapa?" tanyanya yang tampaknya ndhak paham.     

"Banyak laki-laki yang ingin kamu, dan itu membuatku ndhak suka."     

Dia menggigit bibir bawahnya, sehingga bibir yang merona itu semakin tampak merah, dan segar. Dia pun bertanya lagi kepadaku, "kenapa?" untuk yang kedua kalinya.     

Aku ndhak mampu menjawab pertanyaan Manis itu. Sebab aku pun ndhak tahu alasannya. Pelan, kuangkat dagunya, kemudian kukecup lembut bibirnya. Dan kali ini, Manis menggenggam erat pinggangku. Membuatku semakin terbuai dengan bibir manisnya, membuatku semakin kehilangan akal.     

"Maaf," kubilang. Setelah kulepas ciumanku padanya. Manis tersenyum dengan wajah meronanya itu.     

"Aku tahu, Juragan melakukan ini agar kawan Juragan ndhak menggangguku, toh?" tebaknya.     

Padhal, bukan itu alasannya. Tapi aku mengangguk saja. Kusunggingkan seulas senyum kemudian Manis mendorong tubuhku pelan agar ia bisa pergi.     

"Ndhak masalah. Kawan-kawanmu sudah pergi, Juragan. Aku pergi dulu."     

Dan, kejadian fatal yang kulakukan adalah, setelah kami kembali ke Kemuning. Romo, dan Biung pergi menemani Rianti yang ingin sekolah di Jakarta. Membuatku sendirian di rumah. Berkemas sebelum kembali kuliah. Dan setelah itu, mungkin, akan jarang aku berkunjung ke Kenuning. Sebab, ada beberapa urusan yang harus kukerjakan di Jambi. Jadi, kuliah dan ke Jambi adalah perkara yang sangat menyibukkan.     

"Kamu ndhak memberitahu Manis jika besok pagi-pagi akan pergi ke Purwokerto dan akan jarang ke Kemuning, Juragan? Kawanmu itu pasti akan merindukanmu," suara salah satu abdi dalem Biung berbicara.     

Tapi, aku masih diam ndhak mengatakan apa pun.     

"Juragan--"     

"Eh, Bulik, malam ini aku hendak menginap di rumah Simbah Romelah. Jadi, jangan cari, ya," pamitku.     

Aku rindu cemeding kangkung buatan Simbah Romelah. Cemeding buatannya, rasanya benar-benar nikmat.     

"Ini, toh, pemuda pendatang yang membuat kita kesusahan!" seru salah seorang pemuda kampung, saat aku berjalan melewati mereka.     

Aku ndhak tahu siapa yang mereka maksud. Tapi, aku merasa jika yang mereka sindir adalah aku.     

"Jangan seperti itu, Gik. Dia itu Juragan di kampung kita," pemuda lainnya menjawabi takut-takut.     

"Halah, biar Juragan juga aku ndhak takut. Dia ini, sok memiliki kuasa saja. Menggandeng Rianti, dan Manis kemana-mana. Serta menjadi perbincangan semua perempuan kampung. Aji mumpung, orangtuanya kaya, dan wajahnya bagus saja belaga. Coba kalau dia miskin. Sama seperti kita-kita!" imbuh pemuda yang dipanggil "Gik".     

Aku langsung berhenti, sebab aku benar-benar merasa jika yang disindir adalah aku. Aku melangkah mendekat ke arah mereka. Rupanya, pemuda-pemuda yang tengeh mabuk arak. Pantas saja bicaranya ngelantur seperti itu.     

"Apa yang kamu bicaran itu aku?" tanyaku.     

Mereka diam, dengan senyuman seolah meremehkan. Aku ikut tersenyum melihat wajah-wajah bodoh di depanku ini. Wajah-wajah pecundang yang ndhak mau mengakui kekalahan.     

"Ck, kasihan benar pemuda-pemuda kampung ini. Ternyata bukan hanya wajahnya yang standart, tapi otaknya juga dangkal. Jika kalian berniat bersaing denganku maka mengacalah dulu. Punya wajah bagus, atau harta yang banyak apa endhak. Mandang itu jangan ke atas terus, tempatmu di tanah ya pandanglah tanah berbatu ini!" sindirku.     

"Bangsat!"     

BUKK!!!     

aku langsung tersungkur setelah ditinju oleh Sugik tepat di pipiku. Sekarang kawan-kawan lainnya ingin mengeroyokku. Setiap kali aku hendak mendapatkan satu di antara mereka, kawanan yang lain sudah siap menangkap kedua tanganku. Dan berhasil, malam itu aku menjadi bulan-bulanan mereka.     

"Kalau bukan kamu seorang Juragan, tak bunuh sekarang, kamu!" marah sugik.     

Aku meludah meski sekarang aku ndhak bisa berdiri. Egoku terlalu tinggi untuk diinjak-injak seperti ini.     

"Dasar bajingan bangsat, kalau berani satu lawan satu. Banci benar kalian main seperti ini. Lucu sekali," ejekku. Tapi, diabaikan oleh mereka. Sepertinya mereka takut akan sesuatu. Sebab, Sugik hendak memukulku lagi tapi diurungkan.     

"Awas, jangan mengadu dengan Romo, Biungmu. Kalau memang kamu laki-laki. Jangan menangis seperti bayi, Pecundang!"     

Mereka langsung pergi dengan gelak-tawanya. Aku hanya bisa memandangnya dengan perasaan semakin berat. Entahlah, aku ndhak mengerti betapa kacaunya perasaanku saat itu.     

Kepergianku ke rumah Simbah Romelah aku urungkan. Ndhak mungkin sekali aku ke sana dengan kondisi seperti ini. Yang ada Simbah akan panik dan segera mengabari orangtuaku. Aku ndhak mau, disebut sebagai pemuda pengadu seperti apa yang mereka katakan itu.     

"Aku harus ke mana?" gumamku sendiri. Sebab, aku ndhak begitu akrab juga dengan orang-orang di sini.     

Tanpa pikir panjang, otakku menangkap kediaman Manis yang ada di ujung jalan. Menginap barang semalam di sana, pastilah ndhak ada orang tahu. Lagi pula, aku belum berpamitan dengannya jika besok pagi aku akan pergi.     

Kuketuk pintu kamar Manis pelan-pelan agar simbahnya ndhak dengar. Sambil kupeluk tubuhku yang menggigil kedinginan. Meski sudah mengenakan jaket, berada di luar rumah di jam seperti ini bukanlah pilihan yang tepat.     

"Manis, bukalah jendelamu," cicitku.     

Ndhak berapa lama jendela kamar Manis pun terbuka. Dengan wajah mengantuk Manis langsung kaget melihatku yang berdiri di sana seolah ndhak percaya.     

"Lho, Juragan!" kagetnya.     

Aku segera masuk lewat jendela, memandang kanan-kiri, kemudian menutup jendela itu rapat-rapat. Duduk di atas dipan Manis sambil terus memeluk tubuhku yang berlahan menghangat.     

"Aku ingin meninap semalam di sini. Boleh?" kutanya. Belum sempat Manis bersuara, aku pun berkata lagi, "harus boleh." sambil menarik selimut Manis dan berbaring di sana.     

Tapi, Manis memaksaku untuk duduk lagi. Matanya memicing seolah tengah mengoreksiku.     

"Gusti, Juragan kamu ini kenapa? Kenapa wajahmu lebam-lebam dan berdarah seperti ini? Pakaianmu juga kotor. Apa kamu habis kecelakaan, atau dikeroyok orang?" tanyanya panik.     

Dia segera keluar kamar, kemudian kembali sambil membawa air hangat, handuk, ndhak lupa juga dengan beberapa batang daun yodium.     

"Aku jatoh dari sawah," dustaku.     

"Ini sebabnya, toh, kamu ndhak berani pulang ke rumah, atau ke rumah Simbah Romelah?" tebaknya. Sambil terus membersihkan lukaku, dan mengobatinya. "Kamu ini, lho, ndhak usah sok jagoan. Jika ada pemuda yang hendak mencari gara-gara abaikan saja. Mereka hanya iri denganmu," omelnya. Seperti aku ini anaknya saja. Padahal, dia jauh lebih muda dari aku.     

"Juragan ini--" dia diam, setelah kukecup bibirnya. Kemudian aku tersenyum karenanya.     

"Sudah, ndhak usah bawel. Iya, iya, Emak Manis. Anakmu ini ndhak akan nakal lagi," kataku. Dia mengangguki ucapanku.     

"Sudah, selesai. Jaketnya sini, biar besok aku cuci. Kotor sekali ini, lho," dia bilang. Meminta jaketku agar segera kulepas.     

Kuturuti saja setiap perintahnya, kemudian aku duduk dengan patuh. Setelah mengembalikan peralatannya itu Manis ikut duduk denganku. Duduk dengan sungkan sambil terus menggaruk tengkuknya yang ndhak gatal.     

"Juragan tidur saja. Aku akan tidur dengan Simbah."     

"Jangan, kalau kamu tidur dengan simbahmu. Sama saja nanti simbahmu bakal tahu kalau aku ada di sini," kataku melarang. Aku ini bersembunyi ceritanya. Kok dia malah pergi.     

"Ya sudah, Juragan silakan tidur di atas, aku akan tidur di bawah," katanya memberi ide.     

Aku menggeleng. "Kamu saja yang di atas. Kamu, kan, perempuan,"     

"Juragan saja."     

"Kamu."     

"Juragan." keras kepalanya.     

"Ya sudah, kita sama-sama tidur di atas,"     

Kini Manis diam, dia ndhak mengiyakan, juga ndhak membantah. Dia masih seperti tadi, duduk dengan manis sambil menundukkan kepalanya.     

"Besok pagi-pagi, aku akan berangkat ke Purwokerto. Dan, untuk waktu yang cukup lama, aku mungkin ndhak berkunjung kesini," kataku.     

Manis mengkat wajahnya, memandang ke arahku dengan tatapan membingungkannya itu.     

"Kan, dekat. Kalau Juragan libur bisa ke sini, toh?" tanyanya.     

"Ada pekerjaan lain di Jambi juga. Jadi, kalau ada libur, pastilah aku ke Jambi," jawabku. Aku bisa menangkap ada rasa kecewa di mata Manis.     

"Ya, ndhak ada yang menemani Manis main, dong. Rianti ke Jakarta, Juragan ke Jambi," katanya lagi.     

"Tapi akan kuusahakan, meski sejam ibaratnya. Aku akan kesini," kataku. Aku ingin mengenyahkan rasa sedih di hatinya.     

Manis mengangguk, tapi dia kembali diam lagi. Ndhak mengatakan apa pun. Membuatku gemas sendiri dan memeluknya erat, bahkan sampai tubuh kami jatuh di atas dipannya.     

"Kamu mau minta kenang-kenangan apa?" kutanya. Manis menggeleng. "Kalau aku yang minta, boleh?" kini aku yang bertanya kepadanya.     

"Apa?"     

"Ayo kita buat anak berdua."     

"Juragan!"     

Aku langsung membungkam mulutnya yang hendak berteriak. Kemudian melepasnya setelah ia melotot. Aku tersenyum melihat ekspresi sebalnya seperti itu.     

"Becanda, Manis," kataku.     

Manis menunduk malu-malu, kemudian memeluk tubuhku dengan erat.     

"Bakal rindu dengan Juragan. Aku akan kehilangan kawan baik," katanya.     

"Ndhak akan. Kamu ndhak akan kehilangan aku."     

"Kenapa?" dia tanya lagi. Dan aku sungguh bingung menjawabinya. "Karena kita kawan baik?" tanyanya lagi. Aku mengangguk saja.     

"Manis...," panggilku.     

Manis hanya memandangku tanpa bersuara.     

"Manis, boleh aku mencicipi bibirmu yang manis itu?" tanyaku.     

Malu-malu dia mengangguk, dan aku pun tanpa malu mulai mencumbunya. Bukan hanya sekadar ciuman, bahkan lebih. Akan tetapi aku tahu, jika aku ndhak boleh melewati batas. Ndhak boleh mengambil apa yang bukan hakku. Yaitu keperawanan Manis.     

Setelah Manis terlelap, kusematkan cincin di jari manisnya. Kemudian, pelan-pelan aku beranjak dari dipannya dan pergi.     

Dan setelah hal-hal manis itu, kami pun berpisah cukup lama. Kemudian bertemu lagi dengan cerita yang benar-benar berbeda.     

Aku lupa dengan semua yang terjadi waktu itu. Hal-hal manis yang kuanggap remeh, dan mengabaikannya begitu saja. Pun dengan Manis, kukira dia telah melupakannya. Melihat bagaimana sikapnya kepada setelah perpisahan yang lama itu. Dia menjadi benar-benar seperti laki-laki, kelakuannya kasar, dan juga kaku. Seolah memiliki sikap dan kepribadian baru. Dan itu berhasil membuatku semakin mengabaikan semuanya.     

Gusti, kenapa sekarang aku baru ingat hal sepenting itu. Mungkin jika bagiku dulu hanyalah kesenangan semata, mungkin saja Manis mengartikan berbeda. Manis masih mengingat semuanya, dan aku melupakannya dengan sangat mudah.     

Jadi, ciumanku dengan Arni bukanlah ciuman pertamaku dengan perempuan. Sebab dulu, aku telah melakukannya dengan Manis. Bodoh, Arjuna... kenapa kamu melukai hati perempuan sampai seperti ini. Apakah ini berarti jika Manis mengharapkanku? Lantas jika iya, kenapa dia ndhak mengatakan apa pun kepadaku?     

Aku segera beranjak dari kamar Manis, rupanya kenanganku waktu lalu telah memakan banyak waktu. Tamu-tamu sudah ada di sini, bahkan lamaran pun mungkin telah berlangsung tadi. Kulihat Manis mengenakan jaketku, melingkarkan sehelai selendang di lehernya. Dirangkul dengan begitu mesra oleh Minto. Itu benar-benar pemandangan yang menyesakkan dada.     

Aku berjalan keluar, lebih baik pulang dari pada harus menyasikan mereka. Tapi, belum sempat aku melangkah pergi. Sebuah tangan menepuk bahuku.     

"Juragan...," saat kutoleh, ternyata suara itu adalah milik Paklik Sobirin. "Juragan mau ke mana? Ini lamarannya belum selesai. Juragan kenapa? Menangis?" selidiknya.     

Kutepis tangannya dengan kasar, aku pun pergi tanpa peduli dengan pertanyaan Paklik Sobirin. Aku juga ndhak tahu, sesak di dada begitu menyakitkan jiwa.     

"Juragan Arjuna!" kini Prapto, dan beberapa rekannya memanggilku. Dia itu adalah salah satu dari mandor di kebunku.     

"Ada kabar baik, Juragan. Beberapa minggu ini, daun teh dari kebun kita hampir 90% berhasil masuk di pabrik," katanya.     

"Benarkah? Wah, syukur sekali. Aku belum sempat melihatnya, bahkan keuangan masih ada pada Romo. Terimakasih sudah bekerja sangat keras."     

"Yang bekerja keras itu Juragan, lho. Kabarnya juga, perkebunan di Berjo, dan beberapa kota juga sukses, ya, Juragan?" tanya Prapto lagi. Aku mengangguk.     

"Kabarkan kepada semua pegawai perkebunan untuk bertandang ke kediamanku nanti malam sekitar jam tujuh. Kalian akan mendapatkan bonus dari kerja keras kalian selama ini. Oh ya, rekomendasikan padaku pula beberapa nama pegawai yang giat, akan kuangkat sebagai mandor di beberapa tempat yang masih kosong,"     

"Wah, makan-makan, ini! Pesta, ini!" seru Prapto dan kawan-kawannya semangat. "Siap, Juragan Bos!" katanya lagi.     

Aku tertawa mendengar panggilan itu. Ada-ada saja.     

"Sekalian saya pesan tuak, ya, Juragan. Sekali-kali," rayunya.     

"Iya, setengah gelas. Minumnya dibagi, satu orang dapat seteguk," godaku. Prapto kembali tertawa terbahak-bahak karenanya.     

"Ayolah, Juragan, tuak Jawa Timur, terkenal sangat nikmat," rayunya ndhak mau kalah.     

"Iya, Juragan, ayolaaah," imbuh yang lainnya.     

Sambil menghela napas aku pun mengangguk, dibalas dengan semangat mereka yang bersorak-sorai.     

Kutinggalkan saja mereka, kembali berjalan menyusuri jalanan kampung. Perkara mobil, biarkan nanti Paklik Sobirin yang membawa pulang.     

"Arjuna!"     

"Apa, lagi?" tanyaku terhenti tatkala aku menoleh. Suara yang kupikir adalah gerombolannya Prapto ternyata salah.     

Dia adalah Muri, bersama kawan-kawannya yang aku ndhak tahu siapa. Mereka mengenakan penutup kepala serba hitamnya.     

BUKK!     

Aku nyaris tersungkur saat Muri meninju perutku. Matanya bengis memandang ke arahku.     

"Apa-apaan, ini!" bentakku emosi.     

"Bajingan, kamu! Apa yang kamu lakukan dengan istriku kemarin di dalam kamar milik Mbah Masirah!"     

Belum sempat aku berucap, sebuah pisau ditancapkan dengan manis oleh Muri di perutku. Kemudian, Muri meninjunya beberapa kali. Sebelum dia pergi meninggalkanku yang menahan sakit karena tusukannya.     

"Jadi pemuda ndhak usah banyak tingkah. Perawan banyak, ndhak usah merayu istri orang!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.