JURAGAN ARJUNA

BAB 3



BAB 3

0Pagi ini, aku masih duduk di kursi depan kediamanku. Sambil melihat kembang melati dan sepatu yang dihinghapi kupu-kupu. Aku malas ke kebun karena peristiwa kemarin sore. Jadi kuutus saja Paklik Junet yang kesana dengan beberapa abdi yang lain.     
0

Lagi, kuembuskan napasku. Aku sangat kepikiran bagaimana reaksi Muri setelah kutinggal. Pastilah, istrinya itu akan dihajar habis-habisan. Kasihan.     

"Orang ganteng pagi-pagi kok sudah melamun, ya? Nanti jodohnya digondol ayam, lho." Mbah Romelah datang, kemudian ia duduk di sampingku. Rutinitasnya memang, setiap pagi dan sore hari selalu kesini.     

"Janda cantik, kesini kok ya sendirian saja. Nanti digondol Mbah Rokli, lho," godaku. Mbah Romelah malah tertawa. "Tapi Juna serius, lho, Mbah. Jika Simbah mau dengan Mbah Rokli, maka Juna akan bahagia, lho. Kalian tampak serasi!" kataku semangat. Mbah Romelah malah melemparku dengan sayur kangung.     

"Iya, kemudian kami baru kawin langsung mati. Kamu ini. Orang sudah bau tanah kok, ya, dijodoh-jodohkan saja. Yang pantas itu ya kamu, toh, sudah waktunya menikah kok masih betah sendiri. Memangnya, ndhak ada apa perawan yang memikat hatimu? Atau jangan-jangan, kamu terpikat oleh janda?" godanya.     

"Bagaimana, ya, Mbah... aku maunya sama Simbah. Tapi, Simbah sudah tua. Ya ndhak enak rasanya."     

"Arjuna! Simbahmu, lho, ini!"     

"Hahaha...."     

"Aku mendapat kabar tadi di pasar," Mbah Romelah kini tampak serius. Dia ndhak menanggapi guyonanku lagi. Sepasang bola matanya yang terbingkai kelopak yang sudah berkerut kini melirik ke arahku dengan tatapan anehnya. Seolah, aku telah melakukan salah. "Kabarnya, kamu telah memberi uang kepada Arni dengan jumlah yang... banyak. Apa itu benar, Jun?" tanyanya kemudian.     

"Iya." kujawab jujur ucapan Simbah.     

"Kenapa seperti itu? Apa maksudmu memberinya uang, Juna? Simbah ndhak menyuruhmu untuk bertindak terlalu jauh, lho. Simbah hanya menyuruhmu untuk menghargai orang-orang sepertinya. Dan ndhak menghina orang susah. Kamu tahu apa dampak dari perilakumu itu?" aku diam, mencoba mendengar ucapan apa lagi yang akan dilontarkan oleh Simbah. "Muri mengatakan kepada para warga, jikalau kamu memiliki hati dengan istrinya. Ini ndhak benar."     

"Tunggu, Mbah... tunggu. Jangan menghakimiku sebelum Simbah tahu duduk perkaranya dulu," kataku mencoba menjelaskan. "Benar memang aku memberinya uang, dalam jumlah lumayan banyak. Tapi, apa Simbah tahu itu uang apa?" Simbah tampak menggeleng. "Itu adalah uang dari upah-upahnya yang selama ini dipotong secara ndhak adil oleh salah satu mandor kebun yang jatuh hati dengannya tapi dia tolak. Aku ndhak bisa terus terang kepadanya perihal itu. Meski aku sudah menegur sang mandor. Dan Simbah tahu, bukan hanya dia. Ada beberapa pekerja kebun yang diperlakukan sama. Mungkin masalahnya di sini adalah, aku memberikan langsung uang itu kepada Arni. Sementara yang lain kutitipkan kepada Paklik. Kemudian, aku ndhak jujur kepadanya, sehinga orang-orang, dan anaknya yang kebetulan melihat, memberikan warta sedemikian rupa. Dan, aku ndhak peduli dengan ucapan warga kampung, Mbah."     

"Tapi kamu harus peduli, Juna. Biar bagaimanapun, kamu adalah seorang juragan di sini. Segala polah tingkahmu, akan menjadi sorotan serta panutan,"     

Aku diam, ndhak lagi membalas ucapan Mbah Romelah. Hanya saja aku tampak heran, kenapa dengan masalah seperti ini saja dia tampak marah.     

"Kamu boleh baik, tapi jangan terlalu iba. Jangan mengulang dosa yang pernah dilakukan Simbah serta Biungmu dulu."     

"Aku iba melihat takdir hidupnya. Apalagi kemarin melihat memar-memar di tubuhnya. Kurasa dia benar-benar menderita, Mbah."     

"Itu bukan urusanmu!" bentak Mbah Romelah kepadaku. "Ingat, Juna, iba adalah salah satu rasa timbulnya cinta. Tak beritahu, ya, jangan sekali-kali berpikir karena ibamu itu, kemudian kamu ingin merebutnya dari Muri. Ndhak baik, jangan, Juna... Simbah mohon. Jangan pernah jadi orang ke tiga."     

Aku nyaris ndhak bisa bernapas tatkala Simbah berkata seperti itu. Orang ke tiga? Tuhan, itu benar-benar hal yang di luar dugaan.     

"Jadi, hanya karena Simbah dan Biungku adalah orang ke tiga, lantas Simbah menuduhku akan melakukan hal yang sama? Ingat, Mbah... perusak rumah tangga orang bukanlah penyakit yang bisa menular."     

"Akan tetapi kamu harus tahu, Jun. Kalau karma itu bisa berbagai macam bentuknya. Bisa saja itu karma dari Simbamu, atau Biungmu yang jatuhnya padamu. Jadi saran Simbah, sebelum terjadi. Lebih baik hentikan di kamu, atau akan menurun kepada anak cucumu."     

Percuma, membantah ucapan Simbah saat ini. Aku tahu jika ia sedang khawatir sekarang. Itu sebabnya Simbah mengatakan yang bukan-bukan. Lagi, kucoba telisik hatiku yang terdalam ini. Apakah aku benar-benar iba kepada Arni? Dan, sejak kapan rasa iba itu datang? Bukankah sebelum ini, baru kemarin rasanya aku begitu membencinya karena jijik kepadanya? Ya, salah satunya adalah karena Ningrum--anak perempuan Arni yang mencuri hatiku. Berkat penampilan lusuh gadis kecil itu menumbuhkan rasa iba pada hati kecilku.     

"Ya, Mbah," jawabku kemudian.     

Simbah tampak tersenyum. Kemudian ia mengelus lembut pipiku. "Kamu tahu, Jun. Simbah sangat menyayangimu. Dan Simbah ndhak mau kalau kamu terjerumus pada hal yang buruk. Paham?" dia tanya. Aku mengangguk.     

"Ya sudah, ndhak usah kepikiran seperti itu, Mbah. Nanti cantiknya hilang, lho. Arjuna nanti jadi ndhak cinta bagaimana? Repot."     

"Repot kenapa?" tanyanya penasaran.     

"Ya, ndhak kenapa-napa. Hahaha!"     

"Dasar, kamu ini. Suka ndhak jelas."     

*****     

Sore ini aku sengaja mengajak Paklik Junet untuk pergi ke warung Mbah Marisah. Seperti biasa, hidangannya adalah kopi, serta beberapa menu cemilan khas jawa lainnya. Dan hari ini, aku memesan kopi dengan ketan. Kopi hitam pahit yang menjadi kesukaanku sejak lama. Kata Biung, dulu aku menderita setep saat panas tinggi. Jadi sedari kecil aku sudah dikenalkan dengan minuman hitam bernama kopi.     

"Jadi, bagaimana? Kamu sudah ndhak jijik lagi makan di sini?" tanya Paklik Junet. Aku menggeleng.     

Sebenarnya, bukan perkara jijik apa endhak makanannya. Aku sengaja datang ke sini karena aku penasaran bagaimana bisa aku iba kepada Arni. Ya, aku memang sepenasaran itu. Dan ndhak mungkin, aku mengamatinya di kebun. Bisa-bisa, para pegawai lainnya curiga.     

Arni tampak keluar dari dapur. Ia membawa nampan berisikan dua cangkir kopi, sepiring mendoan, dan dua piring ketan untuk diberikan kepada pelanggan di ujung sana. Saat ini dia sedang memakai rok bermotif bunga warna merah jambu. Namun sayang, warna itu sudah mulai usang. Waranya pudar menjadi agak keputihan. Sementara rambutnya yang hitam legam sepunggung ia sanggul. Lalu, selebihnya... ndhak ada istimewanya dari perempuan-perempuan lain. Dia, sama seperti mereka. Kulit kuning langsat dengan garis wajah khas orang jawa. Hanya saja, matanya agak bulat, bibirnya lebih penuh, dan... hidungnya lebih mancung. Aku akui itu.     

"Hey, Jun. Kamu ini, lho, diajak bicara kok diam saja!" kata Paklik Junet mengagetkanku. Aku nyaris menyesap kopi panas lagi. Untung, tangan mungil Arni memegangi tanganku.     

"Sepertinya, sudah menjadi kebiasaan Juragan ndhak pernah hati-hati dengan apa pun. Misalnya, kopi ini."     

"Oh, ya... terimakasih," jawabku gelagapan. Seperti maling yang tertangkap basah tengah mengintai intaiannya. Mungkin, inilah yang kurasakan saat ini.     

"Melamun saja, toh, Jun. Sudah seperti perjaka tua yang ndhak laku saja," celetuk Paklik Junet. Tapi, kuabaikan dia.     

"Apa kamu lupa, Arni, jika kamu ini adalah seorang istri dari seseorang?" tanyaku. Arni tampak bingung mendengarnya. "Sepertinya, ndhak pantas bagi seorang perempuan yang sudah bersuami untuk memegang tangan lelaki lain. Lebih-lebih, lelaki itu seorang juragan. Bisa menimbulkan prasangka buruk. Terlebih, itu sangat merugikanku."     

Cepat-cepat Arni melepaskan tangannya pada pergelangan tanganku. Kemudian ia menundukkan pandangannya semakin dalam.     

"Maaf, Juragan, sungguh saya ndhak mempunyai niat apa pun. Kecuali, untuk menolong Juragan saja. Sungguh!" jelasnya. Kuperhatikan binar matanya yang curi-curi menatapku tampak serius. Dan itu berhasil membuat amarahku yang tanpa sebab hilang entah ke mana.     

"Hari ini, kumaklumi. Jangan ulangi lagi," kubilang. Dia mengangguk.     

"Dasar, giliran Arni saja diperhatikan. Tapi giliranku, ndhak dipedulikan," gerutu Paklik Junet.     

Aku terkekeh mendengar ucapannya yang terkesan cemburu itu. Aku pun langsung menepuk-nepuk bahunya seraya berkaya, "sudah, ndhak usah cemburu. Perhatianku kepadamu, ndhak akan terbagi oleh apa pun itu."     

"Huek! Gombalanmu, seperti tai kerbau, Jun!" serunya setengah jijik. Dan itu malah membuatku semakin tertawa.     

*****     

Sore ini, aku berencana pergi ke rumah Mbah Romelah. Sebab katanya, Romo dan Biung akan datang malam ini. Simbah minta dijemput, untuk menyiapkan beberapa masakan untuk menyambut orangtuaku.     

"Juna, kamu mau ke mana?" tanya Paklik Junet. Ia sedang memandikan ayam kesayangannya di pelataran rumah.     

"Mau menjemput biungmu. Kenapa?" kujawab. Dia mengangguk-angguk.     

"Bawakan kemeja batikku yang berwarna hijau, ya. Aku ndhak mau tampak buruk saat bertemu dengan Paklik dam Bulik."     

"Sepertinya yang juragan ini kamu, Paklik, bukan aku," sindirku. Dia malah tertawa.     

"Ayolah, ndhak seperti itu, Jun. Kamu ini, kan, keponakanku. Lagi pula, nanti aku ada perlu."     

"Apa?" tanyaku penasaran. Tumben benar laki-laki ini ada perlu tapi ndhak mengatakan kepadaku dulu. Baru sekarang dia bilang.     

Paklik Junet tersenyum penuh arti. Bahkan, ayam jantannya yang basah pun dipeluk seolah dia ndhak peduli.     

"Kabarnya, setiap sore di hari rabu, Arni akan mandi di kali ujung yang dekat dengan pepohonan bambu itu. Sudah sering para lelaki mengintipnya mandi. Jadi, hari ini, para lelaki bersepakat untuk mengicipinya barang sedikit. Aku, kan, ndhak mau ketinggalan. Pingin merasakan tubuh bahenolnya Arni," jelasnya.     

"Kenapa setiap rabu dia mandi di sungai? Bukankah dia ada kamar mandi?"     

"Kiwan, Jun. Setiap rabu itu airnya hanya cukup untuk memasak dan mandi dua orang anaknya. Muri ndhak pernah pulang untuk mengambil air. Dia pergi ke kota sampai tengah malam."     

Entah kenapa, melihat perempuan lemah seperti Arni mau digilir lelaki biadab seperti Paklik Juna. Benar-benar membuatku gusar. Aku ingat cerita Yuyut, saat dulu Biung dijadikan bahan giliran oleh saudara tirinya. Menjadikan perempuan seperti alat pemuas nafsu oleh binatang-binatang menjijikkan. Sunguh, hal itu membuat amarahku naik ke ubun-ubun.     

"Aku berangkat dulu, Paklik," pamitku.     

Segera kunyalakan motorku, kemudian melenggang pergi meninggalkan Paklik Junet. Para lelaki yang mungkin adalah komplotan Paklik Junet tampak masih sibuk dengan khayalan-khayalan mereka di gubug perempatan jalan. Lihatlah, bagaimana mereka terbahak sambil menegak bir kesukaan mereka.     

Motorku kulajukan sedikit lebih kencang, sampai rumah Simbah terlewat. Segera kuberhentikan motorku agak jauh dari pepohonan bambu dan kusembunyikan di semak-semak agar ndhak ketahuan. Kemudian, aku langsung melangkah menuju sungai yang dikatakan Paklik Junet.     

Ndhak ada siapa pun, ndhak terdengar suara apa pun. Kutoleh kesana-kemari, kemudian mataku tertuju pada sosok yang baru saja melangkah masuk ke dalam sungai. Sosok itu hanya memakai kain jarik sebagai kemben. Kemudian, ia melepasnya tatkala ia menenggelamkan tubuhnya di sungai.     

Semenit, dua menit, lima menit....     

Kutunggui sampai ia selesai membersihkan diri, kemudian aku segera pergi menghampirinya. Suara para lelaki hidung belang sudah samar-samar terdengar. Kalau ndhak segera menghampiri Arni pastilah perempuan satu itu akan dijadikan budak nafsu mereka.     

"Arni...," panggilku. Perempuan itu menoleh ke arahku. Matanya terbelalak kaget, dia ingin berteriak tapi kubungkam mulutnya.     

Mata bulatnya menatapku dengan pandangan takut. Kulit yang biasanya kumal tampak bersinar setelah digosok dengan batu kali. Dan wajahnya itu....     

"Arni, kamu tampak cantik saat mandi...."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.